Part 23

260 27 9
                                    

Haloooo

Kembali lagi dengan cerita ini ya, semoga suka sama part ini deh😙


*****





Rui duduk bersandar di ranjangnya, pandangan matanya yang mengarah pada jendela begitu kosong. Kepalanya begitu berisik, suara Hongyi yang menjelaskan tentang keadaannya masih terngiang-ngiang.

Saat ia menutup mata, air matanya menetes di kedua sudut matanya. Rui menutup mulutnya agar suara tangisannya tidak terdengar sampai ke toilet.

Tangannya menghapus air matanya yang kini membasahi wajahnya. Sakit, Rui merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Ingin rasanya ia berteriak sekeras mungkin.

Rui menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di sana. Meredam tangisannya serapih mungkin.

Kembali ia terbayang mengenai pembicaraannya dengan Hongyi setelah makan malam. Dimana hanya mereka berdua yang ada di dalam kamar.

Rui kebingungan semalam saat Hongyi tiba-tiba meraih tangannya dan menciumnya berkali-kali, sambil menggumamkan kata maaf berulang-ulang.

"Rui, maaf ya. Aku gagal lindungi kamu dan calon anak kita."

Awalnya Rui kebingungan dengan kalimat yang suaminya itu ucapkan. Dia tidak paham mengenai anak yang Hongyi maksud.

"You were pregnant at the time of the accident, and the doctor said you had a miscarriage."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Hongyi menundukkan kepalanya menyembunyikan air matanya dari Rui. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan isakannya dari telinga Rui.

Bibir Rui bergetar menahan air matanya, ia tertawa pelan sambil mencengkram tangan Hongyi. Dia tidak ingin percaya, tapi melihat suaminya yang menangis dengan penuh rasa bersalah menjadi bukti bahwa itu memang benar.

"Sorry... i'm sorry..." Gumamnya, ia menggigit bibirnya mencoba untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Meskipun air mata sudah membasahi pipinya.

Hongyi menggenggam erat tangan Rui, "We both didn't know that you were pregnant, don't blame yourself, okay?"

Rui menatap Hongyi sambil menggelengkan kepalanya, "I killed our baby, Hongyi."

Kali ini Rui tidak bisa lagi menahan tangisannya, Hongyi berdiri dan menarik Rui kemudian memeluknya. Rui melingkarkan tangannya di pinggang Hongyi, menangis sekeras-kerasnya di pelukan suaminya.

Rui menyalahkan dirinya sendiri, andai saja dia tahu lebih awal mungkin ia bisa menghindari segala kemungkinan buruknya. Karena dirinya ia harus kehilangan calon anaknya yang bahkan baru berumur tiga minggu.

"Ssttt don't blame yourself, semuanya udah takdir Rui." Hongyi mengusap rambut Rui dengan lembut.

Butuh waktu yang cukup lama untuk menghentikan tangisan Rui. Ia tak lagi menyalahkan dirinya tapi air matanya entah kenapa selalu mengalir tanpa bisa ia cegah.

Bahkan kini ia juga tak bisa mengendalikan air matanya. Dadanya semakin terasa sesak karena menangis terus menerus.

"Rui? Rui, sayang? Hei, kamu nangis lagi?"

Hongyi yang baru saja keluar dari toilet langsung berlari menghampiri Rui. Membelai rambutnya dan menangkup wajahnya yang sudah memerah.

Lalu memeluknya sambil mengusap punggungnya, "tenangin diri kamu, kalau kelamaan nangis nanti makin sesak dadanya."

Hongyi berusaha membantu Rui mengatur nafasnya, berusaha untuk menenangkannya yang masih menangis. Menit demi menit berlalu, akhirnya Rui berhenti menangis. Hongyi menghela nafas lega saat Rui sudah tenang dalam pelukannya.

Tiba-tiba NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang