Prolog: "Di Tengah Gemerlap Kota"

137 9 4
                                    

Hari itu seperti hari-hari lainnya dalam tur panjang yang dijalani Seventeen. Mereka baru saja menyelesaikan pertunjukan besar di Seoul dan sedang bersiap-siap untuk konser berikutnya di sebuah kota kecil yang terletak di pinggiran negeri. Kota ini tidak terlalu dikenal, tetapi para Carat, penggemar setia mereka sudah menanti dengan penuh antusias.

Di luar jendela bus tur, gedung-gedung bertingkat kota itu mulai terlihat. Tidak setinggi Seoul, tetapi memiliki pesonanya sendiri dengan jalan-jalan yang bersih dan gedung pencakar langit yang bersinar oleh matahari sore. Suasana terasa damai. Terlalu damai, mungkin.

"Ini seperti kota yang terjebak di masa lalu," celetuk Jeonghan, sambil menatap keluar jendela. "Kota ini terlalu tenang untuk ukuran tempat yang katanya akan jadi tuan rumah konser besar."

Seungkwan yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju, "Aku juga merasa begitu. Tidak ada keramaian di jalan-jalan seperti biasanya. Kau tahu, biasanya kita akan disambut oleh penggemar begitu sampai di tempat baru."

Joshua, yang sedang menggulir ponselnya, ikut berbicara. "Mungkin mereka sedang di venue menunggu kita. Apa kita bisa sampai tepat waktu?"

Di balik percakapan santai itu, Seungcheol, sang leader, mengamati pemandangan sekitar dengan tatapan waspada. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak mereka mendekati kota ini. Dia tidak bisa menjelaskan dengan pasti apa itu, tetapi firasat buruk mulai tumbuh.

"Jangan terlalu dipikirkan, hyung," Hoshi menepuk bahu Seungcheol dengan senyumnya yang cerah. "Kita pasti akan menghibur mereka dengan penampilan terbaik. Lagipula, siapa yang bisa menolak pesonaku di atas panggung?"

Semua tertawa. Atmosfer santai itu berhasil mengendurkan sedikit ketegangan yang dirasakan. Mereka tahu bahwa tur ini melelahkan, tapi mereka juga selalu menemukan cara untuk bersenang-senang di tengah padatnya jadwal.

Bus berhenti tepat di depan hotel yang sudah disiapkan oleh staf manajemen. Mereka turun satu per satu, menikmati sejenak udara segar kota itu. Namun, keanehan yang mereka rasakan sejak awal semakin jelas saat melihat lobi hotel yang hampir kosong.

"Aneh," gumam Woozi pelan. "Bukankah biasanya hotel penuh dengan orang-orang? Bahkan staf resepsionis pun tidak ada."

Sementara mereka memasuki hotel, manajer mereka, Hyun, tampak gelisah, berusaha menelepon seseorang. Setelah beberapa percakapan yang tampak serius, ia mendekati Seungcheol.

"Ada masalah kecil," katanya dengan nada rendah, berusaha agar anggota lain tidak mendengarnya. "Sepertinya ada semacam lockdown di beberapa bagian kota. Aku tidak tahu pasti kenapa, tapi pihak keamanan kota sedang menangani situasi ini. Konser mungkin akan ditunda."

"Tunggu," Seungcheol mengernyit. "Lockdown? Karena apa?"

"Sulit untuk dikatakan. Aku belum mendapatkan detail pastinya. Mereka hanya menyuruh kita tetap di hotel untuk sementara."

Seungcheol mendesah, matanya melirik ke arah para anggota yang sedang bercanda di lobi. Dia tahu berita ini pasti akan membuat suasana kacau, tapi dia juga tidak ingin membuat mereka khawatir terlalu cepat.

"Baiklah," jawabnya singkat, mencoba tetap tenang. "Tapi pastikan kita mendapat informasi lengkap secepatnya."

Malam itu, suasana di hotel terasa janggal. Jalanan di luar yang biasanya ramai mulai sepi. Tidak ada kendaraan yang melintas. Tidak ada suara keramaian dari restoran atau kafe yang biasanya menggema di kota kecil seperti ini. Hanya ada keheningan. Dan bagi Seventeen, keheningan itu adalah tanda awal dari sesuatu yang salah.

_____

Survival GrooveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang