27. Tanggung Jawab

130 9 0
                                    

   Matahari mulai terbenam, memberikan sentuhan dramatis pada pertemuan mereka. Cahaya jingga yang lembut menyelimuti rumah Rose, menciptakan suasana hangat dan penuh nostalgia. Aroma masakan rumahan tercium samar-samar, mengingatkan Jimin pada masa kecilnya, saat Jisoo masih sering memasak tanpa bantuan pelayan.

  Di dinding ruang tamu, beberapa foto keluarga Rose terpajang. Suara musik lembut mengalun pelan dari radio tua di sudut ruangan, menambah nuansa sentimental pada suasana.

  Jimin berdiri di depan pintu rumah Rose dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Matanya masih bengkak hasil dari tangisan yang menyedihkan, pengingat akhir hubungannya dengan Nayeon. Tapi Nayeon benar, Jimin memiliki tanggung jawab pada kehidupan seseorang sekarang.

  Langkahnya terasa berat, seolah-olah beban dunia ada di pundaknya. Rose adalah perempuan yang dia hargai, namun perasaannya padanya tidak lebih dari sekadar rekan kerja.

  Jimin mengetuk pintu rumah Rose dengan hati yang berat.  Ketika pintu terbuka, Rose muncul dengan ekspresi terkejut di wajahnya. "Ada perlu apa bapak kemari?" tanya Rose pelan, seolah takut mendengar jawabannya.

  Jimin memandang Rose dengan penuh penyesalan. "Rose, aku akan bertanggung jawab atas semua ini." ucap Jimin perlahan, suaranya penuh dengan keheningan yang menggema di ruangan itu.

  "Permintaan Nayeon-ssi?" suara Rose tertahan, mencoba menekan rasa sakit yang merayap di hatinya.

  Jimin menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, "Tak sepenuhnya salah, tapi aku sadar harus menghadapi kenyataan bahwa ini semua adalah kesalahan yang telah aku lakukan. Aku akan bertanggung jawab atas segalanya, Rose. Meskipun mungkin aku tidak bisa memberikan cinta sebagai seorang suami."

  Jimin merasa bersalah karena telah menjadi sebab dari kehancuran hidup Rose, tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak bisa memberikan cintanya pada perempuan itu.

  Rose terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca namun tetap mencoba menguatkan diri. "Tidak perlu seperti itu, saya tahu ini tidak sepenuhnya salah bapak. Saya tidak ingin menjadi penyebab perpisahan anda dan Nayeon-ssi."

  "Saya bisa membesarkan anak ini sendiri." sambungnya.

  Jimin terpaku, melangkahkan kakinya mendekat pada Rose. "Terima kasih atas pengertianmu. Tapi aku akan berusaha untuk memperbaiki semuanya, meski butuh waktu. Kita akan melalui ini bersama." ucap Jimin sambil menatap mata Rose penuh tekad. Suaranya terdengar tegas, namun di baliknya terpancar penyesalan yang mendalam.

  "Jika kau tidak keberatan, siapkan semua barang-barangmu, kita akan tinggal bersama."

  Malam pun turun dengan cepat, tapi suasana di dalam rumah itu terasa hangat bagi Rose meskipun penuh dengan rasa canggung dan ketidakpastian. Jimin dan Rose duduk bersama di sofa, saling merasakan kehadiran satu sama lain meski tanpa sepenuhnya memahami masing-masing.

  "Kamarku di paling kanan, panggil saja jika kau memerlukan sesuatu." Kata Jimin sebelum meninggalkan Rose menuju kamarnya.

  Mereka memiliki kamar masing-masing demi kenyamanan bersama. Kamar Rose berada di samping ruang tamu sedangkan kamar Jimin berada di sudut rumah.

  Rumah mereka jauh dari kata mewah untuk seorang konglomerat. Persis selera Nayeon, sederhana. Tapi, Rose tidak masalah selama Jimin nyaman.

  Hari demi hari berlalu dengan segala liku-liku kehidupan mereka. Jimin berusaha keras untuk menjalankan tanggung jawabnya, sedangkan Rose memendam harapan bahwa cinta mungkin akan tumbuh di antara mereka.

  Namun, rasa bersalah yang mendalam terus mengganggu Jimin, dan bayangan Nayeon sering menghantui pikirannya. Hal ini membuat Rose merasa bahwa meskipun mereka secara fisik dekat, jarak emosional di antara mereka semakin melebar.

  Di suatu malam yang hening, Jimin masuk ke dalam kamar Rose lalu duduk di tepi ranjang, memandang Rose yang sedang tertidur pulas. Hatinya dipenuhi oleh perasaan sesak. Ia tahu bahwa Rose layak mendapatkan cinta seperti perempuan pada umumnya, dan dia tidak bisa memberikannya.

  Dengan langkah hati-hati, Jimin bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke meja tulis di sudut kamar. Dia mengambil selembar kertas dan pena, lalu mulai menulis dengan tinta di tangannya.

  "Aku tahu bahwa aku tidak bisa memberikan kehidupan yang kau inginkan. Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi. Jangan khawatir, aku akan tetap membantumu membesarkan anak kita. Kau pantas mendapatkan yang terbaik, dan itu bukan aku. Aku pergi, maafkan aku."

  Dengan hati yang berat, Jimin meletakkan surat itu di atas meja, lalu melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang mantap. Dia tahu bahwa keputusannya akan menyakiti hati Rose karena Jimin melanggar komitmen mereka untuk menghadapi semuanya bersama.

  Dan di pagi hari, ketika sinar matahari mulai menyinsingi jendela, Rose terbangun tapi tidak menemukan surat yang telah ditinggalkan Jimin. Ia yakin melihat Jimin menulis surat tadi malam. Air mata mulai berlinang di pipinya, karena tidak menemukan surat yang Jimin tulis.

  Rose keluar kamar dan menemukan pemandangan mengejutkan di depannya. Jimin yang sedang sibuk berkutat menyiapkan sarapan. Dirinya shock bukan main, apakah benar apa yang sedang dilihatnya.

  "Rose?" panik Jimin melihat Rose menangis, kemudian mendekat pada Rose untuk menuntunnya ke meja makan, mengingat perut Rose yang semakin membesar.

  "Apa yang terjadi? Aku mendengarmu menangis beberapa malam ini, tapi tidak sopan jika aku masuk ke kamarmu tanpa izin." Jimin mengusap air mata Rose dengan perlahan, merasakan kulitnya yang lembut dan hangat. Ia merasakan sebuah kesedihan yang mendalam di dalam hatinya, melihat Rose yang terluka karena perbuatannya.

  Rose, yang merasa lega karena semuanya hanya mimpi buruk, menangis lebih keras. Ia menyadari bahwa Jimin memang orang yang menjunjung tinggi sopan santun dan tidak mungkin melanggar privasinya.

  "Rose, bolehkah aku menyentuh perutmu?" tanya Jimin, dan Rose mengangguk kecil sambil menyeka air matanya.

  "Nak, ayah tidak bisa 24 jam bersama ibumu. Jadi, tolong jangan menyakitinya." Jimin mengusap dengan lembut perut Rose, walau cinta tak kunjung muncul di antara mereka. Tapi, Jimin mulai menyangi janin yang ada di kandungan Rose.

  "Pak! Dia menendang. Apakah bapak merasakannya?" tanya Rose dengan penuh kegembiraan, matanya berkaca-kaca. Jimin merasa terharu melihat perkembangan bayi mereka dan mulai bertanya-tanya apakah memilih anaknya daripada kekasihnya adalah keputusan yang benar.

>>>>♡<<<<
TBC

happy weekend sayang-sayangku💕🫶

How Can He?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang