✨. 8 : Hurts Button

90 11 21
                                    


 

“We are all the same, but hurts different.”

 

***

 

Semenjak Bintang masuk ke dalam kamar Bara beberapa jam yang lalu, pikirannya terasa begitu penuh dan berisik, banyak hal yang sedang dia pikirkan saat ini, entah itu hal yang positif maupun hal yang negatif, dan tentu saja hal negatif yang paling mendominasi, karena itu Bintang masih  belum bisa memejamkan kedua matanya, berbeda dengan Bara yang sudah terlelap di sampingnya dengan posisi yang menghadap ke arahnya.

Bintang menatap Bara yang sedang tidur itu dengan tatapan sendu. Tangan kanannya meremas bagian dada sebelah kirinya yang tiba-tiba terasa sakit dan sesak, Bintang tidak berbohong dia benar-benar kesakitan sekarang. Namun kali ini, rasa sakit yang dia rasakan bukan karena penyakitnya, rasanya berbeda. Bintang juga tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi. Apa ini terjadi karena dia kaget melihat kondisi Bara yang seperti ini? Apa ini karena Bintang merasa sakit hati dan merasa bersalah karena Bara rela mengubur mimpinya dalam-dalam demi dia, Bara ingin menjadi Dokter karena Bara ingin merawatnya, sehingga tidak ada lagi alasan yang bisa memisahkan mereka. Bintang benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran seorang Leo Ambara. Bintang tentu saja merasa senang dan bersyukur mempunyai Kakak yang mempunyai hati putih seperti malaikat. Tapi di sisi lain Bintang juga sangat membenci sifat Kakaknya yang terlalu baik itu, dia terlalu memikirkan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri. Dia seolah tidak peduli jika ada tubuh yang harus selalu dia jaga. Singkatnya seperti ini, untuk apa dia membantu orang lain di saat dirinya sendiri juga sedang membutuhkan pertolongan.

Bintang menarik dan mengembuskan nafasnya berkali-kali, berusaha untuk menenangkan dirinya.

“Sekarang aku mengerti, kenapa Ayah dan Bunda mati-matian menyembunyikan tentang ini dariku. Karena rasanya memang sesakit ini, kebenaran ini membuatku sakit, bahkan rasanya lebih sakit daripada di saat jantung sialan ini kambuh. Sakit sekali rasanya melihat orang yang kita sayangi berjuang mati-matian untuk menolong kita yang sedang sekarat ini. Bahkan sampai menumbalkan cita-citanya sendiri demi kita. Dan ini yang menjadi alasan juga kenapa Bang Bara keluar masuk rumah sakit? Karena belajar terlalu keras tanpa mengenal waktu. Aku sangat menghargai usaha Abang, tapi tolong jangan menyakiti dirimu seperti ini, aku tidak sanggup!” Bintang mulai mengeluarkan air matanya, berharap rasa sakit yang dia rasakan akan memudar bersamaan dengan air matanya yang menetes.

Lalu, dia melihat gestur tubuh Bara yang terlihat kedinginan, karena dia tidak memakai selimutnya dengan benar. Dengan tangannya yang sedikit bergetar, Bintang berniat untuk menarik selimut Bara sampai lehernya agar Bara tidak kedinginan lagi, tetapi lagi-lagi hal yang membuat Bintang merasa kesakitan itu menarik perhatiannya. Perlahan tangannya menarik tangan Bara, diperhatikannya tangan Bara itu, tangannya begitu kecil bahkan hampir sama dengan ukuran tangan Bintang, belum lagi memar-memar yang menghiasi tangannya itu. Rasa sakit itu muncul kembali, buru-buru Bintang melepaskan tangan Bara lalu menyelimutinya dengan benar.

Bintang yang merasa sudah tidak kuat dengan kenyataan yang dia saksikan itu pun memutuskan untuk keluar dari kamar Bara, dan segera turun ke lantai 1 untuk menemui Bundanya yang tidur di kamar tamu.

“Tok! Tok! Tok!”

“Bunda? Apa Bunda sudah tidur?”

Beberapa detik kemudian pintu pun terbuka, wajahnya terlihat kaget sekaligus merasa khawatir melihat keadaan Bintang yang bisa dibilang berantakan itu.

“Bunda!” Bintang langsung memeluk Kara sambil menangis.

“Ada apa Sayang? Kenapa kamu menangis? Apa ada yang sakit?” tanya Kara sambil membalas pelukan Bintang juga.

STARLIGHT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang