21

94 11 2
                                    

Adrian melihat-lihat alat bantu gendong yang diperlihatkan oleh si pramuniaga. Di matanya semua sama saja, meski si pramuniaga sudah menjelaskan perbedaan secara detail–yang mungkin dari bahan dan lainnya. Tapi, tetap saja semuanya akan sama di mata sang tuan muda Biman. Si tuan muda ini menoleh menatap ke arah Bia yang berdiri–berjarak tiga langkah–di sebelah kanan sedang mengayun-ayunkan si bayi gembul. Memerhatikan gerakan si gadis biasa kemudian mengambil salah satu alat bantu gendong dan dicocokkan ke tubuh Bia.

“Anu, Tuan. Kalau boleh ... ” sambil menatap si tuan muda dari ekor mata. “Sesuatu yang bisa bantu saya gendong Tuan Bian dalam posisi tidur.”

“Oh, saya tahu.” Si pramuniaga dengan cepat menyahut. Dia bergerak menjauh. Mungkin mengambil yang dimaksud oleh Bia.

Si bungsu memandangi Bia. Di tangannya masih terdapat alat bantu gendong yang biasa digunakan untuk menggendong bayi di depan dada. “Kalau yang kayak gini gimana?” Tanyanya. Dia butuh pendapat. Adrian baru pertama kali berbelanja begini; maksudnya membeli perlengkapan bayi. Dia tidak mengerti apa pun.

“Kalau kedua tangan Tuan capek, bisa gunain itu untuk gendong Tuan Bian,” jawab si pengasuh–meski dia sendiri tidak yakin dengan jawaban yang sudah Ia lontarkan. Selama ini dia hanya menggendong menggunakan tangan saja. Tidak pernah pakai alat bantu.

Oh, Bia pernah diajarkan menggendong dengan kain panjang oleh tetangganya–seorang nenek yang tinggal sendirian. Cuma begitu saja. Jadi untuk alat-alat modern seperti itu, dia sama sekalu tidak mengerti. Hanya menjawab sesuai pemahaman yang ada. Begitu pula si bungsu Bimantara yang mengangguk sok paham. Mereka sama-sama pemula.

Tak lama si pramuniaga yang menghilang sebentar kembali sambil membawa dua model alat bantu gendong bayi di masing-masing tangannya. Dengan semangat menunjukkan pada si gadis biasa.

“Ini adalah barang baru kami. Bahannya lembut dan dingin. Jadi nggak buat bayi gerah atau merasa nggak nyaman.” Katanya sembari memperlihatkan apa yang ada di tangan kanan. “Yang ini menggunakan pengait. Tapi, tenang saja. Tidak akan mudah lepas, kok. ” lanjutnya yang kali ini memperlihatkan benda di tangan kiri.

Bia memperhatikan kedua alat bantu gendong yang dibawa oleh si pramuniaga. Berdasarkan penjelasan singkat tadi dan model–yang tidak jauh berbeda juga motifnya–ah, si gadis biasa tidak mau terlalu memikirkan hal sepele–dia akan memilih benda yang aman untuk membantunya menggendong Bian. Sudah jelas, kan?

“Yang itu aja.” Si gadis biasa menunjuk benda di tangan kanan si pramuniaga.

“Oh! Mbak, ini adalah best seller kami. Mata mbaknya jeli banget. Saya bungkusin ya, mbak,” ujar si pramuniaga dengan antusias dan bersiap membalik badan.

“Ah, tunggu.” Suara Bia terdengar ketika si pramuniaga hampir beranjak serta Adrian yang bakal mengikuti–untuk membayar tentunya–sehingga mereka berdua menoleh dan berhenti. “Bo-boleh langsung saya pakai? Ta-tangan saya mulai pegal.” Dia melirik takut-takut ke arah si tuan muda tak jauh darinya.

Si pramuniaga mengarahkan tatapan pada lelaki berpakaian rapi di dekatnya. Meski tidak tahu hubungan dua orang berbeda gender ini dengan si bayi–yang berada di gendongan si perempuan–tapi insting seorang gadis cukup kuat, bukan? Entah bagaimana dia bisa tahu jika lelaki tampan yang bermaksud membayar semua barang yang akan mereka beli dan si perempuan di sana ... um, bagaimana ya mengatakannya ..., ya, begitulah.

Si tampan muka teplon mengangguk sewaktu pramuniaga di sebelahnya menatap ke arahnya.

“Oke, mbak.” Si pramuniaga mendekati Bia. “Apa mau saya ajarin cara pakainya?”

“Ng-nggak perlu.” Bia menggeleng. “Makasih.”

Adrian tidak berkomentar. Cuma memerhatikan interaksi singkat si pengasuh dan si pramuniaga.

“Ada lagi yang mas sama mbaknya butuhkan?” tanya si pramuniaga.

“Kereta bayi.”

“Kereta bayi ada di sebelah sana. Mari ikuti saya,” ujar si pramuniaga.

Adrian mengangguk. Di belakangnya Bia sedang memasang alat bantu gendong di tubuhnya dan memasukkan Bian ke dalam alat tersebut. Beruntung alat itu memiliki kain yang lebar sehingga sebagian besar dadanya tertutup dan Bia makin bersyukur dalam hati sebab ia mengenakan kemeja hari ini. Meski cuma kemeja kusam yang warnanya hampir pudar, setidaknya dia bisa membuka beberapa kancing di tengah dan menyodorkan sesuatu yang dicari-cari si bayi gembul dari tadi.

Diam-diam ... berusaha bersikap normal menyembunyikan sesuatu di dalam alat gendong. Membiarkan Bian yang hampir terlelap mendapatkan yang diinginkan. Tentu saja bayi itu langsung menyambar dan menyedot banyak-banyak–menyedot rakus–puting ibunya. Bia sedikit meringis, namun berusa sebisa mungkin menyembunyikan raut mukanya. Meski mengantuk dan bakal tertidur, si bayi gembul sepertinya sangat kelaparan.

Si lelaki tampan berpakaian rapi menoleh ke belakang memastikan keberadaan si pengasuh. Ketika melihat Bia yang berjalan cukup lambat, dia tidak berniat memanggil untuk mendekat atau mempercepat langkah; biar saja. Asal tidak tersesat atau tertinggal saja. Sebab, dia ingin cepat pulang .

Mereka tiba di bagian stroller bayi yang sedang dipajang. Ada banyak model dan bentuk strollernya sendiri sudah disesuaikan dengan umur bayi. Seperti stroller untuk bayi yang baru lahir berbeda dengan yang berumur sekiranya satu tahun. Saking banyaknya pilihan dan model membuat kepala si tampan muka teplon itu sedikit pusing. Kenapa tidak dipermudah saja, sih? Cukup satu model aja sih, jadi Ia tidak perlu capek berpikir.

Otaknya sudah dipakai di tempat kerja, lho dan sekarang mesti ia gunakan lagi untuk memikirkan kereta bayi? Ha~ banyak sekali cobaannya hari ini. Si bungsu Biman menilik satu-per satu model stroller lalu memalingkan muka menatap si pengasuh yang berdiri tak jauh darinya yang terperanjat karena tiba-tiba ditatap. Arah mata si tampan ini sebenarnya ke bundelan yang ada di badan si gadis, mengira-ngira panjang dan besar tubuh bayi yang berada di dalam alat bantu gendong kemudian memerhatikan kembali kereta bayi.

Sementara si pramuniaga mengamati dengan antusias. Tahu pasti jika tamu yang sedang ia layani bakal membeli atau memborong beberapa barang dari tokonya. Hal yang pasti disenangi para pekerja di bidang penjualan.

“Ya udah, saya ambil ini aja.” Katanya sambil menunjuk sebuah model dari stroller bayi yang terpajang.

Senyum si pramuniaga melebar–disertai bintang-bintang di wajahnya. “Terima kasih, mas. Apa ada lagi yang mau dilihat?”

Adrian kembali menoleh ke arah Bia membuat si gadis kembali berjengit–sekali lagi dibuat kaget–namun tidak memberi reaksi lain. Cuma diam sambil memandang si tuan muda–oh, ada sebulir air mengalir di pelipis! Ah, dia merasa sebenarnya sedikit tidak nyaman ditatap begitu. Tapi, Bia sedang berusaha bersikap normal. Apalagi dengan keadaan bayi yang berada di dalam alat bantu gendong. Ukh! Jangan ditatap kemari lagi, Tuan Muda Biman!

Si pemuda Bimantara mengalihkan pandangan pada si pramuniaga. “Nggak. Itu aja.” Tidak ada yang dia pikirkan untuk sekarang. Kapan-kapan bisa berbelanja lagi.

“Silakan ikuti saya untuk melakukan pembayaran,” ujar si pramuniaga yang tentu diikuti oleh Adrian juga Bia yang berjalan perlahan.

Unit perlengkapan bayi–yang tak perlu kita sebut nama atau mereknya–ini juga menyediakan layanan antar; maksudnya mengantarkan barang yang dibeli ke alamat pembeli–tentu pembayaran sudah berikut ongkos kirim atas pelayanan tersebut. Jadi, Tuan muda kita tidak perlu repot-repot membawa barang yang dia beli–stroller bayi–selama berada di mall. Oh, Adrian sangat bersyukur atas pelayanan toko ini. Dia berikan bintang lima jika perlu!

Setelah selesai melakukan pembayaran atas dua barang yang dia beli dan memberikan alamat lengkap, Adrian dan Bian keluar dari toko perlengkapan bayi. Ya, keluar dan berdiri di depan pintu masuk toko berdampingan.

Jadi ..., apalagi yang mesti dicari?

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang