18

70 11 0
                                    

Seperti baru tersiram air, binar coklat milik si gadis biasa yang sebelumnya tampak kosong mulai berbinar kembali. Dalam pandangannya tertangkap sesosok pria yang sedang bergerak. Lalu tubuhnya yang terlonjak-lonjak dan ... ah, suara itu ... dari mulutnya? Bia sontak menutup mulut, menghalangi suara aneh yang keluar. Hingga ngilu serta sakit ia rasakan dari bagian bawah tubuhnya.

Penglihatan yang belum fokus mengarah ke sana; ke arah selatan yang mana dia baru menyadari apa yang terjadi. Bia membelalak. “Hmng?! Ng!” Dia menggeleng-gelengkan kepala, melepas bekapan di mulut kemudian memegang lengan pria yang berada di atas. “Le-lepas-nh-berhentih! Ah-stop-uh!”

“Berhenti? Bukannya kamu nikmatin juga?” suaranya yang dalam, menekan tiap kata yang terucap dan mempercepat gerakan sambil menyeringai. Membuat si gadis biasa tak kuasa menahan teriakannya. “See, kamu menikmatinya.”

“Ng-nggak–aku-kumohon–ugh–uh~ anh~ ngh!” matanya terpejam erat. Sensasi menakjubkan itu menyerang. Bersamaan dengan sesuatu yang hangat ia rasakan dalam tubuh. Napas Bia putus-putus. Dia lelah. Dia ingin segera lepas. Sewaktu Ia kembali membuka matanya dan bermaksud menjauh; iris coklatnya terbelalak sewaktu lelaki di depannya mendorong hingga dia terbaring, menahan kedua tangan serta kakinya dan kembali masuk.

“Eh~ belum selesai, loh ....” Pemuda tampan dengan sorot tajam itu mengukung Bia. Mengulangi lagi kegiatan yang sebelumnya.

Si gadis biasa menggeleng. Dia tidak mau. Dia takut. Ngeri! Apalagi sorot tajam dari pria itu menusuk, dingin, dan tidak peduli bagaimana dia menolak. Dorongannya kuat, kasar. Bia tak lagi mengeluh, namun meringis. Sakit. Ngilu.

Ketika pria di atasnya mencapai puncak, dia cepat-cepat mendorong lelaki tersebut. Walau sakit, walau perih, lelah, tak punya tenaga, yang Bia pikirkan adalah lari! Dia buru-buru meraih pakaian yang berserakan di lantai. Mengenakannya secara sembarangan dan berlari. Berlari keluar dari kamar yang amat sangat beruntung tidak dalam posisi terkunci. Meski langkahnya tertatih, tubuhnya terasa remuk, dia tidak peduli. Dia hanya ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.

Sementara pemuda tampan di dalam kamar pun turut mengikuti tindakan si gadis mengenakan pakaian dan keluar. Meski pikirannya masih kosong namun sumber kenikmatan yang ia rasakan telah pergi, maka dari itu ia berniat mengejar. Tetapi tubuhnya tidak kuat menuruti keinginan. Si laki-laki tampan terjatuh di lorong, bersandar pada dinding, mengatur napas di sana. Sampai tak sadar dia memejamkan mata dan tidur.

Lima belas menit kemudian suara gaduh dari lift terdengar. Beberapa orang berlarian di lorong. Menemukan si laki-laki muda yang terduduk menyandar di dinding.

“Adrian, Adrian!”

**

Sembari mendengar cerita gadis di hadapannya, Agam mengingat suatu kejadian di mana putra sulungnya memberi kabar jika Adrian di bawa ke Rumah Sakit setelah ditemukan pingsan di sebuah hotel. Menurut pemeriksaan, di dalam tubuhnya terdapat jenis baru obat perangsang. Obat yang baru-baru ini beredar di klub-klub malam. Efeknya kuat dan bertahan cukup lama. Benda itu menjadi tambang bisnis baru bagi mereka orang-orang bawah tanah karena harga jualnya tinggi. Pihak Rumah Sakit mendapatkan sedikit sebagai bahan penelitian.

Waktu itu Agam mengira jika putranya menjadi bahan percobaan, jadi dia mencari tahu dengan siapa Adrian bertemu; bernegosiasi, di mana serta untuk apa. Tak sampai satu hari semua informasi terkumpul dan tanpa basa-basi pada pemberitaan sore–di hari yang sama–muncul kabar jika salah satu hotel berbintang tiga nasional di daerah dekat pinggir kota hangus terbakar hingga rata dengan tanah. Orang-orang yang telah menjebak anaknya sudah ia masukkan ke bui–dengan jaminan darinya; orang-orang itu tidak diperbolehkan bebas dan mesti diawasi dua puluh empat jam.

Hotel yang telah rata dengan tanah tersebut ia ambil kemudian bangun sebuah pasar tradisional. Agam merasa puas karena berhasil membalas mereka yang ingin bermain-main dengan Bimantara–pun tujuan putranya membeli tanah hotel tersebut adalah untuk membangun sebuah departement store; pemilik tanah yang sebenarnya telah meninggal kemudian diambil alih oleh seorang rentenir–menjadikan tanah itu sebagai tanah sengketa.

Jadi ... dia tidak tahu bila Bia ada di sana. Menjadi pelampiasan putranya sebelum ditemukan pingsan. Pantas Adrian bersikeras mengatakan jika dia tidak merasa pernah berhubungan dengan orang lain–apalagi mereka tak terpikir untuk mengecek jejak digital atau kehidupan si bungsu. Putranya memang tidak pernah berhubungan dengan seorang perempuan sebelum Bia dan peristiwa bersama si gadis biasa ... tidak, tak murni kecelakaan. Mereka terjebak di keadaan tak terduga. Keduanya adalah korban. Tapi, di sini posisi si gadis yang paling menderita.

“Saya nggak tahu ..., saya hamil. Waktu itu saya juga kaget saat periksa ke klinik dan dengar hasilnya. Mereka minta saya ke Rumah Sakit buat hasil yang lebih pasti. Dengan sisa uang tabungan, saya pergi. Hasilnya sama. Saya hamil.” Si gadis menunduk. “Dokter nggak menyarankan untuk gugurin kandungan sekalipun saya mau karena bahaya. Selain itu ukuran janinnya nggak sesuai dengan usia seharusnya, jadi Dokter minta saya buat rutin check up. Meskipun waktu itu saya nggak tahu harus gimana, keadaan saya juga kekurangan, saya mutusin buat melahirkan Bian.”

“Karena itu akhirnya kamu letak Bian di depan rumah kami?”

Bia menggeleng. “Saya nggak punya niatan, Tuan. Saya sayang banget sama Bian. Saya cinta sama anak saya. Tapi, saya nggak sanggup rawat Bian sendirian. Waktu tahu ayah Bian ternyata orang berada, saya pikir Bian bisa hidup lebih layak. Kebutuhannya tercukupi. Tuan Adrian bisa kasih apa yang saya nggak bisa beri. Jadi, saya putuskan buat letak Bian di sini.”

Mengenang kembali kesulitan yang ia alami dulu seolah membuka luka yang hampir kering. Sedih. Dia berjuang sendirian. Berusaha supaya Bian tidak kelaparan–walau dia sendiri tak makan seharian. Semua dilakukan demi Bian, bayinya. Bia tidak mengeluh, dia senang melakukannya. Tapi, dia tidak yakin dengan masa depan Bian. Bayi kecilnya tidak akan memiliki masa depan kalau bersamanya. Oleh sebab itu, si gadis biasa berpikir agar memberikan Bian pada keluarga Bimantara.

Bia memandang sang Kepala keluarga, “Sa-saya nggak minta apa pun, Tuan. Nggak pertanggung jawaban atau yang lain. Saya cuma ... saya cuma mau lihat pertumbuhan Bian di sini. Saya masih belum sanggup pisah dengan bayi saya. Nggak apa-apa saya nggak dibayar, tapi saya mohon untuk biarkan saya tinggal di sini. Saya juga nggak akan ganggu siapa pun, termasuk Tuan Adrian.”

“Kamu nggak mau minta pertanggung jawaban dari Adrian?” Agam bertanya serius. Umumnya, seseorang yang mengalami hal seperti Bia pasti menuntut pertanggung jawaban dan hal lainnya. Si gadis biasa malah tidak mau menuntut hal tersebut.

Terlebih ... jika berurusan dengan mereka, bukan tidak mungkin, kan? Memang beberapa wanita yang ia ketahui menaruh hati pada putra-putranya lebih melihat fisik dan latar belakang–ini salah satu alasan Adnan belum ingin berumah tangga walau dia sudah menjalin hubungan beberapa kali dengan perempuan. Mencari yang tulus itu sangat sulit, pa. Begitu ucapan putra sulungnya.

Si gadis biasa menggeleng. “Saya nggak mau Tuan muda bertanggung jawab. Dia menjaga dan menyayangi Bia sebagai putranya aja udah cukup bagi saya. Kalau Tuan Adrian nemuin pendamping hidup, saya harap dia sayang sama Bian juga.” Ya, ini adalah keputusan Bia. Dia tidak akan meminta lebih. Bila nanti Adrian menemukan tambatan hati, dia akan memastikan sebentar keadaan sang bayi, melihat mereka akan merawat si bayi dengan baik lalu Ia akan pergi. Hanya sampai saat itu saja.

Agam terperangah. Seperti inikah yang dimaksud oleh Adnan? Seseorang yang benar-benar tidak memandang harta, jabatan atau kehormatan mereka di khalayak ramai? Bahkan Bia bersedia tidak dibayar asal dia diperbolehkan tinggal di kediaman Bimantara lebih lama untuk merawat Bian. Siapa yang tidak speechless? Agam tak mungkin tega memisahkan seorang ibu dan bayinya. Belum lagi setelah mendengar bagaimana hal itu terjadi dan perjuangan si gadis, sang Tuan Bimantara tak bisa cuma diam saja.

***

Ikatan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang