20

112 14 1
                                    

Bia dipersilahkan masuk oleh Danu. Sedang pria besar dan tinggi itu menundukkan kepala di ambang pintu pada si Bimantara bungsu kemudian menutup kembali pintu ruangan. Si gadis biasa masuk ke dalam sembari menggendong Bian. Melihat Adrian dalam balutan pakaian rapi dan duduk di balik meja–walau sudah beberapa kali melihat penampilan si laki-laki muda yang rapi, gagah dan tampan–pertama kali Bia melihat Adrian bekerja.

“Sebentar lagi aku selesai, tunggu di sana.” Adrian menunjuk deretan sofa yang ada di sisi kanan ruangan, merapat ke dinding.

Tanpa menyahut kata, cuma membalas dengan sebuah anggukan, si pengasuh berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Adrian. Menempati salah satu sofa panjang lalu menurunkan Bian. Si bayi langsung sigap bergerak agar dapat melihat sekitar. Ah, Bian mahir sekali berguling-guling. Si bayi juga sudah mulai belajar duduk.

Bian tertawa, mulutnya terbuka lebar, wajahnya gembira. Sepertinya sangat senang karena di bawa ke tempat baru. “Mam! Mam! Mam! Ah! Aaa!” serunya sambil menepuk-nepuk sofa.

Bia menoleh ke arah Adrian, mengamati si tuan muda yang tampak serius. Dia kemudian beralih pada Bian yang masih asik pada dunianya. Mendekatkan tubuh mereka lalu berbisik, “Jangan ribut ya. Papa lagi kerja. Nanti ke ganggu.” Katanya.

Di balas tepukan di kedua pipi oleh Bian yang tertawa. “Bah! Baaa!”

Awalnya Bia terkejut, tapi dia akhirnya tertawa melihat tingkah lucu bayinya. Malahan kini si gadis biasa bermain dengan Bian. Menggelitiki si bayi hingga tertawa lepas. Menggelitiki menggunakan hidung, kadang tangan, kadang mencium gemas–menyebabkan si bayi gembul tertawa-tawa dan menjerit kegirangan.

Perilaku keduanya tak luput dari penglihatan pemuda tampan dari tempatnya berada. Memandang kedekatan si pengasuh dan si bayi. Namun, bukan status yang terpikirkan olehnya; melainkan bagaimana Bian tampak sangat bahagia dan gembira–lalu si gadis biasa yang tertawa–terlihat menyenangkan. Mereka berdua kelihatan sangat menikmati kegiatannya–membuat si Bimantara muda tanpa sadar menyungging senyum kecil.

**

Tepat pukul lima, Adrian menyelesaikan pekerjaannya. Merapikan berkas-berkas di atas meja, mengambil tas lalu bangkit berdiri dari kursi. Mengajak si pengasuh yang buru-buru menggendong Bian keluar dari ruangannya yang disaksikan langsung oleh para pegawai di sekitar ruangan si bungsu Bimantara–yang menyapa atasan mereka sambil melirik-lirik ke arah si gadis biasa dan si bayi.

Bia diam saja di belakang Adrian. Tak mau buka suara dan menimbulkan keributan.

Mereka menunggu di depan lift selama dua menit hingga pintunya terbuka dan masuk. Sekitar sembilan orang berada di dalam–termasuk Adrian dan Bia–Bian tidak masuk hitungan. Tujuh orang lain–lelaki dan perempuan–mengamati si gadis dari atas hingga bawah. Mengamati bayi dalam gendongannya. Bayi lucu menggemaskan dengan pipi chubby minta dicubit dan beriris coklat. Sewaktu Bian menoleh ke arah mereka, tak menyangkal jika mereka ingin menguyel-uyel wajah si bayi yang pipinya tembam dan bulat. Lucu sekali.

Semuanya mengucap salam perpisahan pada si bungsu Bimantara sembari berjalan terlebih dahulu sewaktu pintu lift terbuka di basement yang artinya mereka telah tiba di area parkir. Si gadis biasa mengikuti Adrian yang berjalan mendekati sebuah mobil berwarna hitam. Ah, dia baru tahu jika si tuan muda mengendarai mobilnya sendiri ketika bekerja. Dia pikir Adrian berangkat bersama Adnan; satu mobil maksudnya.

Si gadis duduk di sebelah kursi kemudi. Hal itu terlihat oleh pegawai-pegawai yang satu lift dengan mereka tadi dan menimbulkan pergunjingan baru. Tapi, Adrian tampak tak peduli. Dia masuk, menyalakan mesin kemudian melajukan kendaraannya ke jalanan.

Tujuan Adrian adalah sebuah mall. Di mana lagi mencari keperluan bayi? Ke toko khusus pakaian bayi? Daripada pusing mencari di mana toko itu, lebih baik ke mall yang juga terdapat toko perlengkapan bayi. Lebih mudah, menghemat waktu dan tenaga. Dia juga sudah lelah sehabis kerja langsung disuruh pergi lagi.

Mereka berjalan memasuki mall. Bia masih mengikuti dari belakang; melangkah pelan sebab Bian mulai merengek. Bayi gembul itu menangis–tidak kencang–tapi membuat si gadis biasa kesusahan. Bian mengantuk dan lapar. Si gadis paham, tapi dia tidak membawa persiapan tadi karena dipikir tidak akan lama.

“Tuan.”

Langkah Adrian terhenti. Dia membalik badan dan melihat Bian menangis. “Apa? Bian kenapa?”

“Tuan Bian ngantuk, Tuan,” jawab Bia sembari berusaha menahan Bian yang bergerak-gerak.

Melihat si pengasuh yang kesulitan menggendong Bian, Adrian baru menyadari ada hal penting yang dia dan Bimantara lainnya lupakan. Keperluan Bian! Seperti kereta bayi, alat bantu gendong bayi! Selama ini mereka menggendong si bayi dengan tangan. Astaga!

“Lebih baik kita cari sesuatu untuk bantu kamu gendong Bian baru tidurkan dia.” Adrian diam-diam menghela. Kenapa dia bisa melupakan hal yang cukup penting untuk mengurus bayi? Bahkan Bimantara lain juga tidak mengingatnya.

Kamu sendiri juga lupa tuh kalau menjadikan Bian ada, jadi tidak heran jika hal seperti itu terlupakan, hmph! Kaeb di deathglare Om Adrian. Um, kabur dulu!

**

Sambil berusaha menenangkan si bayi gembul, Bia mencoba mengikuti langkah Adrian. Mereka sebelumnya mampir ke bagian informasi; bertanya di mana toko yang menjual peralatan bayi. Yang ternyata berada di lantai tiga. Jadi mereka mesti naik lift terlebih dahulu. Adrian tidak mau naik eskalator meski lebih cepat dengan keadaan Bian yang tidak mau diam. Kalau jatuh bagaimana? Kalau terlepas dari tangan Bia, bagaimana? Dia tidak mau mengambil resiko.

Di dalam lift beberapa orang terlihat terganggu karena rengekan Bian. Adrian cuma menulikan telinga. Bukan keinginannya jika si bayi gembul sampai seperti itu. Seorang ibu-ibu mengajak si gadis berbicara perihal Bian yang menangis, Bia menjelaskan bila si bayi mengantuk dan dia lupa membawa persiapan–susu atau alat bantu gendong–jadi sekarang dia mau ke atas untuk membelinya. Karena penjelasan tersebut, orang-orang yang tadi merasa terganggu memahami keadaan si gadis dan si bayi.

Huh, seharusnya kamu bertindak, Bimantara!

Tiba di lantai yang dituju mereka langsung bergerak mencari toko peralatan bayi. Tak jauh dari alat yang mempermudah perjalanan menuju lantai atas–meski harus mengantre terlebih dahulu–terdapat sebuah unit besar yang mereknya sudah disebut oleh bagian informasi yang merupakan toko peralatan bayi. Selain peralatan bayi, di sana dipajang juga aksesoris-aksesoris untuk mendekor kamar anak.

Tanpa ragu Adrian melangkah masuk yang segera disambut oleh seorang pramuniaga; bertanya apa yang mereka cari. Si laki-laki tinggi menyebut alat bantu gendong dan kereta bayi yang langsung diarahkan oleh si pramuniaga menuju area alat-alat yang dicari. Bia mengikuti dari belakang punggung si tuan muda. Bian dalam gendongan si pengasuh tidak terlalu banyak bergerak sebab energinya habis dan kantuk makin menyerang. Hanya rengekan kecil yang tidak begitu kedengaran. Bia menepuk-nepuk pinggul si bayi sembari sedikit bersenandung dan sesekali mengayun agar Bian cepat tertidur.

Cuma itu satu-satunya cara. Maaf ya, Bian ....

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang