23

44 6 0
                                    

Pakaian, popok, susu–yang Bia ingat di rumah masih ada stok–tapi sudah terlanjur beli lagi–kereta bayi, alat bantu gendong, apalagi ya?

Adrian memutuskan menyudahi acara berbelanja keperluan Bian. Dia sudah teramat lelah. Belum lagi paper bag dan kantung-kantung yang dia bawa. Tidak mungkin menyuruh Bia yang menggendong si bayi gembul untuk membawanya. Hei, meski stoic, dingin, dan bertampang datar; Adrian masih memiliki pikiran jernih. Di mana harga dirinya sebagai seorang lelaki yang masih sehat bugar, jika barang belanjaan mereka dibawa oleh si gadis yang jelas membawa manusia cilik bersamanya.

Karena lelah dan jam makan malam hampir terlewat, Adrian membawa si pengasuh ke sebuah restoran terdekat untuk beristirahat sejenak dan mengisi tenaga. Mereka menduduki kursi yang berada di pojok dengan posisi duduk saling berhadapan kemudian memesan makanan.

Mereka tidak saling mengobrol. Si lelaki tampan mengeluarkan ponsel dan mengutak-atik benda itu–entah apa yang dia lakukan–sementara Bia mengintip ke dalam gendongan dan melihat Bian yang masih lelap. Tampak nyenyak sekali. Dia menepuk-nepuk bagian pinggul si bayi dari luar gendongan agar bayi gembul itu makin nyenyak.

Tak berapa lama makanan yang dipesan sudah datang. Pramusaji menata di atas meja sesuai pesanan kemudian undur diri. Adrian memasukkan ponsel ke saku celana lalu melepas jas yang masih terpasang di badan. Menyampirkan di sandaran kursi dan meregangkan sedikit dasi yang terasa mencekik pada leher kemeja. Ah, cukup lega rasanya.

Saat akan menyantap makanan, sorot kelamnya menatap Bia yang masih menepuk-nepuk bundelan di badannya. “Makan.” Katanya. Dia memesan cukup banyak untuk mereka berdua.

“Iya, Tuan.” Si gadis menyahut.

Bia menghentikan aktivitasnya menepuk pinggul Bian dan memosisikan tubuh si bayi lebih mengarah ke lengan kirinya supaya lengan kanannya makin leluasa bergerak. Namun, tiba-tiba saja Bian bergerak-gerak di dalam gendongan. Kakinya sesekali menendang dan terasa tepukan di dada Bia. Apa Bian terganggu? Si gadis akhirnya memilih melihat keadaan si bayi di dalam gendongan yang rupanya telah membuka mata.

“Bian udah bangun ya,” dia menyapa si bayi sekalian mengubah posisi si gembul yang tiduran menjadi berdiri. Melebarkan kaki Bian di sekitar pinggang dan si bayi seakan duduk di dalam gendongan.

Bian langsung tertawa begitu melihat wajah tak asing sehabis bangun tidur. Dia kelihatan sangat senang. Adrian yang ada di seberang meja tentu menangkap momen si bayi gembul yang baru bangun di pelukan si pengasuh dan tawa Bian yang bahagia. Dia tidak mengatakan apa pun. Hanya melihat.

Seakan lupa pada sekitar–khususnya pria tampan yang duduk di seberang–Bia dengan gemas menggelitik hidung mancung si bayi dengan hidungnya. Wajah mereka sangat dekat. Pun Bian tampak makin girang hingga terdengar jeritan kecil dari si bayi. Si gadis terkekeh lalu mengecup sayang pipi si bayi gembul nan montok.

Bia melepas alat bantu gendong yang melilit tubuhnya sehingga Bian bisa bergerak kemudian memutar tubuh bayi itu sehingga berhadapan dengan seorang pria yang memiliki perawakan tampan tapi tak berekspresi sedang menikmati makanannya sembari memerhatikan pasangan pengasuh–ibu–dan anak tersebut. Si gadis tersentak, dia segera menunduk–gesture meminta maaf. Meletakkan alat bantu gendong tadi pada kursi yang berada di sebelahnya dan memangku Bian dengan benar.

Muka baru bangun tidur Bian sangat kentara, meski begitu bayi gembul ini tetap terlihat imut. Ditambah pipi gembilnya yang merona. Beberapa pengunjung restoran yang tak sengaja melihat ke meja di mana Adrian dan Bia serta Bian saja sampai terpana oleh keimutan si bayi gembu. Kulit putih yang persis seperti ayahnya. Oh, mungkin mereka pasangan baru–mungkin si laki-laki pernah menikah lalu punya anak. Tapi, pernikahan mereka tak berjalan lancar atau kemungkinan lain yang menyebabkan si laki-laki menjadi single parent dan bertemu si gadis yang kelihatan sangat muda.

Setiap orang bisa berasumsi apa pun. Untungnya mereka tak dapat melihat wujud lelaki yang menjadi ayah si gembul karena posisinya memunggungi. Pun posisinya di pojokkan dekat dinding.

Kelereng coklat Bian memandang tertarik pada makanan yang terhidang di atas meja, kedua tangan si bayi semok ini memanjang ke arah meja. Menarik-narik badannya di pangkuan sang Ibu untuk maju. Diiringi dengungan khas bayu yang dikeluarkan oleh Bian. “Ngh! Ng! Ng! Mam! Mam! Mam!”

“Bian lapar, hm?”. Sayangnya tak ada makanan yang bisa dimakan oleh si bayi. Kecuali air mineral di atas meja–hm, itu bukan makanan. Jadi, Bia memanggil seorang pelayan yang kebetulan melintas, “Permisi, mas. Apa ada pisang?” hanya ini yang terbesit di kepalanya. Dia tidak mungkin mencari cara menyusui Bian di tempat umum begini. Adrian bisa curiga.

“Iya, kami punya,” jawab si pelayan bingung.

“Boleh saya minta satu atau dua buah?”

Si pelayan makin kebingungan, “Maaf, mbak. Saya nggak ngerti. Kami memang punya buah–”

“Masukkan aja ke dalam tagihan kami,” Adrian menyerobot, “Kami nggak bawa makanan bayi. Bisa kan kalian kasih buahnya? Kalau harus bayar, saya bayar.”

Aduh, Bia merasa tidak enak. Hari ini dia banyak sekali merepotkan si tuan muda.

Si pelayan mengangguk masih dengan raut muka bingung. Dia segera berlalu.

“Maaf, Tuan,” si gadis mengatakannya dengan kepala tertunduk sembari menahan tubuh si bayi yang terus bergerak-gerak.

Adrian menghela. “Pulang nanti sekalian beli makanan bayi.”

Bia cuma mengangguk. Dia mengusap puncak kepala si bayi gembul yang masih berceloteh ‘mam-mam’. Sambil menunggu si pelayan membawa pesanan tambahan, Bia ingin memberikan minum dulu pada Bian. Sekali lagi memosisikan tubuh si bayi di pangkuan dengan punggung turun dan bersandar di tangan kiri lalu tangan kanan meraih sendok makan dan mencelup ke gelas.

“Bian minum dulu ya ....” Katanya dan menyuapi Bian beberapa sendok air. Si bayi menyambut gembira disertai kaki yang menendang-nendang.

Pelayan tadi menghampiri meja yang di tempati oleh Adrian kemudian meletak piring berisi dua buah pisang. Bia mengucap terima kasih dan sigap mengambil salah satu buah tersebut dan mengupas sebagian kulitnya. Menggunakan sendok, Ia mengeruk daging pisang lalu menyuapi Bian. Bayi gembul nan semok dan lucu itu melahap makan malamnya dengan senang. Sesekali sehabis menelan, dia melanjutkan celotehnya sehingga air liur merembes keluar dan terciprat ke lengan dan pakaian Bia.

“Iya, iya. Bian anak pinter. Makan yang banyak. Suka, hm? Mau lagi?” Bia menanggapi celoteh si bayi sembari menyuapi Bian.

Bian tertawa tanpa suara. Mulutnya terbuka lebar menampilkan gusi yang belum ditumbuhi gigi. Aw~ menggemaskan! Senyum si gadis turut terkembang melihat bayinya yang riang gembira.

Mood Bian lagi bagus ya? Karena bangun tidur terus makan? Iyakah? Bian sayang~” suara si gadis seakan menggelitik si bayi; membuat Bian bereaksi makin tertawa–meski tidak bersuara–disertai kaki yang menendang. “Iya, iya. Ayo makan lagi.” Melanjutkan suapan demi suapan yang dilahap oleh si bayi gembul.

Di seberang ... sorot kelam itu tak teralihkan. Fokus mengamati interaksi antara Bia dan Bian. Interaksi yang sangat alami. Bukan seperti seorang pengasuh dan bayi yang diasuh. Bagaimana cara Bian merespon terlihat sangat natural. Pun cara berbicara si gadis pada si bayi terlihat bukan seperti cara seorang pengasuh. Ya, meski Adrian tidak tahu secara pasti cara seorang pengasuh itu bagaimana, hanya saja ... interaksi keduanya terlihat sangat berbeda; terlihat sudah selayaknya begitu. Dia tidak tahu bagaimana mendeskripsikan pandangannya, namun ... ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang