8

109 4 0
                                    

Suara tangis bayi terdengar di penjuru rumah. Membuat para Bimantara yang sedang bersantai di ruang tengah serentak menghentikan kegiatan mereka dan beranjak menuju asal suara. Ya, si bungsu sih ditarik paksa oleh kakaknya karena bersikap acuh dan tak peduli, padahal yang menangis adalah anaknya. Sejak Bia mengasuh Bian, Adrian seperti makin tidak peduli. Maka dari itu Adnan geram sekali rasanya.

Mereka tiba di dapur dan melihat Bian yang meronta ketika diberi susu. Bia tampak kewalahan menggendong si bayi dan Minah yang berusaha membujuk Bian agar mau meminum susu. Namun, si gembul yang di usianya yang hampir memasuki tujuh bulan sehingga beratnya bertambah membuat sulit menahannya ketika bergerak liar.

“Ayo, Tuan Bian. Minum susu dulu. Nanti dingin, nggak enak, loh!” ujar Minah sembari mengusap-usap pipi Bian yang masih menangis kencang.

Ya, meski sudah pasti si gembul tidak mungkin mengerti apa yang dikatakan oleh perempuan itu.

“Bian sayang ..., hus, hus, jangan nangis.” Si pengasuh ikut mencoba menenangkan. Mama, nggak bisa selalu nyusuin kamu, sayang. Mengayun-ayun si bayi, tetapi tidak mendapatkan hasil.

Bayi gembul itu tetap berontak.

“Bian nggak mau minum susu?” sang Nyonya maju menghampiri dan mengusap puncak kepala si bayi yang masih mengamuk.

Minah mengangguk. “Iya, Nya. Sejak tadi Tuan Bian nolak terus nangis.”

“Apa kamu yang buat susunya?” pertanyaan Rosa dijawab anggukan oleh Minah. “Udah sesuai takaran? Hangat airnya?”

“Udah, Nya. Tapi, Tuan Bian tetap nggak mau,” balasnya takut-takut.

Rosa mengerutkan kening. Dia meraih si gembul dari tangan Bia dan menepuk-nepuk pinggulnya. “Bian kenapa, hm? Apa ngantuk? Bian mau tidur?” tapi, si gembul hanya merespon dengan tangisan.

Bia memandang si bayi gembul sedih. Dia tahu Bian lapar dan ingin menyusu padanya, tapi air susu yang bisa dia hasilkan sedikit. Apalagi sejak pagi si gembul tidak lepas dan menyedot habis ASI yang dapat dia keluarkan hari ini. Terpaksa Bia memberikan susu formula; yang malah di tolak dan Bian mengamuk. Dia merasa bersalah, tapi ... mau bagaimana lagi?

“Apa dia nggak suka susunya?” sang Kepala keluarga menyeletuk. Menarik perhatian semua yang berada di dapur.

Rosa yang kesusahan menggendong Bian menggeleng. “Kemarin dia masih mau, kok.”

Si gadis berusia sembilan belas tahun tidak sadar jika ekspresinya yang sangat kentara sedih, terlihat ingin memeluk si gembul diperhatikan oleh sang Kepala keluarga. Agam sedikit menaruh curiga pada Bia. Bukan kecurigaan mengarah ke hal yang buruk; seperti Bia tidak bertanggung jawab, Bia melalaikan tugas, atau Bia berpura-pura pernah mengasuh bayi. Tetapi curiga yang ..., mengarah, mengapa gadis itu tampak sayang sekali pada Bian? Dan Bian yang akhir-akhir ini lengket padanya.

“Ssh, ssh ...,” Rosa mengayun-ayun Bian. “Minah, sini susunya. Saya coba kasih lagi sama Bian.”

“Lebih baik nggak usah,” sahut sang Kepala keluarga ketika Minah akan memberikan botol susu pada istrinya. Tatapan Agam mengarah ke si pengasuh. “Bia, apa Bian memang nggak mau minum susunya?”

Si gadis biasa terkejut, dia segera mengangguk.

Adnan di belakang kedua orang tuanya menyikut si bungsu membuat Adrian menatap tajam padanya. “Lakuin sesuatu. Bian anak kamu, kan?” dia berbisik.

“Hah? Mana kutahu! Mungkin dia nggak suka susunya atau mau susu yang lain!”

“Ping-pong!” Adnan berkedip sambil membuat gesture menembak Adrian dengan jemarinya. Tingkah si sulung Biman ini tentu membuat yang lain menatapnya aneh. Situasi sedang genting–termasuk genting kan, ya–dia malah bercanda. “Ah, maksud aku ... kayak yang dibilang Adrian, mungkin Bian mau susu yang lain. Firasat seorang ayah pasti benar, kan?”

Dan yeah, mari kita lihat wajah putra bungsu Biman yang menganga karena ucapan kakaknya. Adrian tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut akibat ulah Adnan. Si sulung terkadang suka iseng, tapi ... ini benar-benar membuat si bungsu terperangah. Sampai tak bisa membantah. Dia hanya melongo sembari menatap kaget kakaknya.

Uh, lucunya. Adnan jadi ingin menguyel-uyel muka Adrian.

Jika bukan di suasana seperti ini, Agam pasti tertawa melihat raut muka Adrian sekarang. Tapi, sudut bibir sang Kepala keluarga gatal dan tertarik ke atas–membentuk senyum miring tipis. “Mungkin iya, Bian mau susu yang lain. Bia, kamu pernah ngasuh bayi, kan? Kamu tahu susu mana yang mungkin Bian mau?”

Si gadis biasa terkesiap. Dia tadi sempat terbengong sewaktu kakak-beradik Biman itu menarik perhatian. Susu yang mungkin Bian mau? Tentu saja dia paham betul. Tapi, dia benar-benar tak bisa memberikannya sekarang. Juga susu formula yang dia berikan sebagai pengganti ASI adalah susu formula biasa, yang sanggup dia beli dengan uang yang dipunya. Jika dia menyebutnya di sini, apa tak masalah?

Mereka adalah Bimantara. Salah satu keluarga terpandang, yang dihormati. Bian adalah satu anggotanya. Sangat tidak mungkin dia menawarkan susu formula. Bia dilanda kebingungan. Ditambah suara tangis si gembul yang tak kunjung berhenti. Wajah Bian sudah merah. Bia terdesak. Dia ingin mengambil si bayi, tapi dia takut menyebut susu formula biasa yang pernah dia berikan pada si gembul.

“Gini aja, Adrian cari susu untuk Bian. Kamu ayahnya. Jadi, kamu mesti tahu kebutuhan anak kamu,” Adnan mencetus ide. Ah, si sulung Biman ini sepertinya sangat pro pada Bian. Sangat mengutamakan Bian.

Dan bisa dikatakan ini kesempatan untuk Adrian. Si bungsu itu yang jarang memberi perhatian pada anaknya mesti diberi pelajaran. Bayi gembul nan lucu menggemaskan begitu masa diabaikan. Jika Bian adalah putranya, Adnan pasti berubah menjadi ayah paling baik di seluruh dunia, hmph!

Lagi, si bungsu tak bisa menyahut ucapan kakaknya yang didukung oleh sang Ayah. Hei, mana dia tahu susu yang Bian mau. Jika perlu borong saja semua merek susu dan coba berikan pada bayi itu satu-persatu. Biarkan si bayi memilih.

“Bia, kamu ikut Adrian, ya. Bawa Bian sekalian. Nggak apa bawa Bian keluar sekali-kali.” Agam sangat mendukung usulan putra sulungnya. Mereka kompak sekali sekarang.

Rosa memberikan Bian yang masih menangis pada Bia. Tangis bayi gembul itu sedikit mereda dan langsung menyusupkan wajahnya di dada si gadis biasa. Tentu saja hal tersebut diamati oleh sang Kepala keluarga yang kali ini melihat secara langsung bagaimana Bian berhenti berontak dan bergerak sesuai insting bayi mencari puting ibunya.

Dengan muka asem, Adrian menatap si pengasuh. “Kutunggu di luar.” Katanya dan langsung pergi dari dapur. Mungkin mau menyiapkan kendaraan.

Bia memegang kepala Bian, merapatkan tubuh si bayi ke dadanya. Membungkuk pada Bimantara senior dan Adnan lalu melangkah pergi. Sebelum menyusul si tuan muda, dia mengambil pakaian tebal untuk  Bian. Sekarang sudah malam, tidak baik jika hanya mengenakan pakaian biasa. Pun dia mengambil jaket miliknya untuk melindungi mereka dari angin malam.

Rosa menghela. Sedikit kasihan pada Bian yang menangis. Sebelumnya Adnan atau Adrian tidak pernah menolak susu. Kalaupun menolak karena sudah kenyang. Tidak karena ingin susu lain. Dia tidak mengerti. “Semoga mereka nemuin susunya.”

“Adrian kayaknya emang harus diperintah begitu supaya mau merhatiin Bian.” Adnan menatap kedua orang tuanya lalu mengukir senyum untuk sang Ayah. “Makasih, Pa.”

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang