22

97 7 2
                                    

Keduanya bingung. Berdiri mematung dengan pemikiran sama, namun tak saling buka suara. Beberapa detik berselang, si pemuda Bimantara melirik ke arah si pengasuh yang menggendong si bayi gembul dengan alat bantu–yang kemudian balas melirik. Mereka masih belum buka mulut. Ah, suasana canggung macam apa ini?

“Anu, hm ....” Oh, oh, baru kali ini si tuan muda Bimantara terlihat kikuk dan speechless. Sedikit malu untuk bertanya lebih lanjut. Ya, dia masih awam untuk hal seperti ini. Ia bahkan tidak pernah berurusan dengan bayi! Apalagi sampai membeli perlengkapan bayi. Adrian kan lebih sering menghabiskan uangnya untuk membeli buku bisnis atau melihat profit bagus dari suatu usaha.

Haa ... si tampan muka teplon itu menghela napasnya panjang. Menilik kembali pada sosok Bia yang masih berdiri diam di sampingnya. Memerhatikan si gadis dari kepala hingga kaki. Selain Bian, sepertinya gadis bernama lengkap Rabia Anjasari itu juga perlu beberapa perlengkapan baru. Melihat pakaian yang tengah dikenakan si gadis–dan dia baru menyadarinya–Bia benar-benar tidak mempunyai –ehem-uang-ehem– hanya untuk sekedar membenahi diri. Hah, selagi mereka masih di mall kenapa tidak sekalian saja. Sesekali berbuat baik, tidak apa-apa lah.

Hei, Tuan  Adrian Bimantara, kamu membuat kami kesal! Hmph!

“Ayo,” ajak si tuan muda yang sudah memutuskan tujuan selanjutnya.

Setelah dari toko alat perlengkapan bayi, si tampan muka teplon itu memandu langkah menuju sebuah toko pakaian. Bukan pakaian bayi, tetapi pakaian untuk orang dewasa. Tepatnya toko khusus pakaian perempuan. Mulai dari pakaian formal, dress, rok, kaos, kemeja, semuanya tersedia. Sangat lengkap.

Bia tentu saja kebingungan ketika dibawa ke toko itu. Dia kira Adrian ingin membelikan baju untuk sang Nyonya, namun pikiran itu tersingkir ketika si pemuda Biman memintanya memilih beberapa pakaian.

“U-untuk saya?”, si gadis bertanya bingung. Bukannya mereka ke mall ini hanya untuk membeli perlengkapan Bian, bukan untuk dirinya juga. Jadi, kenapa?

Si laki-laki tampan menghela–hanya sekilas–dia tidak mau keberuntungannya makin berkurang karena banyak menghela napas–ah, meski sebenarnya dia tidak terlalu mempercayainya. “Lihat diri kamu sendiri. Sampai kapan kamu mau pakai baju kamu itu? Sampai rusak? Sampai robek? Sampai nggak bisa dipakai lagi? Aku lagi baik, cepat pilih.”

U-uh ....

Bia merasa tersindir. Menusuk ulu hati. Dia tahu; dia itu miskin, tidak punya uang untuk membeli pakaian bagus. Dibanding pakaian baru, si gadis lebih memilih membeli makanan. Selagi masih bisa dipakai ya, di pakai. Begitulah pola pikir sederhananya. Tapi, dia segan untuk membantah perkataan Sang Tuan Muda Biman.

Beragam jenis pakaian yang ada di toko ini sudah terpajang di etalase, dipakai pada mannequin sebagai sample ataupun masih tergantung pada deret baju. Masih dengan Bian berada dalam alat bantu gendong di tubuhnya, si gadis melihat-lihat. Sewaktu mencoba melihat harga dari pakaian yang ia lihat–tak mungkin dia tak terkejut menemukan angka yang terbilang nominal cukup besar. Bia sangat-sangat tidak sanggup membeli satu pakaian di sini dengan uang yang ia punya. Sangat mahal!

Si gadis menoleh ke arah sang Tuan muda yang lalu balas menatapnya. Bagaimana bilangnya? Ini mahal sekali. Bia sungguh tidak enak jika dibelikan pakaian dengan harga yang segini mahal. Beli di pasar saja. Harganya jauh lebih murah dan kualitasnya pun tidak jauh berbeda dengan yang dijual di mall.. Hanya untuk dipakai oleh dirinya yang sudah terbiasa mengenakan pakaian biasa, tidak perlulah beli pakaian sampai harganya yang mahal begini.

Mengerti maksud dari raut muka Bia yang terlihat akan keberatan–karena jemari si gadis memegang label harga–Adrian cuma menghela. “Aku yang bayar. Nggak usah khawatir.”

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang