19

129 9 1
                                    

Agam bangkit dari kursi kerjanya membuat si gadis sedikit berjengit lalu membungkuk sembilan puluh derajat. “Maafkan saya. Atas nama Adrian, saya meminta maaf sama kamu, Rabia Anjasari.”

Biasanya bentuk permintaan maaf begini dilakukan oleh orang-orang luar sana yang kulturnya berbeda. Iya, memang. Tapi, Agam sengaja melakukannya sebagai bentuk bahwa dia betul-betul meminta maaf dan sangat menyesal dengan segala hal yang terjadi pada gadis di depannya ini.

Tak mungkin Bia tidak terkejut atas apa yang dilakukan oleh sang Kepala keluarga. Dia ikut bangkit berdiri, tapi tak tahu mesti berbuat apa. “Tu-Tuan nggak perlu minta maaf. Jangan begini, Tuan. Saya nggak bisa terima.”

“Saya mohon maaf atas apa yang dilakukan sama anak saya, Adrian. Saya minta maaf.”

“Iya, Tuan. Saya maafin. Tegakkan lagi badan Tuan. Saya maafin tuan muda.” Sudah dari lama Bia tak pernah memikirkan Adrian, tidak membayangkan dia meminta pertanggung jawaban apa pun–bisa dikatakan dia sudah memaafkan si bungsu Bimantara sejak lama.

Agam menegakkan tubuhnya, mengangguk dan mengucap terima kasih pada si gadis. Mereka duduk kembali. Sang Kepala keluarga menutup berkas di atas meja. “Saya hargai pilihan kamu. Pun saya nggak akan menuntut. Saya bakal rahasiain ini dari siapa pun dan nggak akan biarin kamu pergi dari rumah ini. Bian sangat butuh kamu, Bia. Kamu ibunya. Meski kamu dan Adrian nggak terikat, kalian adalah orang tua Bian. Seenggaknya dia memiliki kalian di satu atap.”

Senyum Bia mengembang tipis. Dia tidak menyangka. Ia kira dia akan diinterogasi, dipaksa menjawab atau bisa jadi sang Kepala keluarga tidak mempercayainya dan menuduh ia penjahat anak-anak. Si gadis bersyukur. Apalagi Agam tidak memaksa dia mesti menikah dengan Adrian. Dia sudah merasa bersyukur sudah  diberikan ijin untuk tinggal di rumah ini. Diberi ijin untuk merawat Bian. Dia diberi ijin untuk menjadi ibu Bian–dalam hal ini mengambil peran sebagai pengasuh. Ini adalah sesuatu yang membuatnya bahagia. Tanpa bisa ditahan, air mata menumpuk di kantung mata, menggenang menutupi iris coklatnya.

“Terima kasih, Tuan.”

Ucapan terima kasih si gadis disahut anggukan oleh Agam. Membalas senyum lembut atas air mata yang menetes dari kelopak yang melingkari coklat bening si gadis. Jika Bia mau, dia ingin segera mengangkat si gadis menjadi menantunya. Tak masalah asal-usulnya yang tidak jelas, gadis kampung atau apa pun sebutannya, gadis itu terbukti layak, kok. Tapi, dia tak ingin memaksa.

“Meski kamu menolak dibayar, saya akan tetap kasih kamu gaji. Kamu nggak mungkin nggak punya kebutuhan. Gunakan uang itu untuk penuhi kebutuhan kamu atau kamu tabung. Terserah. Itu adalah hak kamu.”

“Tuan ....”

“Saya maksa, Bia.” Ya, cuma ini yang bisa Agam berikan. Sebagai ungkapan maaf, terima kasih dan juga salah satu bentuk pertanggung jawaban sebagai kepala keluarga Bimantara. Bian adalah cucu pertama Bimantara. Siapa pun  ibunya otomatis menjadi bagian  dari Keluarga Bimantara juga. Ah, mungkin dia bisa mendaftarkan Bia sebagai kerabat dekat Bimantara.

Si gadis terpaksa mengangguk. Dia tak bisa menolak. Keluarga Bimantara sungguh sangat baik, apalagi sang Kepala keluarga. Masih mau menerima dirinya yang seperti ini. Jika di keluarga lain mungkin dirinya sudah didepak dan dipermalukan. Mereka adalah orang-orang baik. Bian sangat beruntung menjadi salah satu bagian dari Bimantara.

“Ya sudah. Udah larut. Kamu bisa kembali ke kamarmu. Maaf, ganggu waktu kamu,” ujar Agam yang bangkit dari kursinya diikuti oleh si gadis.

Bia memandang sang Kepala keluarga kemudian mengukir senyum, “Terima kasih banyak untuk semuanya, Tuan. Permisi.”

Melihat punggung sempit namun kokoh si gadis, Agam menghela napas. Seandainya ... seandainya Adrian dan Bia bertemu dengan cara yang lain, tidak akan seperti ini jadinya. Tapi, percuma menyesali keadaan yang sudah terjadi. Sekarang yang terpenting adalah memperbaiki apa yang ada.

**

Bintang Mutiara Group merupakan salah satu perusahaan besar yang ada. Berlambangkan huruf B dan M–berwarna biru pekat. Bergerak di bidang industri, pabrik dan impor-ekspor. Belakangan si sulung Bimantara membawa perusahaan mereka masuk ke bidang entertainment–cuma sekadar mensponsori beberapa PH dan menanam saham di label atau agensi. Tidak mau terlibat langsung dengan para aktris atau aktor–merepotkan. Cukup di balik layar.

Agam masih menjadi Presiden Direktur Utama. Dibantu kedua putranya mengembangkan perusahaan. Meski sang Bimantara senior sendiri bisa melakukannya. Karena ia menjalin kerja sama dengan beberapa kelompok besar bawah tanah. Hanya kelompok besar. Kelompok besar yang mendapat pengawasan dari pihak berwajib. Bermain bersih, begitu.

Para petinggi di BM Group baru saja selesai melaksanakan meeting bulanan. Membahas segala permasalahan proyek dan semua tentang untung, rugi, dan bla-bla-bla lainnya. Mereka keluar dari ruang meeting secara teratur. Mereka yang duduk di dekat pintu dulu, satu-per satu.

“Adrian,” sang Bimantara senior memanggil.

Si bungsu yang hendak beranjak dari kursi menoleh pada ayahnya. Tidak menyahut atau membalas panggilan tadi. Sementara si sulung yang duduk berseberangan dengan mereka memerhatikan dari tempatnya sambil merapikan berkas-berkas yang ia bawa. Sedikit kepo.

“Papa minta Danu jemput Bia dan Bian nanti sore. Kamu bisa pergi sama mereka untuk beli keperluan Bian.” Kata Agam seraya bangkit berdiri–menyebabkan kening si Bimantara muda mengerut–dan melangkah mendahului putranya sambil berujar, “Mama kamu nggak bisa nemenin karena mesti ketemu klien.”

“Wah, aku juga beli nanti sesuatu ah buat Bian,” Adnan menyahut, “Tapi aku belinya sendiri.” Si sulung tersenyum gembira. Mengikuti langkah sang Ayah keluar dari ruangan meninggalkan si bungsu sendirian.

Ya, ruang meeting ini hampir kosong ketika sang Bimantara senior berbicara dengan anaknya. Adrian tidak bisa untuk tak tercengang. Ha? Dia yang mesti pergi? Gah, malas sekali! Pergi berbelanja adalah sesuatu yang ia benci. Mana harus bersama si pengasuh dan si bayi gembul. Kenapa harus dia? Adnan berminat, tuh! Tapi ... arg! Adrian misuh-misuh sendiri di dalam ruang meeting.

**

Sesuai yang diberitahukan oleh sang Presdir, Danu menjemput Bia sebelum jam lima sore–waktu kerja selesai–dan langsung diantar  ke gedung Bintang Mutiara Group. Mereka berjalan berbarengan ke dalam gedung dengan si gadis biasa tengah menggendong si gembul yang matanya meliar; melihat ke sana-kemari. Bayi gembul itu melihat sesuatu yang baru dan menarik perhatiannya hingga terkadang memutar kepala ke belakang mengikuti objek yang dilihat.

Beberapa pegawai yang melihat kedatangan si gadis berbisik-bisik. Bertanya, siapakah gadis yang membawa bayi lucu berkulit putih yang kemungkinan adalah keturunan Bimantara? Berjalan bersama Danu ... yang artinya si gadis memiliki keterikatan dengan Bimantara? Para perempuan mulai bergosip dan berasumsi mengenai apa yang mereka lihat. Ada juga yang memandang sinis dan tak suka.

Mereka menaiki lift yang sama seperti yang sebelumnya dan di dalam lift keduanya tak terlibat pembicaraan. Sebenarnya Bia yang merasa canggung, setidaknya mereka pernah mengobrol. Mereka sama-sama pekerja di kediaman Bimantara dan ini kedua kali dia di jemput oleh pria tinggi besar itu. Berteman ... atau rekanan ..., begitu. Ah, si gadis tersentak ketika Bian menggerakkan kaki dan tangan ke arah belakangnya–punggung–ke dinding lift.

Si gadis mundur sehingga tangan Bian berhasil menyentuh dinding lift. Si bayi tampak gembira kemudian memukul-mukul dinding sambil berceloteh dengan bahasanya sendiri.

“Bu! Aa! Buuu! Ha! Bububah!” entah apa yang dikatakannya, Bian tampak senang memukul dinding lift menyebabkan bunyi gaduh.

Bia menatap Danu yang berdiri sedikit di depannya yang ternyata menoleh ke arahnya. Dia sedikit menyungging senyum. “Maaf.” Katanya.

Danu tidak menjawab, namun mengangguk.

Mereka cuma diam sampai pintu lift terbuka. Si pria besar dan tinggi berjalan lebih dahulu diikuti Bia. Menuntun si gadis, menunjukkan jalan. Pun pegawai-pegawai di lantai ini juga turut memerhatikan kedua orang itu serta si bayi. Sama halnya dengan pegawai di lantai bawah tadi, kemudian mereka berbisik-bisik. Tidak pernah melihat gadis tersebut dan si bayi. Juga bersama Danu; salah seorang kepercayaan Presdir.

Dan ... makin terkejutlah mereka ketika Danu membawa si gadis ke depan sebuah ruangan yang sangat mereka hafal. Ruangan salah seorang putra Agam Bimantara. Putra sang Bimantara senior yang menarik perhatian hampir seluruh pegawai perempuan di gedung ini–hampir seluruh karyawan menaruh hati padanya!

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang