Lim Yerim x Shim Eunjeong (EUNRIM)
Apa-apaan game sialan ini?
Jangankan bermain game, kisah cinta ini saja bagaikan benang kusut.
Tidak bisa terurai karena saling terikat, dan tidak bisa dihentikan meski mungkin tak berbalas.
AU. Fanfic only. Chapter ini mengambil sudut pandang Yerim, dan terdapat lagu yang liriknya relate. Kalau kalian tipe yang tidak bisa baca dengan musik, silahkan paused ya! (tapi kayaknya ga ke play sih kalau di scroll)
Jangan lupa vote & komen!
"Per hari ini, Shim Eunjeong telah mengundurkan diri dari SMA Miryo ... termasuk merelakan beasiswa renangnya."
Ketika coach menyampaikan kalimat tersebut, aku diam tak bergeming.
Tidak mungkin.
Ini pasti kesalahan!
Kemarin kami masih berjalan bersama.
Shim Eunjeong masih mengantarku pulang dari agensi, berkata untuk lulus bersama ... dia bahkan memelukku dengan erat dan berjanji tidak akan bermain game sampai terlalu larut!
Namun, ketika aku mendapati tempat tinggalnya selama di Baekyeon telah dikosongkan sejak beberapa hari yang lalu, barulah aku menyadari ...
Eunjeong telah pergi meninggalkanku, tanpa berpamitan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PART 33 : YERIM's POV
Kediaman Lim
Aku setengah berlari, gusar. Para pelayan bergegas membukakan pintu utama di kediaman megah yang selama ini menjadi tempat tinggalku. Pancaran lampu dan bias cahaya yang menerangi langit-langit di sepanjang interior bangunan ini membuat suasana semakin terlihat mewah.
Semua orang pasti akan berkata, bahwa aku adalah seorang gadis yang beruntung; terlahir sebagai seorang putri dari salah satu pebisnis tersukses di Korea.
Tentu, aku tidak bisa mengelak akan hal itu.
Namun, dalam pemikiran dan perasaanku saat ini ... memiliki seseorang yang bisa membuatmu bahagia dan merasa hidup sepenuhnya, terasa jauh lebih berarti dari semua gemerlap kekayaan tanpa adanya kasih sayang juga perhatian.
Nama "Lim" yang membuat namaku diperhitungkan, nyatanya hanya satu kata yang tertulis di atas akte lahirku sebagai nama keluarga. Padahal, kehidupan kami jauh dari definisi hubungan sebuah "keluarga".
"Ayah!" Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, aku memanggil satu kata itu dengan penuh amarah.
