Chapter 14

372 42 10
                                    

Pagi itu, suasana di lokasi syuting terasa berbeda. Matahari baru saja terbit, menciptakan bayangan panjang dari peralatan syuting yang berjajar di sekitar set. Para kru sibuk dengan persiapan, mengatur kamera dan pencahayaan, sementara para member sedang menyelesaikan riasan mereka.

Yoshi duduk di sudut ruang tunggu, matanya tertuju pada cermin di depannya. Pandangannya buram, bukan karena penglihatan yang kabur, tetapi karena pikirannya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan. Ia memikirkan percakapan dengan Jihoon semalam, kata-kata yang masih berputar dalam benaknya tanpa henti.

Namun, sejenak ia tersadar dari lamunannya ketika pintu ruang tunggu terbuka dan Jeongwoo masuk. Yoshi menahan napas, berharap Jeongwoo akan menoleh padanya, atau setidaknya menyapanya seperti biasa. Tapi tidak. Jeongwoo berjalan lurus menuju kursinya, tanpa sekalipun memandang ke arah Yoshi.

Dengan rasa ragu, Yoshi akhirnya memanggil, “Jeongwoo…”

Jeongwoo berhenti dan menoleh, ekspresinya datar. “Apa ini tentang kita?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Jantung Yoshi berdebar. Haruskah ia mengutarakan yang sebenarnya? Namun, lidahnya seolah kelu, dan ia hanya bisa menggeleng pelan. “Tidak… Aku hanya ingin mengabari bahwa syuting kita akan segera dimulai.”

Jeongwoo menatapnya sejenak, tatapan yang sulit dibaca. “Baik,” jawabnya singkat sebelum berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Yoshi dengan rasa hampa yang semakin dalam.

Detik-detik berlalu dengan sunyi yang begitu memekakkan. Yoshi merasa ada jarak yang tiba-tiba membentang di antara mereka, dingin dan tak terjangkau. Ketika akhirnya Jeongwoo selesai bersiap, ia langsung keluar tanpa sepatah kata, meninggalkan Yoshi dengan rasa kesepian yang menggigit.

Saat syuting berlangsung, Yoshi berusaha keras untuk fokus pada perannya. Namun, setiap kali ia mencoba menatap mata Jeongwoo dalam adegan, Jeongwoo menghindar. Tatapan itu seolah tidak ingin bersinggungan dengan matanya, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Tidak ada interaksi seperti biasanya. Mereka menjalani adegan dengan sempurna, tetapi semuanya terasa dingin, mekanis, dan tiada kehangatan yang biasanya ada di antara mereka.

Waktu berlalu begitu lambat, dan perasaan ganjil yang menyelimuti Yoshi semakin sulit diabaikan. Hingga akhirnya, saat jeda syuting, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lokasi untuk menenangkan pikiran.

Yoshi tidak bisa berhenti membandingkan hari ini dengan syuting MV mereka beberapa waktu lalu. Tiada lagi senyum jahil, minuman stroberi, sentuhan hangat, ataupun perkataan manis dari Jeongwoo. Semua sirna bagai angin yang berlalu. Jika Yoshi tahu ia akan mendambakan momen itu begitu kuatnya, ia tidak akan lari begitu saja ataupun diam tanpa berkata apa-apa.

Langkah kaki Yoshi yang awalnya tanpa arah tiba-tiba berhenti ketika matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Di sebuah sudut tersembunyi, di belakang truk peralatan, Yoshi melihat sosok Jihoon dan Hyunsuk.

Mereka berdiri begitu dekat, Jihoon dengan lembut mengusap rambut Hyunsuk sambil tersenyum hangat, sementara Hyunsuk membalasnya dengan tatapan penuh kasih sayang. Mereka tertawa bak kekasih pada umumnya, seakan tidak peduli tentang apa yang orang lain pikirkan.

Yoshi terpaku. Pemandangan itu seolah mengubah segalanya.

"....cobalah untuk jujur pada dirimu sendiri. Apa yang benar-benar kau inginkan?"

"...apa salahnya memilih apa yang kau inginkan, di duniamu sendiri?"

Perkataan Jihoon terus terulang dalam pikirannya.

"...hubungan kalian tidak akan pernah sama,..."

Benar. Meski Yoshi terus menghindar, hubungannya dengan Jeongwoo tidak akan pernah kembali sama. Semua fakta sudah terungkap, apa yang bisa ia kembalikan? Tidak ada. Pikiran akan masa depan tidak lebih buruk dari situasinya sekarang. Daripada terus menjauh-bukan, daripada terus menyiksa diri sendiri, lebih baik memilih apa yang sebenarnya hati kehendaki.

Batin Yoshi berbicara,

Aku...rindu Jeongwoo.

Aku, ingin bersamanya.

Merasakan kehangatannya, menerima segala perhatiannya, dan memilikinya.

Persetan dengan pendapat orang lain, aku akan mengambil harta karun itu.
 
Dalam sekejap, Yoshi berbalik dan mulai mencari Jeongwoo. Tidak peduli bagaimana akhirnya, ia harus berbicara dengannya. Ia harus mengakhiri kesengsaraan yang mereka rasakan—dan kali ini, ia akan berlari, bukan ke belakang, melainkan ke depan.

"Park Jeongwoo!" Teriak Yoshi lalu menghampirinya dengan napas tersengal.

Jeongwoo yang sedang berdiri bersandar pada dinding bangunan tempat mereka syuting, hanya menolehkan wajahnya setengah menatap datar tanpa emosi.

"Kenapa?" Tanyanya dingin. "Jika ini bukan tentang kita, aku tidak mau mendengarnya." Ujarnya kemudian berbalik hendak pergi dari tempatnya.

Namun, dengan cepat Yoshi menarik tangan Jeongwoo, menahan tubuh itu kuat pada dinding, mengurungnya di antara kedua tangan. Yoshi mengangkat kepalanya, menatap lautan yang letaknya lebih tinggi dari matanya.

"Ini tentang kita." Tegas Yoshi membuat Jeongwoo terdiam. "Pertama, aku mau minta maaf."

Jeongwoo menunjukkan senyum sinisnya, "ah~ apa hyung akan menolakku lagi? Hyung yakin sudah memikirkannya baik-baik?"

Yoshi merasakan hati kecilnya berdenyut sakit. Ia tahu Jeongwoo terluka, dan ini semua karena kebodohannya sendiri.

"Tidak. Nyatanya, aku hendak menerima. Namun, sebelum itu aku mau minta maaf. Selama ini aku telah membuat segalanya menjadi lebih rumit. Membuatmu terus merasa kecewa, dan selalu menoreh luka setiap kita bicara. Tapi, aku tidak bisa lagi terus berpura-pura. Aku, butuh kita."

"Kau benar, Jeongwoo. Harta karun, tidak seharusnya dibuang begitu saja. Alasan mengapa aku membuangnya kemarin, bukan karena takut akan pikiran orang lain, melainkan karena aku bodoh. Kini, setelah mengerti dan menyadari semuanya, aku yang akan bertanya,"

Yoshi mengambil satu langkah mundur, membiarkan sedikit jarak di antara mereka agar dapat melihat wajah Jeongwoo sepenuhnya.

"Park Jeongwoo, apa kau yakin akan selalu berusaha melindungi harta karun itu bersamaku?"

Jeongwoo merasa hatinya kini penuh, terisi akan sesuatu yang selama ini ia dambakan. Senyum yang tadinya sinis, seketika berubah menjadi senyum tulus, murni merasa bahagia.

"Tentu saja," jawabnya kemudian. "Aku sudah terlalu dalam menggali demi menemukan harta karun itu."

Mereka saling bertukar senyum penuh makna. Hubungan mereka tak lagi sama—status mereka telah berubah, begitu pula dengan dinamika yang akan mengisi hari-hari mereka ke depannya.

Yoshi kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Jeongwoo. Mengubah ekspresinya menjadi lebih imut.

"Mana minuman stroberiku hari ini?"

Jeongwoo tertawa mendengarnya. "Tidak ada. Sebagai gantinya, aku akan memberikan sesuatu yang lebih manis."

"Apa?"

Jeongwoo menundukkan kepalanya, lalu dengan cepat mengecup bibir Yoshi singkat. "Ini," ujarnya kemudian mendapat pukulan pelan dari Yoshi.

"Menyebalkan, siapa yang bilang kau boleh..."

"Boleh apa?"

"Terserah."

Dengan wajah memerah dan tangan yang menutupi mulutnya, Yoshi berlari melangkah pergi. Melewatkan Jeongwoo yang kini tengah meneteskan air mata-bahagia.

~~~ unspoken feelings ~~~

Unspoken Feelings (Jeongshi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang