15

178 9 10
                                    

“Bia, Bia.”

Si gadis biasa segera berlari menghampiri sang Nyonya yang memanggilnya dari ruang tengah. Berdiri di sebelah Rosa yang tampak terburu-buru lalu menyerahkan Bian padanya. Beruntung Bia sempat meletakkan kain lap kotor yang dia pegang saat sang Nyonya memanggil.

Tak lama Sri pun datang ke ruang tengah. Memberi tahu pada Rosa kalau sudah siap kemudian berdiri di sebelah sang Nyonya Bimantara.

“Saya ada keperluan mendadak sekaligus pergi belanja sama Sri. Cuma ada kamu sama Minah di rumah. Saya titip Bian ya. Saya janji nggak bakal lama,” ujar Rosa sembari meraih tas yang terletak di sofa. “Saya pergi dulu. Ayo, Sri.”

Bia mengangguk. Mengantar sang Nyonya ke pintu depan. Mereka berinteraksi sejenak dengan Bian sebelum akhirnya berangkat menggunakan mobil yang telah terparkir di depan teras.

Si gadis biasa memandangi mobil yang dikendarai oleh sang Nyonya melaju ke gerbang di depan yang terbuka otomatis. Dia masuk ke rumah, menutup pintu dan melangkah ke ruang tengah. Dia sendirian ... Minah sedang membersihkan ruangan-ruangan yang ada di lantai dua. Dan ... terbesit di benak si gadis biasa, dia cuma sendiri; berdua dengan Bian. Apa bisa dikatakan ini kesempatan?

Mungkin saja. Mungkin Yang Maha Kuasa mendengar keluhannya tadi malam dan memberinya waktu untuk bersama Bian. Bia bahagia! Dia langsung membawa si gembul ke kamar, memiringkan posisi gendongan sehingga Bian berbaring di lengan dan pangkuannya. Bayi gembul itu tersenyum cerah–seakan menyambut perasaan sang Ibu.

Bia mencubit pipi si bayi kemudian menarik sedikit kaosnya ke atas, menurunkan pakaian dalam yang dia pakai dan menyodorkan putingnya ke mulut si bayi. Bian yang meski belum waktunya minum susu langsung menyedot. Melesakkan kepala dan satu tangan yang bebas memegang bagian kaos Bia yang terangkat. Iris coklatnya berserobok dengan iris sang Ibu.

Sesekali Bian tertawa lalu melanjutkan menyedot. Lama-lama mata si bayi gembul terpejam. Sepertinya sangat menikmati menit-menit bersama sang Ibu sampai terkantuk begitu. Bia senang sekali. Walau cuma sebentar, dia bisa bersama bayinya. Bisa menyusui Bian. Mengusap puncak kepala si bayi yang membuat Bian makin nyaman hingga tertidur–tetapi mulutnya tetap bergerak meminum ASI dari sang Ibu.

Sementara di depan kediaman Bimantara, lima menit kendaraan milik sang Nyonya pergi; sebuah mobil berwarna hitam datang. Seorang petugas keamanan yang berjaga di posnya–yang mengenali mobil tersebut–segera membuka gerbang menggunakan alat otomatis dan kendaraan beroda empat itu memasuki pelataran rumah milik Bimantara. Tiba di depan rumah ... dari pintu di kursi kemudi yang terbuka, seorang pria gagah keluar. Mengenakan pakaian rapi–setelan biasa pria kantoran–tetapi aura yang menguar dari tubuhnya mengintimidasi.

Dia membuka pintu dan langsung melangkah masuk. Tujuan utama pria ini adalah ruang kerjanya untuk mengambil beberapa dokumen. Setelah urusan–yang membuat ia terpaksa pulang sebentar untuk mengambil dokumen penting yang akan menjadi bahasannya dengan seorang klien sore ini–ia memperhatikan sekeliling yang sepi. Tidak ada orang. Bahkan istrinya.

Sang Pemilik kediaman Bimantara melangkah menuju dapur untuk mencari seseorang yang bisa ia tanyai sembari merogoh saku celana untuk mengambil alat komunikasi pribadi guna menghubungi si istri sebelum sorot tajam milik pria ini tak sengaja menemukan kamar si pengasuh cucunya yang terbuka dan melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu.

Langkah Tuan Bimantara terhenti. Membelalak. Raut terkejut tercetak jelas di wajah.

“Tu-Tuan ....” suara si pengasuh parau.
**

Suasana makan malam di kediaman Bimantara entah mengapa terasa sedikit ganjil. Ah, mereka makan seperti biasa; lengkap, satu keluarga. Hanya saja ada hawa-hawa kurang menyenangkan yang menguar entah dari siapa. Si putra sulung mengamati satu-per satu orang yang duduk mengelilingi meja makan, namun dia tidak dapat mencurigai salah satunya. Entah siapa, tapi cukup mengganjal dan mengganggu.

Adnan menghela diam-diam. Dia paling tidak suka hal begini. Pasti salah satu di antara mereka moodnya buruk dan terbawa kemari. Tapi, dikarenakan raut muka Bimantara memang lempeng, datar dan jarang berekspresi, jadi ia tidak dapat menebak. Ketika Bia bersama Minah datang membawa makanan yang paling akhir di sediakan, sorot si sulung tak sengaja mendapati garis tegang di wajah Bia. Tegang, takut, gelisah–begitulah.

“Rabia?” Si sulung memanggil. Membuat si pengasuh keponakannya menoleh. “Kamu kenapa? Wajah kamu mendung banget.” Selain sang Kepala keluarga, Adnan adalah orang nomor dua yang sangat peka.

Si gadis biasa terkejut. Iris coklatnya melarikan diri dari tatapan tajam si putra sulung dan bergerak-gerak–sesekali melirik ke arah sang Kepala keluarga yang hanya diam seakan tidak mendengar pertanyaan Adnan–sedang Rosa dan Adrian ikut menatapnya. “Ng-nggak apa-apa, Tuan. Saya baik-baik aja.” Dia menunduk lalu berjalan pergi dari dapur. Kabur

Adnan mengerutkan kening. Aneh.

Di ruang memasak, si gadis biasa tergopoh-gopoh menyambangi wastafel lalu memutar kran sehingga air mengalir. Dia menampung air menggunakan tangan kemudian di basuh ke muka. Beberapa kali sampai kaos yang dia pakai basah. Sambil memutar kembali kran agar air berhenti mengalir, Bia menarik napas dalam-dalam lalu di hembuskan.

Dia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik!

Bagaimana mungkin dia baik-baik saja sewaktu terpergok sedang menyusui Bian oleh sang Kepala keluarga? Wajah terkejut Agam masih segar di ingatannya.  Dan ... dan dia tidak bisa membela diri! Bia segera memindahkan Bian ke ranjang, memperbaiki pakaiannya dan buru-buru menghampiri sang Tuan besar. Dia takut! Apa yang dipikirkan oleh sang Bimantara ketika melihat dia yang seorang pengasuh menyusui cucunya?

Kali ini yang menjadi ketakutan si gadis biasa adalah dia yang langsung di usir, di lempar ke jalanan atau mendapatkan hukuman dari sang Kepala keluarga. Juga ... dia takut identitasnya terbongkar. Jika perlu dia akan berlutut di kaki Agam.

“Tu-Tuan ... maafin saya, Tuan. Saya, saya nggak bermaksud. Saya ....” bagaimana menjelaskannya? Apa yang mesti dia katakan? Bia tidak tahu!

Agam menatap raut ketakutan si gadis biasa. Wajahnya mengendur, dia membalik badan. “Temui saya di ruang kerja saya nanti malam setelah antar Bian ke kamar Adrian.” Katanya dan pergi. Melangkah menjauh meninggalkan Bia.

Bia tidak tahu ... apa yang bakal terjadi? Dia takut membayangkan. Tidak berani. Nanti, di ruang kerja sang Kepala keluarga ... apa yang akan terjadi? Apa dia akan di interogasi? Ditanya-tanya dan dipaksa menjawab? Apa dia mesti membeberkan semua? Atau ... apa dia pergi saja dari rumah ini? Tapi, bila Agam makin marah bagaimana? Bisa jadi ia diburu! Pikiran Bia makin tak jernih.

Jantungnya bertalu-talu. Tidak siap menghadapi sang Kepala keluarga nanti malam. Apalagi dia sendirian!

“Bia?”

Si gadis biasa terkejut. Dia menoleh dan mendapati Sri berdiri di dekatnya memandang dengan kening mengerut. Bia segera membersihkan wajahnya menggunakan kaos yang ia kenakan. Mengeringkan dari air yang ia basuh kan ke muka. Memamer senyum pada perempuan yang lebih tua darinya. “Gerah, bu. Jadi saya basuh muka di sini.”

“Bener?”

Bia mengangguk mantap. “Hmph!” disertai senyum.

Sri mengangguk percaya. Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. Membiarkan si gadis biasa tetap di dekat wastafel–yang raut wajahnya berubah kembali. Gimana ini? Apa yang mesti kulakuin? Apa merangkai banyak alasan? Menyiapkan jawaban-jawaban agar sang Majikan tidak curiga? Akh! Orang-orang Bimantara nggak bodoh, Bia! Kamu yang bodoh!

***


Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang