24

46 5 0
                                    

Ah, mungkin kah dia terlalu banyak berpikir? Adrian menggeleng dan melanjutkan menikmati makanan yang ia pesan.

Dua buah pisang yang dibawa pelayan sebelumnya habis di lahap oleh si bayi gembul. Tampaknya Bian memiliki selera makan yang tinggi. Ahem.

“Bawa sini Bian. Kamu belum nyentuh makanan kamu,” suara si tuan muda terdengar ketika Bia selesai menyuapi air mineral lalu membersihkan sekitar mulut si bayi yang cemong-cemong.

Adrian sudah selesai menyantap makan malamnya, omong-omong.

Bia mengangguk. Dia berdiri dari kursi lalu menghampiri sang Tuan muda dan menyerahkan Bian kemudian kembali ke tempat duduknya. Si bayi gembul yang berpindah tangan tidak menangis; malah dia pamer gusi pada ayahnya. Bian yang sedang dalam posisi berdiri di pangkuan Adrian bergerak-gerak melonjak membuat si pemuda Bimantara memeganginya erat.

“Kamu baru selesai makan, Bian.” Sedikit memaksa akhirnya si bayi duduk di pangkuan Adrian. Berhadapan dengan si gadis.

Bia mengukir senyum untuk si bayi unyu yang tentu dibalas Bian dengan mulut terbuka lebar–tawa tanpa suara. Si gadis menggumamkan kalimat permisi pada Adrian untuk menyantap makan malam yang dipilihkan oleh si laki-laki tampan dan pelan-pelan melahap sambil mencuri-curi pandang ke arah si bayi yang tampak nyaman pada pangkuan ayahnya.

Bayi gembul itu kini tertarik pada dasi yang dikenakan oleh si tuan muda dan mulai menarik-narik. Tidak kuat, jadi Adrian membiarkan saja. Si pemuda Biman kembali mengambil ponselnya dan melihat beberapa aplikasi yang ia gunakan ketika bekerja. Si bayi yang duduk tenang di pangkuan sang Ayah sekarang tak cuma menarik-narik, pun Bian memasukkan dasi tersebut ke mulut. Mengunyah dasi itu dengan gusinya hingga basah. Bia yang melihat ingin mengeluarkan bagian dasi itu dari mulut si bayi. Tetapi, Adrian telah menyadari lebih dahulu dan menarik  dasinya dari mulut Bian.

“Ini bukan makanan.” Katanya lalu meletakkan ponsel di atas meja dan meraih tisu yang telah tersedia kemudian membersihkan sekitar mulut Bian yang berceceran liur. Dia lantas melepas dasinya, menggulung dan dimasukkan ke dalam saku jas. Sehingga Bian yang kehilangan sesuatu yang menarik perhatiannya malah mendadak diam terbengong.

Ekspresi bayi itu sungguh sangat lucu. Kalau tidak ingat posisi dan statusnya, Bia pasti menerjang Bian dan menghujani wajah serta pipi tembamnya dengan kecupan. Ditambah pemandangan Adrian yang memerhatikan Bian–meski tidak menunjukkan ekspresi berarti–tapi tak melupakan fakta bahwa pemuda itu adalah ayah Bian–sedikit menohok hati Bia. Bibirnya mengukir senyum, namun bukan senyum semringah seperti biasanya; melainkan senyum yang mana menyiratkan ia mengerti keadaan yang tak memungkinkan dirinya berada di antara mereka.

Dia cuma orang asing. Dia telah melepas hak untuk menjadi ibu dari Bian. Dia telah melepaskan Bian untuk dimiliki orang lain yang nantinya bakal menjadi pendamping hidup Adrian. Dan Bia harus terus mengingatkan diri sendiri akan kenyataan yang mesti dia hadapi.

**

Mereka; Adrian, Bia dan Bian tiba di kediaman Bimantara hampir jam sembilan malam. Pasangan Biman senior sudah duduk berdampingan di sofa yang berada di ruang tengah, sedang kakak dari si tampan muka teplon juga duduk di atas karpet sambil memeluk bantal sofa sambil memainkan ponsel. Adrian meletak barang-barang yang dia bawa ke sofa yang kosong dan duduk di sebelahnya, bersandar kemudian menghembus napas lelah.

Bia menghampiri sang Nyonya yang mengulurkan tangan meminta si bayi untuk diserahkan padanya.

Adnan yang tertarik dengan barang-barang itu kemudian melihat satu - per satu isinya. Mengeluarkan pakaian-pakaian bayi dari tiga paper bag sembari menggumam, “Uwa! Lucu banget! Ini juga! Wah, Bian pasti imut kalau pakai ini!” dia sangat bersemangat.

“Eh? Ini buat siapa? Buat mama?” tanya Adnan tiba-tiba setelah memeriksa paper bag berikutnya.

Adrian melirik kakaknya. “Itu punya Bia.”

“Eh?” pandangan si sulung mengarah pada Bia yang berdiri di dekat sang Nyonya menunduk; berusaha tak melihat atau pura-pura tidak mendengar, entahlah. Adnan menyipitkan mata dan senyum miring terpatri di bibirnya. “Rabia, ini.”

Si gadis mengangguk kikuk dan menghampiri Adnan. Menerima paper bag yang berisi pakaian yang dibelikan oleh Adrian. Dia merasa sangat malu sekarang.

Diam-diam sang Kepala keluarga mengamati raut muka Bia lalu Adrian. Tak menyangka jika putra bungsunya sempat membelikan pakaian untuk si gadis. Mungkin ia mesti sering-sering menyuruh mereka pergi bersama.

“Cuma ini aja?” lagi-lagi si sulung berkomentar. Dia mengeluarkan isi kantung lain yang merupakan popok, susu, peralatan makan bayi dan makanan instan bayi.

Adrian menyamankan tubuhnya di sofa, dia lelah. “Mereka bakal antar ke sini.”

“Hah? Apa?”

Stroller bayi dan alat bantu gendong.” Dia menjawab sekedar lalu memejamkan mata. Oh, si bungsu bisa terlelap kapan saja karena lelah.

Adnan mengangguk. “Untung aku nggak beli stroller bayi tadi,” ia bergumam. Tetapi tak ada yang menanggapi.

“Karena Bian anggota baru keluarga kita, gimana kalau kita buat foto keluarga bareng Bian?” sang Nyonya buka suara.

“Oh, ide bagus tuh, Ma. Aku juga mau foto bareng Bian!” Adnan menyahut.

Adrian hanya diam. Dia masih mendengar, meski matanya terpejam. Dia belum tidur. Hanya melepas penat untuk sejenak. “Hari minggu? Nggak ada acara, kan?” senyum sang Kepala keluarga terpancar. Ada sesuatu yang terpintas pada benaknya.

Adnan mengangguk semangat. “Nggak ada.”

Rosa menoleh ke arah si gadis biasa yang masih berada di dekatnya, “Persiapkan Bian untuk hari minggu, ya?”

Bia mengangguk. “Iya, Nya.”

**

Hari minggu, hari yang direncanakan telah tiba. Penghuni kediaman Bimantara tampak bersiap dan berkumpul di ruang tengah, termasuk seorang bayi gembul nan lucu dan menggemaskan dalam pelukan pengasuhnya. Si bayi kelihatan sangat bersemangat. Beberapa kali dia terdengar menjerit sambil bercanda dengan si pengasuh–yang tentu ini menjadi pemandangan menarik bagi seorang lelaki tampan yang duduk di sofa meski wajahnya tetap datar.

Pun ada yang berbeda dari si pengasuh pagi ini. Si pengasuh alias Bia tampil lebih fresh–ah, bukan berarti selama ini si gadis tidak tampil fresh, hanya saja hari ini Bia mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Adrian kemarin sehingga dia tampak berbeda. Lebih rapi, begitu.

Ah, baru mereka saja yang telah selesai berkemas.

“Uwaa, Bia, kamu manis banget!” suara si putra sulung Bimantara terdengar ketika memasuki ruang tengah. Mereka sedang menunggu pasangan Bimantara senior yang sedang bersiap.

Si gadis sontak menoleh pada pria tinggi berwajah rupawan yang mirip dengan laki-laki di sejak tadi bersamanya di sini yang menumpukan kedua tangan di sandaran sofa sembari memandang Bia dengan senyum main-main–disertai titik-titik merah menyebar di sekitar pipi. “Ng-nggak, Tuan. Saya nggak manis.”

“Terus?” Adnan mengubah raut mukanya seakan heran, “Nggak peduli kamu itu di sini cuma pengasuh, kalau menurut aku; kamu manis, ya kamu manis. Aku jujur loh,” yang dia katakan memang jujur. Meski kelihatan main-main, Adnan berkata apa yang dia pikirkan. Di kediaman Bimantara mungkin cuma si sulung yang sikapnya begini, apalagi terhadap Bia. Tapi, dia tak bermaksud buruk, kok.

Bia tidak menyahut. Tidak tahu mesti membalas apa. Dia fokus pada si bayi dalam gendongannya yang menarik-narik biji kancing di dada–yang merupakan hiasan di kaosnya. Beruntung tarikan si gembul nan semok itu tidak kuat. Adnan berganti tempat, kini duduk di sofa di sebelah sofa yang di duduki oleh adiknya.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang