14

108 5 0
                                    

Dikarenakan hari minggu; keluarga Bimantara tidak ada yang pergi bekerja. Semuanya berada di rumah. Sang Nyonya tengah bermain dengan Bian di ruang tengah, si bungsu juga berada di sana–duduk di seberang sofa yang ditempati sang Mama–bersandar di sandaran sofa menghela napas banyak-banyak.

Hari ini Adrian dikerjai oleh kakaknya yang mengatakan dia mesti lebih memperhatikan si gembul. Meminta si tampan muka teplon selalu menggendong Bian, memberi makan, memberi susu dan hampir si bungsu ini diminta memandikan si gembul yang langsung di tolak mentah-mentah. Memandikan ... bagaimana kalau dia salah pegang? Bagaimana jika sabunnya masuk ke mulut, telinga, hidung atau mata Bian? Tidak-tidak. Beruntung Bia segera mengambil alih dan mengatakan bahwa itu adalah pekerjaannya. Oh, Adrian terselamatkan.

Namun, si bayi yang memang tidak rewel hari ini tampak tidak bersemangat. Bian masih menanggapi candaan Rosa, namun tak seceria biasanya. Apa mungkin karena Sarah tadi pagi? Ah, perempuan cantik tersebut sudah pulang setelah belajar memandikan dan memakaikan pakaian si bayi gembul bersama Bia.

“Haa ....”

Sang Nyonya menoleh setelah mendengar suara helaan napas keras dari seberangnya. “Belum satu hari penuh, kamu udah capek gitu. Gimana mama dulu ngurus kalian, huh?”

Si bungsu melirik mamanya. Dia ingin menjawab; ‘karena mama bertanggung jawab. Kalau aku dipaksa sama kakak’, tapi tidak terlontar di mulutnya. Bisa berdebat nanti. Ya, direcoki oleh kakaknya memang menyebalkan. Apalagi Adnan itu hobi mengganggu, makanya Adrian mengiyakan meski dalam hati mengutuk si sulung. Dia lelah. Melakukan ini-itu dengan hati mengutuk-ngutuk.

Makanya, kalau kamu ikhlas, kamu tidak akan lelah, Adrian. Ya, kan?

Rosa menggeleng. Sampai kapan putra bungsunya itu akan merasa terbebani karena Bian? Tidakkah timbul rasa sayang seperti ia yang menyayangi Bian? Adnan yang bukan ayah si bayi saja tampak menyayangi Bian. Pun sang Suami yang mungkin cuek, tapi ia tahu bila Agam juga menyukai si gembul. Hanya Adrian yang masih menganggap Bian adalah sesuatu yang asing di rumah mereka–meski ia tetap melakukan apa yang diminta orang lain untuk Bian.

Tidak ada pembicaraan lagi antara ibu dan anak tersebut. Rosa kembali fokus pada si bayi gembul dan Adrian dengan kegiatannya–beristirahat. Tak lama si pengasuh Bian muncul di ruang tengah dan menghampiri sang Nyonya.

“Permisi, Nyonya,” panggilnya lalu menyerahkan sebuah botol susu. “Ini susu Tuan Bian.”

Rosa menerima dan segera memberikan pada si bayi yang langsung menyambut dan menyedot isinya dengan semangat. “Makasih.” Katanya.

Bia mengangguk sebagai jawaban.

“Wah, Bian lagi minum susu ya?” putra sulung Bimantara muncul entah dari mana; dia sudah berdiri di belakang sofa yang ditempati oleh mamanya dan si bayi. Adnan mengusap kening Bian dengan ibu jarinya lalu memandang si bungsu di sofa seberang. “Hei, Dri.”

Si tampan muka teplon tidak menyahut, tapi sorot tajam miliknya memandang sang Kakak.

“Cari istri itu kayak Rabia yang ngerti banget keadaan Bian.” Senyum miring terpoles di bibirnya. Adnan berdiri sehingga penampilannya yang rapi terlihat. Smirk masih bertahan di wajah kemudian mengubah lengkungan bibirnya menjadi senyum kasual. “Atau nikah aja sama Rabia. Dia bisa ngurusin kerjaan rumah tangga sama ngurus Bian dengan baik. Pasti bisa ngurus kamu juga. Dah!” Katanya seraya melangkah menjauh–menuju pintu depan–serta mengedipkan sebelah mata.

“HA?!”

Suara tawa si sulung terdengar meski tubuhnya tak terlihat lagi. Sudah menghilang di balik dinding. Adrian sungguh heran dengan perilaku kakaknya yang hobi sekali mengganggunya. Lagi pula, apa maksud Adnan tadi? Dia menikahi Bia? Hanya karena si pengasuh bisa mengurus pekerjaan rumah, mengurus Bian lantas dapat mengurus dirinya? Jangan bercanda! Sudah pekerjaannya, tentu Bia harus bisa melakukannya. Gah! Adrian benar-benar ingin menggunduli kepala kakaknya!

“Bia.”

Si gadis biasa tersentak. Dia termenung karena ucapan putra sulung Biman tadi. Apa Adnan tahu siapa dia? Tidak mungkin. Pasti cuma candaan saja. Si sulung memang suka begitu, namun hati Bia benar-benar tidak kuat mendengar pernyataan itu. Dia takut.

“Maafin Adnan, ya. Dia cuma bercanda,” ujar Rosa disertai raut penyesalan.

Bia menggeleng. “Ng-nggak apa-apa, Nyonya. Saya ngerti.” Dia memoles senyum tipis lalu menunduk, berniat kembali ke belakang untuk membantu para pekerja rumah.

Sepeninggal si gadis biasa, Adrian yang melihat gerak-gerik Bia; apalagi teringat ucapan kakaknya, berdecih. Kesal. Cuma si sulung yang berani menjahili Adrian sampai membuat si tampan muka teplon ini bertampang kusut dan mengutuk dalam hati.
**

Jika dimalam-malam sebelumnya Adrian tidak pernah terjaga pukul dua dini hari, tapi bayi gembul yang tidur bersamanya sukses membangunkan si Bimantara muda dengan tangisan kencang. Adrian yang tidak tahu apa yang terjadi cuma menggendong Bian dan mengayun-ayun si bayi agar dapat tenang. Namun, tangis si bayi gembul tak berhenti.

Karena tidak mengerti dan sedikit panik, si tampan muka teplon buru-buru keluar kamar dan mencari kamar yang ditempati si pengasuh. Adrian mengetuk pintu kamar dengan kasar supaya orang di dalam cepat keluar. Ya, cuma berselang beberapa detik pintu terbuka dan memunculkan si gadis biasa yang dipaksa bangun.

“Oh, Bian.” Kesadaran si gadis biasa dia dapatkan sepenuhnya.

“Dia tiba-tiba nangis. Aku nggak tahu kenapa,” kata si tampan muka teplon lalu menyerahkan si gembul ke tangan Bia.

Baru berpindah tangan, si gadis biasa tahu kenapa Bian menangis. Dia menatap Adrian dengan kepala sedikit tertunduk. “Popoknya basah. Tuan mau masuk atau nunggu di sini selagi saya ganti popoknya Tuan Bian?” tanyanya.

Adrian berpikir sebentar. Dia setuju untuk mengikuti si gadis biasa masuk ke dalam kamar. Jangan berpikiran macam-macam ya. Dia punya tujuan, kok!

Si pengasuh membaringkan Bian yang masih menangis di ranjang lalu membuka celananya. Melepas popok yang basah dan berat yang langsung membuat tangis si bayi berhenti. Adrian terperangah–tentu–dia baru tahu bayi akan berhenti menangis jika popoknya yang basah di lepas. Lalu Bia memasang popok yang baru. Ah, dia punya persediaan di kamar. Juga karena kamar untuk Bian belum selesai, jadi dia menyimpan sebagian besar peralatan si gembul di kamarnya.

“Mulai besok kasih aku beberapa untuk persediaan,” ujar si Tuan muda sembari memperhatikan cara Bia memakaikan popok.

Bia mengangguk. Ketika selesai, dia memandang sang Tuan muda. “Apa Tuan mau bawa Tuan Bian lagi?”

Si bayi gembul yang rupanya masih mengantuk memasukkan tangannya ke mulut–seperti mengunyah meski giginya belum tumbuh–dengan mata terpejam.
“Terus?” hanya ini balasan si tampan muka teplon.

Si gadis biasa menyingkir, memberi ruang untuk Adrian mengambil Bian lalu pergi dari kamarnya. Padahal ... padahal Bia ingin meminta ijin; jika diperbolehkan dia mau tidur bersama Bian. Rindu sekali rasanya. Karena beberapa hari ini dia tidak memiliki waktu banyak dengan si bayi.

Apalagi sejak Rosa jarang keluar, Bian pasti dibawa olehnya. Jadi waktu yang dimiliki Bia bersama si bayi berkurang drastis. Belum lagi sudah dua hari dia tidak menyusui si bayi. Dada Bia sedikit gatal karena ASInya tidak keluar. Tapi, ini adalah konsekuensi yang harus ia tanggung. Dia harus paham posisi; tidak boleh keras kepala. Dia hanya seorang pengasuh di sini. Bia menghembus napas lelah. Menutup pintu kamar yang terbuka dan kembali ke ranjang. Beristirahat.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang