Id-card bertuliskan nama Jennie Kim itu baru saja dilepasnya dan ditaruh di atas desk. Pekerjaannya hari ini usai pada pukul tujuh malam, lebih lama dari waktu yang dijanjikannya pada Ella. Padahal, pagi tadi, ia sudah berjanji pada anak itu untuk membantunya mengerjakan PR sekolahnya malam ini.
Sejak Yonhee cuti melahirkan, Jennie terpilih menjadi team leader baru di divisinya, menggantikan posisi Yonhee—-yang hanya sementara awalnya. Namun, setelah masa cuti tiga bulan berakhir, Yonhee mengabari bahwa ia tidak lagi diizinkan bekerja dan akan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya setelah kelahiran anak keduanya itu.
"Suami gue nggak ngizinin gue kerja lagi, Jen. Lo nggak keberatan kan jadi team leader untuk seterusnya?" ujar Yonhee ketika datang ke kantor siang itu.
Tentu saja tidak masalah. Tanggung jawab yang dilimpahkan padanya tidak semata-mata karena Yonhee adalah teman dekatnya, tapi merupakan keputusan dari hasil diskusi HRD dan Pak Lim sebagai manajer divisi. Jadi, ia yakin dengan kemampuannya. Walaupun setelah itu, Ella lebih sering protes karena waktu kerja yang baru membuatnya sering terlambat pulang. Malam ini salah satunya.
Namun, setelah jabatan baru yang didapatkannya dari beberapa kegagalannya dulu, ada pemikiran aneh yang terlintas di dalam kepalanya. Tentang suami Yonhee yang menyuruh Yonhee berhenti bekerja. Masih adakah suami semacam itu di dunia ini? Yang peduli pada apa yang terbaik untuk istrinya?
Dering ponsel di atas desk mengalihkan perhatiannya, Jennie menarik kursinya mendekat, lalu mengangkat telepon masuk-—yang ia tahu siapa pelakunya. "Halo?"
"Mom?" Suara rengekan Ella terdengar. Benar, anak itu pasti memastikan keadaannya. Hanya Ella yang peduli apa yang dilakukan Jennie waktu demi waktu. "Katanya pulang jam lima sore, kok jam segini belum sampe rumah?"
"Iya, kerjaan Mommy hari ini banyak banget." Jennie memegang ponselnya dengan slut yang bartumpu ke meja, sementara tangan yang lain memijat pelan keningnya, "Maafin Mommy, ya?"
"PR sekolahku gimana?"
"Apa Bi Juli bisa bantu dulu, sambil nunggu Mommy sampai rumah" Sembari terus berbicara, Jennie membereskan segala barangnya untuk dimasukkan ke tas. "Mommy pulang kok, ini lagi siap siap."
"Oh. Okay! Hati-hati ya, Mom!" Suara ceria Ella kembali terdengar, memberi kekuatan yang tidak pernah Jennie mengerti kenapa selalu sampel padanya.
"Iya. Ngomong-ngomong, mau Mommy bawain apa? Makanan? Atau apa?" Jennie sudah menarik tali tasnya, hendak bangkit, tapi suara Ella di seberang sana menghentikan gerakannya.
"Nggak. Nanti aja kalau aku ulang tahun." Lalu gadis kecil itu terkikik "Mom nggak lupa kan hari ulangtahun aku?"
Jennie melirik kalender duduk di mejanya, meraihnya lebih dekat. Telunjuk kirinya menelusur tanggal-tanggal di sana. Ah, benar. Tanggal dua puluh lima April tinggal tiga hari lagi. "Oke. Jadi mau apa kadonya?" la tersenyum seraya kembali menyandarkan punggung lelahnya ke kursi, kalender itu masih digenggamnya di tangan kiri
"Nanti aku kasih tahu." ujar Ella antusias
"Sekarang Mom cepet pulang ya!"
"Siap, bos!"
"Ella sayang Mommy!"
"Mommy juga sayang Ella," balas Jennie sebelum mematikan sambungan telepon.
Suara Ella tidak terdengar lagi dan Jennie segera menyimpan ponsel ke dalam tas. Saat hendak bangkit, la melihat tahun yang tercetak di bagian atas kalender, 2020. Dan tertegun sesaat. Tangannya perlahan membuka lembaran demi lembar kalender yang berisi deretan tanggal itu, lalu terhenti di bulan September.