16

164 8 1
                                    

Tepat setelah mengantar Bian ke kamar Adrian, Bia menghampiri ruang kerja sang Kepala keluarga. Dia hampir hafal seluk-beluk kediaman Bimantara, jadi tak perlu dituntun lagi untuk tahu di mana ruang khusus milik sang Tuan besar agar dia bisa datang sendiri. Semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing sehingga keadaan rumah sangat sepi. Sudah jam tidur. Hanya Bia yang tampak masih berjalan dan berhenti di depan sebuah pintu suatu ruangan.

Si gadis biasa itu menelan ludah seakan menelan seonggok batu. Dia masih takut. Masih deg-degan. Dia berharap agar pagi cepat datang, agar malam ini cepat berlalu, agar tak terjadi apa pun di dalam ruang itu nantinya. Napas si gadis biasa tersendat. Dia menghirup udara dengan perlahan dihembuskannya kembali udara itu. Melakukannya beberapa kali–meski tidak banyak membantu setidaknya perlakuan seperti itu membantu dirinya supaya rileks–Bia mencoba mengetuk pintu.

Satu, dua, tiga.

“Permisi, Tuan.”

“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.

Si gadis biasa yang menyandang peran pengasuh ini makin-makin ingin tenggelam rasanya. Menghilang ditelan bumi. Dia sama sekali tak berani menghadapi sang Kepala keluarga Bimantara, tapi siap tidak siap ... dia meraih knop pintu, memutar hingga terdengar bunyi jika kunci dibuka dan mendorong ke depan. Melihat ruang kerja milik Agam Bimantara–di mana sang Pemilik duduk di balik meja baru saja menutup sebuah map dan melipat tangan di mejanya–yang memang menantikan si gadis biasa datang menghadap.

Bia masuk, menutup kembali pintu. Duduk di kursi yang sudah tersedia di depan Agam dengan kepala tertunduk. Dia benar-benar tak berani berhadapan langsung; menatap sorot tajam milik sang Kepala keluarga. Mana jantungnya sejak tadi meningkat detaknya. Mungkin lima kali–ah, enam, tujuh, delapan–pokoknya sangat-sangat cepat.

Agam memandangi si gadis biasa yang tak mau menatapnya. Dia mengerti. Pasti Bia ketakutan. Tapi, dia tidak berniat melakukan tindak kekerasan atau apa pun yang dapat dikatakan tindak kriminal. Ia meraih map yang isinya tadi dibaca, membuka kembali sampul mapnya dan menyodorkan ke hadapan si pengasuh.

“Kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?” Tanya sang Bimantara senior.

Bia tidak berani bergerak, cuma kepalanya yang menggeleng. Meski dalam hati dia menjawab; apalagi tujuannya jika bukan karena dia tertangkap basah menyusui Bian? Ada alasan lain?

“Saya pikir, saya bakal bicarain ini beberapa hari ke depan, tapi ... saya nggak nyangka ngelihat hal itu–tadi sore–jadi, saya terpaksa panggil kamu malam ini.” Suara Agam yang dalam membuat si gadis biasa seakan tersengat; apalagi menyebut soal ‘tadi sore’.

“Bia.” Jeda sebentar. “Kamu adalah ibu kandungnya Bian, kan?” sebuah pertanyaan yang menghancurkan seluruh benteng kokoh milik si gadis biasa yang menjadi pengasuh bayi gembul keturunan Bimantara bernama Abian.

Bia kaget bukan main. Refleks dia mengangkat kepala dan menatap sang Kepala keluarga terkejut. Ba-bagaimana sang Kepala keluarga tahu. A-apa ada yang membocorkan? Tapi, di rumah ini tidak ada yang tahu. Atau gerak-geriknya mencurigakan sampai sang Kepala keluarga dengan cepat bisa memahami? Bia tidak dapat berbicara. Tenggorokannya tiba-tiba kering; lidah kelu dan pikiran kosong.

Ya, Tuhan. Ya, Tuhan ..., si gadis biasa menyebut dalam hati berulang-ulang.
Agam menghela. “Maaf, saya nggak bermaksud untuk memojokkan kamu, tapi saya kau tahu. Bia ... apa kamu yang melahirkan Bian?”

Raut keterkejutan si gadis biasa belum hilang, namun dia memalingkan muka–menundukkan kepala dalam–tidak berani memandang wajah Agam Bimantara. Apa yang mesti dia jawab? Jujur atau berbohong? Bia tidak tahu! Tidak tahu! Dia ingin melarikan diri. Dia tak mau menjawab! Di ingin menghilang saja. Kenapa mesti ketahuan secepat ini? Kenapa ... Tuan Bimantara berpura-pura saja tidak tahu? Bia tidak ingin berada di sini!

Agam masih memandang si gadis biasa yang tetap menutup mulut. Pembicaraan ini akan buntu jika gadis itu bersikeras tak mau bicara. Tuan Bimantara memilih opsi lain agar Bia mau buka mulut perihal Bian–dan identitas sebenarnya si gadis biasa. “Saya anggap diam kamu sebagai ‘iya’.”

Bia berjengit. Mau tak mau menengadah. Meski belum menatap langsung ke sang Kepala keluarga, dia tak menunduk lagi.

“Maaf, saya selidiki kamu diam-diam.” Katanya dan sekali lagi si gadis biasa dibuat terkejut dan terpaksa melihat ke arah sang Tuan Bimantara yang menarik berkas sebelumnya, membalik beberapa kertas lalu di sodor kan pada Bia. “Rabia Anjasari, delapan belas tahun, tercatat sebagai pasien di Rumah Sakit Kasih. Melahirkan seorang bayi laki-laki. Keterangan bayi bahkan kondisi kamu pasca melahirkan tertulis jelas.”

Entah sudah berapa kali si gadis biasa terkejut malam ini, iris coklatnya menatap berkas di meja dan lagi-lagi kaget. Benar, di sana tertera dengan jelas semua yang dikatakan oleh Agam dan data-data dirinya. Bia tidak bisa mengelak lagi, dia tidak bisa berbohong, tak bisa beralasan. Semua bukti telah di dapatkan oleh sang Kepala keluarga.

Bukan lagi ketakutan karena ketahuan yang di rasa oleh gadis ini, tetapi ... takut karena rasa bersalah. Dia terduduk lemas. Seharusnya dia tak perlu datang kemari, tak perlu menjadi melamar menjadi pengasuh bayinya sendiri, bila perlu dirinya tak usah menunjukkan muka di hadapan keluarga Bimantara. Tidak perlu. Semuanya tak diperlukan lagi.  Dia hanya harus pergi dan melupakan semuanya. Bian sendiri telah mendapat rumah. Dia juga sudah melepaskan haknya sebagai ibu sedari awal saat memberikan bayi gembulnya pada keluarga aslinya. Mestinya ..., mestinya dia tahu diri. Mestinya Bia egois. Tak usah lagi memikirkan Bian. Tapi ... tapi, hati kecilnya terus berteriak merindukan si bayi gembul.

“Ma-maafin saya, Tuan.” Hanya ini yang mampu terucap. Bia tidak tahu harus berkata apa. Dia menyalahkan diri sendiri. Jika dia tidak datang, semua ini tak akan terjadi.

Agam terperangah. Bukan itu yang ingin dia dengar. “Kamu nggak perlu minta maaf. Coba, ceritain ... apa yang terjadi? Gimana kamu sampai mengandung Bian? Apa kamu menjalin hubungan dengan Adrian?”

Si gadis biasa melirik Agam, iris coklatnya tampak redup. Dia menggeleng.
“Terus? Apa dia memaksa kamu?”

Lagi, si gadis menggeleng.

“Lantas, apa yang terjadi?” Agam tidak ingin mendesak sebenarnya, namun ia penasaran apa yang terjadi. Mengingat Adrian sangat kekeuh bahwa dia tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang.

Bia menunduk. Kembali ingatan malam satu tahun lalu melintas dalam kepalanya. Seperti kaset rusak–sekilas-sekilas dibarengi bunyi mengganggu–membuat tubuhnya bereaksi. Gemetar. Menautkan kedua jemari, keringat dingin terasa mulai keluar dari kulit dan hawa dingin terasa di punggungnya.

“Wa-waktu itu ... saya belum dapat kerjaan tetap dan baru lulus sekolah. Ada teman yang menawarkan kerja sampingan sebagai pelayan. Karena memang butuh uang, saya terima begitu aja. Kami kerja di sebuah hotel yang ada di area desa tempat tinggal saya dulu. Bener-bener sebagai pelayan; ngantar makanan ke tamu di restoran dan kamar ....”

**

“Bia, bawa minuman ini ke kamar tiga-kosong-satu di lantai tiga, ya!”

Bia yang bekerja sebagai casual–sebutan yang biasa dipakai pihak hotel untuk merekrut tenaga kerja yang di bayar per hari–menyahut cepat dan lantang. Sudah dua minggu dia menjadi casual di hotel ini, jadi sudah beradaptasi dengan pekerjaan yang dilakoninya sebagai waiter. Bia mengambil alih troli yang biasa digunakan oleh bagian F&B atau restoran membawa makanan atau minuman untuk para tamu yang menggunakan ruang meeting.

Di dalam troli terdapat sebuah champagne, beberapa gelas yang telah terisi minuman–warnanya mirip teh, tapi Bia tidak tahu–lalu di bagian bawah ada berbagai jenis camilan. Mungkin mereka yang di kamar tiga-kosong-satu sedang melakukan pertemuan.

“Hei, kamu. Tunggu!”

***


Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang