9

107 6 0
                                    

Tak ada pembicaraan di dalam mobil. Adrian fokus menyetir, sedang si gadis biasa duduk di sebelah kursi pengemudi. Tadi, sebelum berangkat si bungsu yang menyuruh Bia duduk di sebelahnya. Dia merasa seperti sopir jika gadis itu duduk di belakang walau tengah menggendong Bian.

Si bayi gembul juga tidak menangis lagi, malahan terkantuk-kantuk sebab kelelahan memberontak, namun tetap tak mendapatkan apa yang diinginkan. Bia mengusap-usap puncak kepala Bian dan sesekali mengecup keningnya. Si bayi gembul kelihatan sangat nyaman atas perlakuan Bia ditambah suasana sunyi, AC mobil yang diatur agar tidak terlalu dingin dan detakan dari ibunya yang bagai lantunan lagu tidur menambah kenyamanan si gembul sehingga lima menit mobil melaju dia sudah nyenyak di pelukan si pengasuh.

Degup jantung si gadis biasa sebenarnya sangat cepat. Napasnya hampir tersendat. Namun, dia menutupi semuanya agar tidak mencurigakan. Apalagi ada Bian yang membantunya dapat fokus hanya kepada si gembul. Jadi otak Bia tak cuma memproses ‘ada Adrian di sebelah’.

“Di mana toko susu yang buka dua puluh empat jam?” lelaki tampan berkulit putih yang kita sebut saja si muka teplon buka suara.

Huh? Bia menoleh. Apa tadi? Toko susu? Dia tidak pernah tahu ada toko susu. Apa khusus menjual susu? Mungkin saja. Tapi, dia tak tahu di mana. Menelan saliva, tenggorokannya terasa kering. “Ca-cari di supermarket terdekat a-aja, Tuan.” Bia bisa mendengar suaranya yang sangat parau dan terbata. Ya Tuhan, semoga cepat berakhir. Dia ingin cepat-cepat masuk ke kamar, bersembunyi di sana mungkin sampai besok pagi atau beberapa hari.

Tidak ada balasan dari si pemuda Biman. Dia masih menjalankan mobil miliknya. Melewati jalanan besar dan toko-toko pinggir jalan yang masih buka. Kerlap-kerlip penerangan di jalan menghiasi kaca mobil yang menjadi pemandangan Bia sepanjang perjalanan.

Sekitar sepuluh menit kemudian kendaraan yang dikemudikan si tuan muda memasuki area parkir di depan sebuah supermarket yang cukup besar. Mematikan mesin lalu mereka keluar bersama dari mobil. Adrian menatap Bia yang diam di samping mobil sembari memeluk Bian.

Dia menghela pasrah. “Kamu cari, aku yang bayar.”

Kalimatnya membuat Bia terperanjat lalu mengekor di belakang si tuan muda memasuki supermarket.

Bia harus benar-benar mempersiapkan diri. Dia selalu terkejut ketika Adrian buka suara.

Setiba di dalam, posisinya berubah; Bia berjalan di depan Adrian sambil melihat-lihat rak yang berisi kotak-kotak susu formula dari berbagai merek. Ya, mereka langsung ke bagian rak susu. Langkah si gadis biasa terhenti saat melihat merek yang sering dia beli untuk Bian dulu berada di antara susu-susu formula yang harganya lumayan mahal. Bisa dikatakan susu itu yang paling murah. Dia agak ragu untuk mengambilnya.

Bia berbalik, melihat Adrian berdiri tak jauh darinya membawa satu keranjang kosong di tangan. Mengerutkan kening ketika si pengasuh ragu-ragu menatapnya. “Anu, Tu-Tuan ... saya nggak tahu harus milih yang mana.”

“Terserah aja. Mana yang menurut kamu disukai sama bayi,” jawaban simpel tak berfaedah dari mulut lelaki tampan ini. Kamu bapaknya loh, Bang.

Bia masih ragu. Menatap produk susu di depannya lamat-lamat. Hah ... dia jadi ingat mesti mengumpulkan uang terlebih dahulu agar dapat membeli susu itu untuk Bian. Mana si gembul bisa menghabiskan satu kotak susu tersebut dalam beberapa hari, jadi Bia mesti membagi waktu memberi ASI dan susu formula agar gizi dan stoknya cukup. Di tambah dia cuma bisa bekerja malam hari saat Bian tidur.

Bian bergerak dalam pelukan Bia membuat si gadis biasa terkesiap lalu mengayun sebentar sambil ber-ssh agar si bayi tidak terbangun.

Gerak-gerik gadis ini terekam dalam retina gelap si tuan muda. Layaknya para ibu menenangkan bayinya yang hampir terbangun. Entah karena gadis yang baru sehari menjadi pengasuh baby Bian berpengalaman mengasuh bayi, Adrian melihat bila Bia cocok menjadi seorang ibu. Perlakuannya yang lembut pada Bian. Ya, dia juga berada di rumah dan beberapa kali melihat interaksi si gadis biasa dan si bayi. Sudah seperti ibu dan anaknya.

Adrian mendekati Bia lalu melihat produk susu yang tadi dipandangi oleh gadis itu. Mengambil salah satu kotak kemudian membolak-balik. Membaca sebentar kandungan dan ketentuan yang terlampir di kotaknya. Kemudian beralih ke si pengasuh, “Ini?”

Ragu-ragu Bia mengangguk.

Si pemuda tampan bermuka teplon langsung memasukkan kotak susu tersebut ke keranjang. Meraih tiga kotak lagi sebagai stok di rumah. Supaya tidak bolak-balik membeli susu setiap hari. Sekalian saja. Bia di samping Adrian hanya diam, meski dalam hati sedikit kesal. Mereka yang punya uang memang tidak pandang harga.

“Cuma ini? Nggak ada lagi?”

Ah, mereka susah seperti pasangan yang membeli susu untuk si buah hati.
“I-itu aja, Tuan,” jawab Bia.

“Memangnya dia nggak makan? Cuma minum ini aja?” uh, mulutnya yang tanpa sensor minta di cubit.

Sekali lagi, Bia kita yang lugu dan polos terkesiap mendengar pertanyaan tuan muda di sebelahnya. Memang sudah boleh memberi bayi makan di usianya yang memasuki enam bulan, tapi Bia ingin memberi Bian makan bubur nasi yang dicampur sayur atau sup dan buah ketimbang makanan bayi instan.

“Mu-mungkin buah, Tuan,” sahut Bia.

Adrian mengangguk. Berjalan mendahului si pengasuh ke area buah. Bia mengikuti dari belakang dalam diam. Dia tidak berani berkomentar. Ketika di area buah, si tuan muda tiba-tiba berbalik mengagetkan Bia. Untung saja dia sigap berhenti. Meski kembali spot jantung.

“Buah apa yang bisa dimakan bayi?”

“Pi-pisang, labu ....”

Pemuda berusia dua puluh lima tahun, bungsu keluarga Bimantara yang dikenal pendiam dan dikira aseksual itu beranjak ke rak pisang. Mengamati buah berwarna kuning yang dipajang dengan wajah serius. Semua pisang itu sama saja di matanya. Bingung mau mengambil yang mana, lagi-lagi dia menatap si pengasuh. Memberi kode untuk memilih pisang yang ada.

Sungguh sangat tidak baik bagi jantung Bia.

Si gadis biasa memastikan Bian aman dalam gendongannya lalu satu tangan yang bebas meraba-raba salah satu dari tumpukan pisang. Menekan pelan, memastikan. Setelahnya dia mengambil satu sisir dan diberikan pada Adrian.
Langkah si tuan muda berlanjut ke tempat buah labu. Di sana terdapat beberapa jenis labu–yang Adrian baru tahu nama-nama dan bentuknya–yang dia kira semua labu itu bulat.

“Labu apa yang bisa untuk bayi?” tanyanya.

Bisa menunjuk salah satu labu bulat berwarna hijau. Tanpa bertanya lebih lanjut si tuan muda langsung mengambilnya dan memasukkan dalam keranjang.

“Ayo,” Adrian berjalan duluan. Mereka menuju kasir untuk membayar semua yang ada di keranjang.

Bia tidak ikut mengantre. Dia berdiri di dekat kasir yang mengarah ke pintu masuk. Dia memandangi Bian yang masih terlelap dan tidak terganggu. Mengusap kening si bayi dan mengecup keningnya. Abi punya ayah yang baik. Semua kebutuhan Abi bisa dipenuhi tanpa perlu mikirin uang. Mama harap Abi akan tumbuh menjadi anak yang sehat dan patuh pada orang tua. Siapa pun ibu Abi nantinya, semoga aja dia bakal sayang sama Abi dengan tulus.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang