Chapter 12

316 44 7
                                    

Malam sudah mulai larut, namun Yoshi dan Jeongwoo masih berada di ruang latihan, dengan alasan tengah berlatih drama. Karena sudah malam, cahaya di dalam ruangan menjadi redup, hanya ada satu sorot lampu yang menerangi naskah di tangan mereka. Mereka berdiri berhadapan, dengan tatapan tertuju pada naskah di bawah.

Masih memandang naskah, Jeongwoo berkata, "Kita mulai dari adegan pertama saja." Diam sejenak, kemudian menatap ke arah Yoshi. "Hyung sudah siap?"

Yoshi menelan ludahnya. Berusaha terdengar siap, tetapi manik matanya tak bisa berhenti bergerak karena gelisah. "Tentu, ini hanya latihan."

Jeongwoo tersenyum tipis. "Hanya latihan, ya? Tapi kalau hyung tidak fokus, nanti hasilnya tidak maksimal."

"Aku tahu. Ayo mulai saja." Yoshi kemudian mengambil posisi, berusha berkonsentrasi.

Jeongwoo segera memulai adegan, menampilkan ekspresi yang tepat layaknya seorang aktor sejati. Dia melangkah lebih dekat, lalu menyesuaikan nada suaranya, seakan benar-benar berada dalam adegan drama.

"Hyung bilang, hyung takkan meninggalkanku. Lalu, kenapa sekarang mencoba menjauh?"

Masih berusaha masuk ke dalam karakter, Yoshi berbicara dengan suara yang bergetar. "Aku... aku tidak menjauh. Aku hanya butuh waktu." Wajah Yoshi tampak panik, tidak mampu berakting sepenuhnya. Ia sendiri terkejut dengan dialog naskah yang, entah kenapa, terasa lebih nyata daripada sekadar sebuah adegan drama.

Jeongwoo mengambil langkah lebih dekat, dan suaranya semakin rendah. "Waktu untuk apa, hyung? Waktu untuk merasionalkan perasaanmu atau waktu untuk menemukan alasan lain untuk lari?"

Yoshi menolehkan wajahnya. Ia tarik napas dalam-dalam lalu menatap Jeongwoo dengan tajam.

"Jeongwoo-ya," panggil Yoshi pelan keluar dari karakter.

"Iya?"

"Ini hanya latihan."

Jeongwoo menaikkan alisnya. "Benar, hanya latihan. Kenapa?"

"Berhenti memanggilku hyung. Panggil nama karakter ku."

Jeongwoo terkekeh mendengarnya. "Oh, itu. Maaf, akupun tidak bisa mengendalikannya. Nama hyung selalu saja ada dalam pikiranku."

Yoshi tak habis pikir mendengarnya. Entah mengapa, kalimat Jeongwoo kali ini sangat mengusiknya. Mungkin sebelumnya ia bisa bertahan, mendengar semua rayuan manis Jeongwoo dan menerima tindakan beraninya. Namun, semua yang terpendam kini mulai memuncak.

Masih mencoba menahan diri, Yoshi berbalik dengan raut kesal, berniat pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Jeongwoo refleks menahan Yoshi agar tidak pergi. Namun, tarikan tangan Jeongwoo rupanya cukup kuat hingga membuat Yoshi tersandung kakinya sendiri dan jatuh ke lantai ruang latihan, membenturkan lututnya pada lantai yang keras.

Jeongwoo tersentak melihatnya. Ia segera berjongkok, menatap Yoshi yang meringis kesakitan. "Maaf, aku tidak bermaksud. Hyung tidak apa-apa? Ada luka?" tanyanya khawatir, namun hanya dibalas dengan tatapan kesal dari Yoshi. Tatapan itu begitu tajam hingga membuat Jeongwoo merasa tidak nyaman, karena ini pertama kalinya ia melihat Yoshi begitu marah.

"Untuk apa?" Tanya Yoshi dingin.

Jeongwoo tampak kewalahan. 'Apanya yang untuk apa??'

"Aku yang menarik hyung? Itu untuk latihan-"

"Bukan." Potong Yoshi tegas. "Untuk apa kau harus berkata manis tadi?" Yoshi kemudian tersenyum sinis mengingat perlakuan Jeongwoo beberapa hari sebelumnya. "Tidak-tidak, memang dari sebelumnya, untuk apa akhir-akhir ini kau selalu mengganggu dengan cara yang tidak biasa?"

Belum sempat Jeongwoo ingin menjawab, Yoshi kembali bersuara.

"Oh, agar aku jadi pacarmu?"

Jeongwoo terdiam. Nada suara Yoshi terdengar berbeda dari biasanya—ada intonasi dingin, penuh amarah, dan sedikit sindiran di dalamnya.

"Apa kau kira semua begitu mudah? Setelah tahu kau menyukaiku juga, kau kira aku akan terima begitu saja lalu kita pacaran dan berbahagia seperti pasangan pada umumnya?"

Masih memegangi lututnya yang sakit, Yoshi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "tapi bagaimana ini, Jeongwoo-ya? Ternyata semua tak bisa berjalan semudah yang kau kira. Kau harus sadar, dunia tak berputar di sekitar kita saja. Masih ada anggota, saudara, bahkan keluarga. Bagi mereka, kata pacaran di antara kita adalah sesuatu yang salah."

Wajah Jeongwoo tampak datar, sulit terbaca. Seperti biasa, ekspresinya menjadi tak terjelaskan saat ia mulai menyadari alasan sebenarnya yang terpendam dalam diri Yoshi.

"Jadi, itu alasannya hyung menolakku?"

"Menurutmu?" Sarkas Yoshi lalu berdiri di tempatnya. "Aku tidak sepertimu yang tidak memikirkan segalanya. Jadi, lebih baik hentikan ini dan lupakan semua yang terjadi sebelumnya. Kau dan aku, tidak akan bisa lebih dari sekadar hyung dan dongseng. Maksudku, berhenti bersikap kekanakan, Jeongwoo."

Yoshi kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu ruangan, meninggalkan Jeongwoo yang mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Sudah 7 tahun."

Ucapan Jeongwoo menghentikan langkah Yoshi. Wajah Yoshi tampak terkejut mendengar penuturan Jeongwoo.

'7 tahun?' Batin Yoshi sedikit tidak percaya.

Jeongwoo berdiri tegap di tempatnya, menatap punggung Yoshi dengan tatapan pasrah dan berlinang air mata.

"Selama 7 tahun aku sudah memendam perasaan pada hyung. Selama itu juga aku juga merasakan yang hyung rasakan. Perasaan tertekan, tertahan, dan menyesakkan, yang terus mengisi hati dan pikiran, sampai-sampai merasa takut perasaan itu akan berkembang hingga tak bisa lagi dikendalikan."

Jeongwoo menarik napasnya, memajukan tubuhnya satu langkah ke arah Yoshi.

"Aku dulu juga seperti hyung, terus menghindar dan berharap semuanya akan tetap seperti biasa. Aku menolak kenyataan bahwa aku sudah jatuh cinta pada orang yang salah. Namun, jika hyung tahu betapa lama aku memendam perasaan ini, hyung pasti akan mengerti betapa berharganya sebuah kesempatan saat aku akhirnya tahu bahwa hyung juga merasakan hal yang sama. Orang yang kukira salah ternyata adalah orang yang tepat, hanya karena perasaan yang saling berbalas.

"Hyung tahu, kemungkinan kita saling menyukai hanya 0,01%. Begitu kecil dan mustahil, bukan? Lalu, jika kita menemukan perasaan ini, itu adalah sesuatu yang sangat langka, seperti menemukan harta karun. Sekarang, setelah menemukan harta karun itu, hyung berniat untuk membuangnya begitu saja? Hanya karena pikiran akan apa yang orang lain akan pikirkan?"

"Aku tidak. Aku akan mengambil harta karun itu, menjadikannya milikku, dan menjaganya dari apapun hingga tak ada yang bisa merebutnya dariku. Kenapa? Karena butuh 7 tahun bagiku hingga akhirnya menemukan harta karun itu. Bagi hyung yang hanya merasakannya beberapa bulan lalu tidak akan mengerti. Jadi,-"

Jeongwoo berjalan ke arah Yoshi. Membalikkan tubuh Yoshi menghadapnya lantas menggenggam kedua bahu Yoshi erat.

"Jangan katakan lagi bahwa aku tidak memikirkan segalanya. Faktanya, segala tentang hyung selalu memenuhi isi pikiranku. Suka tidak suka, aku akan terus berusaha."

Kedua tangan Jeongwoo kemudian bergerak perlahan menangkup dua pipi Yoshi.

"Yoshi hyung, jadilah pacarku."

Ujarnya, lalu segera mengambil satu langkah mundur menjauhi Yoshi.

"Hyung tidak perlu menjawab sekarang," ujar Jeongwoo. "Kali ini, aku yang menjauh. Aku akan memberi waktu untuk hyung memikirkannya. Karena sepertinya hyung lebih suka proses berpikir yang panjang daripada bertindak sesuai keinginan."

Setelah itu, Jeongwoo melangkah, melewati Yoshi, dan meninggalkannya sendirian, tenggelam dalam pikirannya di ruang latihan yang temaram.

~~~

Unspoken Feelings (Jeongshi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang