13

102 6 0
                                    

“Bian~” melihat respon si bayi yang tertawa, Sarah makin gemas. “Boleh aku yang gendong? Please, Adrian.” Menunjukkan wajah semelas yang ia bisa.

Adnan bangkit dari lantai. Pundaknya–yang dipukul Sarah–terasa sakit. Bokongnya pun sakit karena jatuh dan terseret. Ah, masih pagi dia sudah dianiaya.  Sambil mengusap pundak, ia mengambil posisi di sebelah ayahnya. Posisi di sebelah sang Mama adalah tempat duduk Adrian, sebab mama mereka pasti akan meminta Bian untuk diberi sarapan atau susu.

Si bungsu mengangguk. Sarah sudah menikah. Entah kapan, tapi pasti bakal punya keturunan, kan? Tidak apa-apa ia memberikan Bian sebentar padanya. Sebagai latihan menggendong bayi nanti. Pelan-pelan memberikan si bayi gembul yang tampak masih riang. Menginstruksi perempuan cantik itu bagaimana menggendong bayi dengan benar. Ehm, sebenarnya Adrian juga dipaksa untuk mempelajari hal tersebut dari mamanya. Makanya dia tidak ragu-ragu menggendong Bian dan beruntung si gembul sudah lewat setengah tahun. Coba saja baru lahir, Adrian seratus persen yakin dia tidak akan berani menggendong.

Bayi baru lahir sangat rapuh, ya kan? Tulang-tulangnya sangat lunak. Ekstra sangat hati-hati. Ah, membayangkannya si bungsu bergidik ngeri.

Setelah memberikan Bian pada Sarah, Adrian langsung menempati kursinya–bertepatan pula dengan seorang gadis berpakaian sederhana; rok panjang yang lebar dipadu atasan kaos memasuki dapur sembari membawa teko kecil–yang berisi kopi hitam yang dipesan oleh sang Kepala keluarga sebelumnya. Ah, selain pengasuh, gadis itu  juga sering membantu pekerjaan rumah, jadi tidak heran bila dia terkadang melayani keluarga Bimantara.

Bian yang sedang bersama Sarah–awalnya bayi gembul itu tertawa-tawa ketika perempuan cantik itu bercanda dengannya, namun ..., baru sebentar, raut muka Bian perlahan berubah. Merengut, bibir maju dan mata memerah serta berkaca-kaca.

“Eh? Bian?”

Dan terdengarlah tangis si bayi gembul. Sontak semua anggota Biman–termasuk Bia–memandang Sarah yang kini panik karena Bian menangis. Si gembul menggerak-gerakkan badannya seakan ingin lepas dari pegangan Sarah.

“Eh? Kenapa? Bian sayang, ssh, ssh, jangan nangis. Jangan nangis ya,” ujar Sarah seraya berusaha menenangkan si bayi yang terus memberontak.

Ah, de javu.

Dan sangat sulit menenangkan si gembul yang keadaannya seperti itu. Pun Rosa tak mampu menenangkan Bian.

“Dri,” Adnan bersuara.

Si tampan muka teplon yang mengerti maksud kakaknya segera bangkit berdiri lalu menghampiri Sarah. Meminta si bayi dan menggendongnya. Namun, Bian tetap menangis dan memberontak.

“Ng! Mam! Mam!” rengek si bayi. Badannya bergerak-gerak tak beraturan membuat ayahnya kesulitan memegang.

Adrian buru-buru membawa Bian pada sang Mama yang dengan sigap menerima Bian. Tetap saja Bian masih merengek dan tidak mau berhenti menangis. Meski sudah di tangan sang Nyonya–yang telah membesarkan dua lelaki tampan–tak juga mampu menenangkan si gembul.

“Mungkin dia lapar,” Rosa memberitahu kemudian menatap tepat di iris coklat gadis yang merupakan pengasuh cucunya. “Bia, buatin susu untuk Bian ya.”

“Iya, Nya.” Si gadis biasa langsung menjawab dan bersiap melangkah dan membuatkan susu si bayi gembul–meski ia mengerti maksud tangisan Bian. Ha ..., dia hanya seorang pekerja di sini; pembantu.

Baru dua langkah si gadis biasa menjauh, panggilan dari sang Kepala keluarga menghentikannya. Agam tanpa menatap ke arah Bia–matanya memandang Bian yang merengek dan berusaha lepas dari pegangan istrinya berkata, “Gendong Bian.”

Bia tidak mengerti. Perintah sang Kepala keluarga sangat berbeda dengan permintaan sang Nyonya. Dia mengerutkan kening, begitu pula Adrian serta Adnan dan Sarah–yang berada di dapur, merasa tidak enak karena membuat Bian menangis–heran mengapa ayah mereka meminta si pengasuh menggendong si gembul meski ibu mereka telah memberi instruksi untuk membuatkan susu. Si gadis biasa menatap satu-persatu wajah para Bimantara.

Ada keraguan, heran juga perasaan tak enak dalam hati ketika mendengar perintah sang Kepala keluarga. Perintah yang tidak berkoma; perintah yang harus ia lakukan. Sewaktu tatapannya beradu dengan sorot milik Rosa yang memberi senyum serta mengangguk, si gadis biasa sedikit mendapat keberanian. Dia kembali mendekati meja makan lalu berdiri di sebelah sang Nyonya diikuti oleh tatapan putra-putra Bimantara–dan dia terpaksa berada di sebelah si bungsu, di tengah ibu dan anak itu.

“Bian ..., ssh, ssh~” ujar Bia sambil meraih si gembul ke dekapannya. Telinga si bayi yang mendengar suara ibunya perlahan berhenti berontak. Ketika merasakan kehangatan dari sang Ibu, tangisnya reda dan hanya isak kecil terdengar. Kepala Bian bersandar di pundak Bia. “Jangan nangis lagi. Bian anak pintar, nggak boleh nangis,” bujuk si gadis biasa seraya mengusap-usap kepala si bayi.

Meski matanya masih berkaca-kaca, mulut juga maju membentuk pout dan isak kecil keluar, Bian tidak merengek. Sudah anteng di gendongan Bia. Bersandar nyaman di pundak ibunya. Seolah menyatakan pada seluruh orang di dapur jika dia cuma mau ibunya yang menggendong. Pagi-pagi kok sudah di tangan orang asing–Sarah, maksudnya.

“Keren!” Adnan berseru. Dia memang terpukau. Jujur, tidak dibuat-buat.

Kejadian tersebut juga diperhatikan serius oleh sang Kepala keluarga. Adrian cuma sekedar melihat–kepalanya kosong, tidak memikirkan apa pun–ya, dia cukup terkesima karena Bian langsung diam di pelukan Bia. Tapi, hanya begitu saja. Tak terlintas hal lain. Sedang sang Nyonya menghela napas. Merasa beruntung merekrut Bia sebagai pengasuh si gembul. Sangat bisa diandalkan.

Si perempuan cantik menghampiri Bia yang berputar-putar di sekitar dapur sambil menggendong dan menenangkan si bayi. Membuat perhatian si gadis biasa teralihkan. “Maaf ya. Tadi dia baik-baik aja. Mungkin aku belum bisa jadi seorang ibu. Bian nangis pas sama aku.” Katanya sendu.

“Nggak apa-apa, Non. Tuan Bian cuma nggak terbiasa karena belum kenal. Kalau sering ketemu pasti nggak akan nangis,” hibur si pengasuh.

Sarah menatap si gembul yang sangat-sangat tenang di pundak Bia. Kelihatan menikmati sekali. Dia mengukir senyum kecil. “Maaf ya, Bian ....”

Senyum si gadis biasa ikut terkembang. “Dia udah tenang. Karena masih pagi, dia jadi kaget. Tuan Bian baru bangun, ya kan?” Bia mengajak si gembul bicara yang dibalas gerak kecil Bian yang menyamankan diri di pundak ibunya. “He-he. Dia ngambek.”

“Eh? Iyakah? Bian kesal ya? Kesal sama aunty, ya? Maafin aunty, ya.”

Ah~ percakapan mereka selayaknya ibu-ibu muda yang saling bertetangga dan tak sengaja bertemu di pagi hari di halaman rumah dan akhirnya bercerita sembari mengajak bayi dalam gendongan salah satunya bicara. Meski Bian sebenarnya tidak mengerti dan hanya mengikuti suasana hatinya yang sedikit memburuk.

Bia tidak sadar jika kalimat-kalimat yang ia lontarkan sewaktu berbicara bersama Sarah menunjukkan betapa dia lebih mengenal Bian. Sangat mengenali si bayi hingga mengetahui ekspresi serta gerak-gerik Bian. Tentu saja pembicaraan mereka di dengar oleh keluarga Bimantara. Meski mereka melanjutkan sarapan, tetapi telinga tetap bekerja.

Belum lagi sang Kepala keluarga yang mengamati punggung si gadis biasa dari tempat dia berada. Kecurigaan Agam dan kesimpulan yang dia dapatkan hampir menuju titik terang atau mendapat bukti. Sedang Adnan yang awalnya kagum pada si pengasuh sedikit merasa janggal. Begitu pula Rosa yang ... kata-kata Bia terlalu bagus sebagai seorang pengasuh; Bia berkata seakan ibunya Bian. Lalu, si bungsu ..., ah dia memiliki tingkat kepekaan paling rendah di keluarga Biman, jadi dia tidak menaruh curiga.

Silakan jambak, jitak; terserah kalian.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang