Ada rasa syukur di hati sang Nyonya. Karena kehadiran Bian, Adrian sedikitnya berubah. Meski baru awal, tapi semoga si bungsu itu bisa terbuka. Untuk keluarga maupun orang lain. Mengurangi muka datar dan mulutnya yang bagai terkunci rapat.
Sedang si gadis biasa hanya menyungging senyum tipis. Adrian yang ini sangat berbeda. Seperti orang lain. Bukan sosok laki-laki yang tersimpan dalam otaknya.
“Oh, Bia bisa ambilin aku ini?” Si bungsu menarik perhatian Bia yang mengarahkan pandangan pada mangkuk yang ada di depan Rosa–yang ditunjuk oleh si pemuda tampan–mangkuk berisi sup.
Rosa memanjangkan tangan. “Sini biar Bian saya gendong.”
Si pengasuh menyerahkan si gembul pada sang Nyonya lalu menunduk pada dua Bimantara di depannya dan berlalu. Bian masih anteng, masih tampak bahagia, masih berceloteh sendiri. Mungkin memang moodnya sedang bagus. Si bayi bermain-main sendiri dengan rambut panjang sang Nyonya yang tergerai.
Melihat bayi itu kegirangan, Adrian tanpa sadar mencubit pipi gembilnya–yang tidak membuat Bian terganggu–beberapa kali. Gemas, kayaknya. Hei, si bungsu muka teplon dan irit ngomong ini mulai mau menyentuh si gembul kita.
**Hari ini Rosa tidak pergi ke mana-mana. Pekerjaannya kemarin sudah selesai, jadi sekarang bisa bersantai di rumah sambil bermain dengan si cucu. Mereka berada di ruang tengah, sang Nyonya duduk di sofa dan si bayi berbaring. Di sekitar mereka ada si pengasuh yang sedang merapikan bantal-bantal duduk di depan televisi.
“Bah!” Rosa berseru ketika melepaskan tangan dari muka dan membuat Bian tertawa–kali ini bersuara dan menggerak–gerakkan badannya. “Wah ..., waa ....” Mereka bermain ciluk ba. He-he.
Sri yang sudah seperti ketua dari para pekerja rumah tangga di kediaman Bimantara memasuki area ruang tengah bersama seorang perempuan cantik. Sri mempersilahkan si perempuan cantik lalu menunduk pada sang Nyonya rumah yang menyadari kehadirannya. “Nona Sarah datang berkunjung, Nyonya.”
“Hai, Tan.”
Sekali lagi Sri menunduk pada sang Nyonya kemudian pada perempuan bernama Sarah lalu mengundurkan diri. Si gadis biasa yang berada di ruang tengah melihat kedatangan perempuan cantik tersebut, dia memerhatikan sebentar–selama di sini, baru kali ini seorang perempuan muda dan sangat cantik datang bertamu–dan kembali melaksanakan tugasnya.
Sarah duduk di sofa yang di duduki Rosa, namun belum sempat menempati sisi di ujung sofa tersebut, dia terkejut melihat sesosok bayi yang sedang berbaring dekat sang Nyonya.
“Eh? Bayi siapa ini, Tan? Eh? Kak Adnan udah nikah? Eh? Aku nggak tahu.” Sarah bertanya heboh. Duduk pelan-pelan dan mengamati bayi yang seakan menyadari orang asing, matanya memandangi Sarah yang berada di atas kepalanya. “Tapi, dia lucu banget.” Lanjutnya gemas.
“Gimana jelasinnya ya. Bukan anak Adnan, tapi anak Adrian.” Rosa sangat mengenal perempuan yang ada di depannya. Mereka menjalin kerja sama antar perusahaan; pun keluarga keduanya berteman baik. Tidak ada keraguan menceritakan sesuatu yang ... ya, bisa dikatakan pribadi pada Sarah.
Raut Sarah makin shock. “Adrian? Adrian udah nikah? Ngelangkahin Kak Adnan?”
“Bukan, bukan gitu,” Rosa tersentak saat Bian berguling ke samping. Si bayi sekarang posisinya tertelungkup dengan kepala menghadap Sarah dan iris coklatnya memandangi si perempuan cantik. Sang Nyonya memegangi badan si bayi agar tidak jatuh. “Kami nemuin Bian di depan rumah dan surat yang isinya bilang kalau Bian adalah anak Adrian.”
“Oh, jadi Bian–” Sarah menatap si bayi yang juga menatapnya, “Apa benar-benar anak Adrian?” mencoba memegang tangan si gembul yang ternyata di sambut dan balas genggam. Duh, ingin Sarah bawa pulang rasanya bayi menggemaskan itu.
“Iya, kemarin mereka tes DNA. Hasilnya cocok.” Melihat si gembul seperti susah–napasnya agak tersendat–Rosa mengangkat si bayi duduk dengan menyandar pada perutnya.
Si bayi tertawa, membuka mulut lebar dibarengi air liur mengalir keluar dan menetes dari dagu.
Sarah buru-buru merogoh isi tas yang dia bawa dan mengeluarkan tisu. Mengambil selembar dan membersihkan mulut si gembul, “Trus gimana sama ibunya, Tan? Apa Tante, om sama yang lain udah nemuin ibunya Bian?”
Rosa menghela napas. “Sangat disayangkan CCTV di depan waktu itu rusak, jadi kami nggak bisa tau siapa yang letak Bian di depan rumah. Security juga nggak lihat siapa-siapa.”
Diam-diam si pengasuh yang masih berada di ruang tengah menghela lega. Beruntung dia meletak Bian di depan kediaman Bimantara di hari yang tepat. Meski dia tak tahu-menahu soal CCTV, tapi Bia memang menunggu waktu petugas keamanan meninggalkan posnya. Mana gerbang terbuka sedikit. Jadi, mengambil kesempatan untuk masuk dan meletak si gembul di teras. Dia bangkit berdiri ketika pekerjaannya selesai. Karena Bian sedang bersama sang Nyonya, dia bisa membantu pekerja lain. Mungkin ke dapur.
Bia mengucap permisi pada sang Nyonya. Tak sopan jika pergi begitu saja. Namun, Rosa malah memintanya mendekat. Sang Nyonya meminta Bia berdiri di sebelahnya, membuat Sarah memandang si pengasuh.
“Ini Bia. Pengasuhnya Bian.”
Si gadis biasa menunduk. “Saya Rabia, Nona.”
Sarah mengangguk. “Saya Sarah.”
Bia memoles senyum. “Apa Non Sarah pacarnya Tuan Adrian?”
Wajah Sarah langsung merah padam. Dia menggeleng kencang dibarengi kedua tangan yang bergerak ke kiri dan ke kanan, menyatakan tidak. “Nggak, kok. Ka-kami cuma teman–um, sahabat. Juga, aku udah nikah.”
“Oh. Maaf, Non.”
“Nggak apa-apa. Dulu saya sempat mau jodohin mereka.” Rosa menyengir.
“Tante ...,” Ugh, Sarah malu sekarang. Dia pernah menaruh hati pada Adrian, tapi dulu. Dulu ya. Sebab si tampan muka teplon tidak pernah merespon dan memberi harapan, jadi Sarah mundur teratur. Kini dia sudah menikah. Sudah menjadi seorang istri. Yah, tetap saja malu jika membahas hal seperti ini. “Oh iya. Kirain Adrian nggak tertarik sama perempuan atau laki-laki. Tahunya punya anak duluan. Aku yang udah nikah malah belum.”
Rosa menunduk, mengamati Bian yang tidak rewel. Si gembul sedang mengisap jempolnya dengan liur yang berjatuhan. “Tante juga nggak ngira. Semoga aja ya kami bisa nemuin ibunya Bian. Senggaknya minta maaf. Kalau mereka nggak cocok, kami nggak akan maksa mereka nikah. Yang terpenting Bian nggak kehilangan sosok orang tua lengkap.”
“Tan ...,” Sarah merasa bersimpati. Mengusap tangan Rosa yang memegang badan Bian.
Meski mendengar pernyataan sang Nyonya barusan, tidak ada alasan bagi Bia mengakui semuanya. Tak mungkin dia tiba-tiba mengaku setelah mendengar kalimat tadi, kan? Bisa dikira dia berpura-pura. Lagipula apa kata orang kalau ternyata ibu dari cucu Bimantara adalah seorang gadis desa yang bahkan asal-usulnya tidak jelas. Dia bisa menjadi beban semuanya. Bia tidak mau.
Posisi sebagai pengasuh ... sudah cukup. Dia tidak akan meminta lebih. Dia tidak peduli pada yang lain, kecuali Bian. Bia hanya ingin memastikan si bayi benar-benar tumbuh, dirawat dengan baik oleh keluarga Bimantara, di terima sampai waktunya tiba dia mengucap selamat tinggal pada Bian.
Si gadis biasa mengucap permisi sekali lagi, “Saya buatin susu untuk Tuan Bian sama minuman untuk non Sarah dulu, Nya.” Katanya.
Rosa mengangguk.
“Tapi, Adrian baik-baik aja? Apa dia nggak ingat siapa kira-kira ibunya Bian?” Sarah bertanya penasaran.
“Hah ... kami udah berusaha tanya, tapi dia tetap kekeuh. Dia nggak tahu. Katanya dia nggak pernah jalin hubungan sama perempuan.” Rosa tahu. Tapi, mana mungkin Bian hadir begitu saja. Pasti ada sebab.
Apa mungkin si bungsu tidak sadar ketika menjadikan Bian ada?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikatan Hati
RomanceKisah ini sudah di publish beberapa kali di bawah nama-nama yang berbeda ㅡharap maklum, penulisnya suka ganti nama penaㅡeheㅡdi antaranya; Caya, Kae, Bwa, dan kali ini Jeruk. Silahkan dinikmati .... *** Summary : Abian Bimantara. Anak kamu, Adrian Bi...