Sri yang sudah seperti kepala pelayan–karena tetap bersikap sopan terhadap Bia meski sesama pekerja rumah tangga atau mungkin memang sikapnya begitu? Entahlah. Meninggalkan si gadis biasa dan bayi Bian yang menguap lebar. Si gembul itu sepertinya mulai terjaga, matanya yang sayu mengerjap kemudian merapatkan badan ke tubuh yang dikenali adalah ibunya.
“Bian mandi dulu ya,” Bia masuk ke dalam kamar mandi. Melepas seluruh pakaian si bayi yang membuat Bian sedikit bergidik. Sebelum memasukkan si gembul ke tempat mandinya, dia menampung sedikit air menggunakan tangan dan di usapkan ke tubuh Bian. Agar tidak terkejut ketika berendam nanti.
Dirasa cukup, Bia memasukkan si bayi. Ya, Bian tidak menangis. Si gembul dengan pipi cubitable itu–yang baru sadar bertemu air–seakan kehilangan kantuknya. Tangannya bergerak menepuk-nepuk sehingga air terciprat dan mengenai Bia. “Iya, Bian lagi mandi. Gimana? Seneng? Nggak dingin, kan?” dia mengajak si bayi berbicara yang hanya disahuti tawa tanpa suara dari Bian.
Sabun mulai di baluri ke tubuh Bian; dari ujung kaki hingga leher. Mengusap kepalanya dengan sabun lalu wajah si bayi dengan hati-hati agar tidak masuk ke mata. Bia dengan telaten membasuh si gembul yang telah selesai disabuni. Bersamaan dengan si bayi yang dengan riangnya bermain air. Menciprat ke mana-mana mengenai pakaian Bia yang jadi basah.
Bia tidak menyadari seseorang memerhatikannya dari jauh. Mengamati bagaimana dia memandikan si gembul dan reaksi Bian yang sangat gembira bersama gadis itu.
**
“Oh, kamu baru selesai mandiin Bian?” pertanyaan dari sang Nyonya menghentikan langkah si gadis biasa yang berjalan melewati dapur menuju kamarnya.
Bia mengangguk sambil memeluk Bian yang berbalut handuk, “Iya, Nyonya.” Arah pandangnya tak sengaja melihat ke meja makan yang sudah diisi oleh seluruh keluarga Bimantara; dari sang Kepala keluarga, putra sulung, putra bungsu dan Nyonya Bimantara yang mengajaknya bicara.
Saat iris si gadis biasa bersitatap dengan si putra bungsu, dia buru-buru mengalihkan tatapan. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Bia tidak sanggup menatap mata milik si tuan muda. Membuat Adrian yang duduk di kursinya mengerutkan alis. Tidak mengerti tindakan aneh gadis ini barusan. Namun, tak bersuara.
“Saya udah suruh Sri siapin susu Bian. Juga baju Bian udah ada di kamar kamu ya.” Katanya.
Bia mengangguk lagi. Dia mengucap permisi sebelum berbalik dan beranjak pergi. Detakan jantung yang masih beroperasi dengan cepat mengiringi langkahnya meninggalkan dapur. Bia tidak tahu bagaimana wajahnya sekarang. Ada perasaan takut menyelip di hati. Dia bergegas ke kamar, membuka pintu lalu membawa Bian ke ranjang. Membaringkan si bayi lalu duduk di tepi. Dia mesti membiasakan diri. Dia berada di rumah Bimantara sekarang. Jadi, otomatis akan sering bertemu si bungsu yang menjadi ayah si gembul.
Melirik ke arah Bian yang sibuk menggigiti handuk yang membalut tubuhnya, Bia menghela lagi. ‘Jangan dipikirin, mereka nggak tahu siapa aku’. Sekiranya organ paling penting dalam tubuhnya mulai berdetak normal, Bia mulai mengurusi Bian. Oh, pakaian si gembul serta perlengkapan sehabis mandi sudah ada di atas ranjang. Di siapkan oleh Sri sebelumnya.
Tak lama pintu kamar Bia yang terbuka diketuk. Si gadis biasa menoleh dan melihat Sri berdiri di depan kamarnya. Sambil mengucap permisi, perempuan yang tampak seperti ibu bagi Bia masuk ke kamar dan memberikan botol susu di atas nampan.
“Makasih, Bu.”
Sri mengangguk. Meletak nampan yang dipegang saat membawa botol susu di atas nakas kemudian keluar dari kamar. Bia memperhatikan botol susu yang ada di tangannya. Dari indra perasa di kulitnya, suhu di dalam botol pas. Memandang si gembul yang sudah selesai berpakaian serta harum dan sedang bermain-main sendiri, dia menyodorkan ujung botol pada Bian.
“Nah, Abi minum susu dulu ya ....” Katanya. Di depan keluarga Bimantara, dia akan menyebut si gembul dengan nama panggilan yang mereka berikan. Tapi, bila berdua saja, Bia ingin tetap memanggil putranya dengan nama yang biasa dia gunakan dulu.
Ketika dot masuk ke dalam mulut Bia dan si gembul menyedot susu yang ada di botol, si bayi langsung menjauhkan mukanya sehingga dot terlepas dari mulut Bian menunjukkan raut tidak suka dan perlahan-lahan menangis.
“Eh, kenapa? Apa masih panas?” Bia meneteskan susu ke punggung tangannya. Tidak panas, malah hangat. “Atau Abi nggak suka rasanya ya?” dia bertanya pada si bayi yang terisak kecil, “Mama lupa tanya sama Bu Sri susu merek apa ini.”
Meski sedikit cemas karena tak mungkin keluarga Bimantara memberikan susu sembarangan. Kali ini Bia mencicipi rasa dari susu di botol. Seperti susu pada umumnya, hanya lebih kental dan lebih terasa. Sekali lagi mencoba memberikan susu itu pada Bian–yang tetap saja di tolak. Bian tidak mau. Si gembul menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, menolak dot yang masuk ke mulutnya.
Bia bingung. Kalau Bian tak mau minum susu ini, bagaimana? Dia melihat ke arah dadanya. Tidak mungkin dia menyusui Bian sekarang. Seluruh keluarga Bimantara masih di rumah. Apalagi para pekerja rumah tangga sedang melakukan tugasnya. Apabila tiba-tiba mereka kemari, bagaimana? Tapi, Bian masih terisak. Jika terisak begitu dan diberi susu biasanya si bayi akan diam dan tidur.
Bagaimana ini? Apa yang mesti dia lakukan?
Setelah beberapa detik berpikir, si gadis biasa memutuskan. Dia menutup pintu kamar. Mengunci kemudian kembali ke ranjang. Perasaannya sedikit tidak enak, tapi ini demi Bian. Bia membuka kancing kemeja yang dia kenakan–dia tidak punya seragam seperti kebanyakan babysitter juga mengenakan baju yang dibawa saja–lalu berbaring di sebelah si bayi dan menyerahkan putingnya yang tentu di sambut antusias oleh Bian.
“Abi kayaknya pemilih ya. Susu enak begitu nggak mau,” ujar si gadis biasa sembari mengusap kepala Bian.
Bayi gembul itu sudah tenang; anteng. Berbaring menghadap sang ibu sambil menyusu.
**
“Rabia?”
Bia tersentak. Dia jatuh tertidur ketika menyusui Bian. Suara di depan kamar masih terdengar memanggil di susul ketukan pintu. Bia memeriksa si bayi yang nyenyak di sebelahnya. Dia terburu memasang kembali kancing kemeja dan turun pelan-pelan dari ranjang agar tidak membangunkan si gembul. Setelah rapi kembali, dia membuka pintu dan bertemu dengan sang Nyonya.
“Ny-Nyonya, maaf. Saya ketiduran sambil kasih Tuan Bian susu.” Dia menunduk dalam.
“Oh? Oke, nggak apa-apa. Saya cuma mau mastiin.” Rosa meneruskan pandangannya ke dalam kamar dan benar di atas ranjang si bayi tampak pulas. Senyum terbit di bibir sang Nyonya, “Kamu bisa pergi sarapan setelah pastiin Bian aman ditinggal. Suami dan anak-anak saya udah berangkat. Saya juga mau pergi sebentar lagi. Kamu bisa bantu pekerjaan lain kalau Bian tidur. Ah, kami juga berencana buat kamar untuk Bian. Sementara, ya ..., nggak apa-apa di kamar kamu dulu.” Penjelasan panjang Rosa diakhiri senyum.
“Iya, Nya.”
“Oke deh. Saya berangkat ya. Kalau kamu perlu sesuatu atau mau tanya tentang keperluan Bian, cari Sri aja ya.”
“Baik, Nyonya.”
Rosa mengangguk. Dia berbalik dan pergi meninggalkan Bia. Ah, pekerjaannya banyak sekali hari ini. Mana tidak bisa berpamitan pada cucu kesayangannya.
Bia menghela. Dia hampir terkena serangan jantung tadi. Mulai hari ini identitas barunya sebagai pengasuh Bian di mulai.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikatan Hati
RomanceKisah ini sudah di publish beberapa kali di bawah nama-nama yang berbeda ㅡharap maklum, penulisnya suka ganti nama penaㅡeheㅡdi antaranya; Caya, Kae, Bwa, dan kali ini Jeruk. Silahkan dinikmati .... *** Summary : Abian Bimantara. Anak kamu, Adrian Bi...