5

128 6 0
                                    

Tangis bayi Bian tiba-tiba mereda–meski tidak berhenti menangis, tapi tangisnya yang kencang dan cukup membuat telinga berdengung mulai mengecil. Hanya isak-isak tangis biasa. Si bayi yang berada di pelukan sang Nyonya kembali bergerak-gerak, kali ini gerakannya seakan ingin maju dengan kedua tangan memanjang ke arah Bia.

“Hng! Hng! Hng!” si gembul mengeram sambil menatap si gadis biasa dan berusaha meraih seseorang yang dicari-cari sejak tadi.

Bia terenyuh. Sungguh.

“Bo-boleh saya gendong, Bu?” tanya Bia dengan mata berkaca. Dia bersyukur ruangan ini cukup gelap sehingga Rosa tak akan melihat matanya yang basah.
Melihat reaksi Bian yang juga berusaha meraih si gadis biasa, mau tak mau Rosa memberikan si gembul ke pelukan Bia. Dan sangat ajaib, Bian berhenti menangis. Bayi itu mendusel-dusel wajah ya ke dada Bia. Tanpa sepengetahuan Rosa, Bian yang berada di pelukan si gadis, menjalari dada Bia dengan mulutnya. Membuat gadis berusia sembilan belas tahun itu berjengit.

“Ma-maaf, Bu. Boleh Bian tidur sama saya? Sa-saya bakal mandiin dan langsung beri makan nanti,” ujar Bia terbata–antara gugup, takut Rosa memandangnya aneh dan geli sebab Bian yang seperti mencari sesuatu di dadanya menggunakan mulut. Bia tahu tujuan si gembul, tapi berusaha agar tidak terlihat mencurigakan di depan sang Nyonya Bimantara.

Rosa berpikir sebentar. Mungkin tidak ada salahnya, toh Bian langsung diam bersama Bia. Mungkin si gadis biasa bisa dipercaya untuk menjaga cucunya. Lagi pula mulai besok Bia bekerja. Ah, sekarang sudah termasuk besok, kan?

Sang Nyonya mengangguk, “Ya udah. Sampai jumpa Bian, Bia,” katanya sembari mengukir senyum.

Bia mengangguk. Ketika sang Nyonya rumah berbalik dan berjalan menjauh, dia menghela lega. Kemudian perhatiannya beralih pada si bayi gembul yang masih berusaha mencari sesuatu di dadanya. “Iya-iya, dikasih kok. Ayo, kita ke kamar.” Bia berjalan berlainan arah. Kamar yang dia tempati berada di area belakang, dekat dapur.

Beruntung dia sendirian menempati kamar yang cukup luas ini. Jadi, dia bisa bebas. Tak lupa mengunci pintu, dia membawa Bian berbaring di ranjang. Si bayi tampak tak sabar karena meremas-remas pakaian yang dia kenakan. Bia langsung mengangkat kaos serta pakaian dalam sehingga memperlihatkan sebelah puting yang di arahkan ke mulut Bian. Si gembul segera menyergap dan menyedot.

Senyum si gadis biasa terukir. Walau beberapa minggu, rasanya seperti sudah sangat lama dia tak berada di posisi ini. Menyusui Bian. Ah, meski dadanya termasuk rata, pun tak bisa menghasilkan banyak ASI, namun sebagaimana para ibu, pasti bahagia bisa menyusui putranya. Bia tidak pernah menghakimi dirinya sendiri.

Kehadiran Abi–dia memberi nama putranya begitu agar selaras dengan namanya; Rabia dan Abian. Panggilannya pun seperti nama panggilan Bia yang cuma tiga huruf. Namun, keluarga Bimantara memanggil si gembul dengan nama Bian. Bia tak berhak memprotes–dalam hidupnya memang mengejutkan. Tapi, Bia tidak menyesal. Sungguh. Cuma, keputusan tetap mesti diambil waktu itu. Kehidupan Bian jauh lebih penting daripada hidupnya.

Bia meniup ujung kepala si bayi, menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mata Bian telah terpejam meski mulutnya tetap bekerja. Malam ini dia bisa merasakan kembali perannya yang telah dia lepaskan. Mungkin, dia bisa melakukannya secara diam-diam. Selama keluarga Bimantara tidak tahu. Bian masih membutuhkannya, kan? Jadi tidak apa-apa. Hanya ketika dia berdua saja dengan Bian.

Si gadis biasa ikut memejamkan mata setelah sebelumnya meletakkan bantal di tepi ranjang agar Bian tidak jatuh ketika berguling sewaktu tidur.
**

Rosa kembali ke kamar. Sang suami–Agam Bimantara–rupanya belum tidur. Mungkin karena terbangun tadi, jadi tak bisa tidur lagi. Berbaring di sebelah sang Suami yang sedang membaca buku tebal–yang dia tahu biasanya ada di lemari nakas di sebelah ranjang–di letak di sana saat akan tidur.

“Mana Bian?” tanya sang Kepala keluarga yang heran karena istrinya kembali tanpa bayi yang beberapa menit lalu berbaring bersama mereka.

Rosa menarik selimut hingga dada. “Sama Bia. Tadi Bia ke bangun juga karena suara nangis Bian. Trus minta ijin buat tidur bareng Bian. Ah, kayaknya Bian suka sama Bia. Dia langsung berhenti nangis waktu aku kasih sama Bia. Mungkin nggak salah kita kasih Bia buat jadi pengasuh Bian.

Kening sang Kepala keluarga mengerut. “Masa?”

“Hmph!” Nyonya Bimantara mengangguk. “Ya udah. Tidur, yuk.” Imbuhnya dan memejamkan mata.

Agam tidak langsung mengikuti istrinya. Dia merasa sedikit janggal. Bian langsung berhenti menangis? Sedangkan digendong oleh Rosa, Bian masih menangis kencang. Mereka sama-sama orang asing bagi bayi kecil itu. Tapi, kenapa?
**

“Aku Minah,” seorang perempuan yang kelihatan masih muda–seperti Bia–memperkenalkan diri.

“Saya Sri,” disambung seorang perempuan yang lebih tua yang kemarin malam membukakan pintu untuk Bia–yang gerak-geriknya terlihat sangat elegan.
“Danu,” ujar seorang pria berbadan kekar yang berdiri di sebelah Sri. Dari postur tubuhnya seperti seorang bodyguard.

Bia menyungging senyum. Dia cuma mengangguk singkat karena pergerakannya terbatas–sedang menggendong baby Bian. “Aku, Rabia. Panggil Bia aja.”

Si yang paling muda di antara tiga orang yang berdiri di hadapan si gadis biasa ikut memamer senyum lalu mendekati Bia dan mencubit ringan pipi si gembul yang menggemaskan, “Utututu ..., Bian lucu banget! Aku nggak pernah puas ngelihatinnya.”

Bia menanggapinya dengan senyum.

“Bia, ayo saya tunjukin di mana kamu bisa mandiin Tuan Bian.”  Ibu Sri–rencana si gadis biasa memanggilnya, biar sopan–menginterupsi kegiatan Minah. Membuat gadis itu protes dengan menggembungkan pipi.

Sedang Danu beranjak dari dapur. Pergi entah ke mana. Mungkin ingin memulai tugasnya; yang Bia belum tahu apa.

Pagi-pagi sekali Bia bangun, mandi dan bersiap. Dia juga membuat si gembul bangun yang mengakibatkan bayi gembul tersebut terkantuk-kantuk lalu bertemu pekerja rumah tangga di dapur. Dia memang berencana bertanya mengenai perlengkapan Bian, di mana biasanya si bayi dimandikan, makanan atau susu yang dikonsumsi. Karena pasti berbeda dari yang biasa dia berikan dulu. Lebih berkualitas dan tentunya mahal. Bia tidak akan sanggup membeli.

Hah. Dia jadi sedih mengingat bagaimana dulu mengurus Bian dalam ketidakmampuan secara ekonomi. Tentu saja, dia masih sembilan belas tahun. Baru lulus tahun lalu. Belum mendapat pekerjaan tetap–juga tak bisa karena mesti merawat si buah hati. Pun, Bia adalah seorang yatim piatu yang membuatnya tak memiliki rumah atau tempat berlindung.

Si gadis biasa di tuntun ke sebuah ruangan di sebelah dapur yang merupakan kamar mandi. Di sana sudah terdapat bak mandi bayi yang diisi air hangat, sabun lalu ada handuk. Sudah siap sedia.

“Biasanya Nyonya yang mandiin Tuan Bian di kamar mandi di kamarnya, tapi karna kamu yang sekarang tugasnya rawat Tuan Bian, kamu bisa mandiin Tuan Bian di sini. Semua sudah tersedia,” jelas Ibu Sri.

“Oh, iya. Terima kasih Bu Sri.” Bia mengangguk kikuk. Dia tak tahu kalau semua sudah disiapkan. Dikira dia yang akan menyiapkan semua keperluan Bian saat mandi.

Oh, sepertinya Bia mesti memanggil para majikannya dengan sebutan Nyonya dan Tuan, seperti yang dilakukan Ibu Sri. Rasanya bakal tidak enak jika dia sendiri yang menyebut majikannya, ‘Bu’ lalu memanggil Ibu Sri dengan sebutan yang sama. Karena perbedaan status yang cukup signifikan. Juga karena Ibu Sri menyebut majikan mereka; Nyonya serta Tuan.

Bu Sri berdeham. “Kalau udah selesai, kamu bisa bawa Tuan Bian ke kamar kamu. Saya bakal antar pakaian dan keperluan lainnya nanti.”

“Iya, Bu.” Lagi, si gadis biasa mengangguk.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang