Tidak pernah terpikir sama sekali bagi Jisoo untuk membuat masalah dengan Mama, sejak dulu. Menciptakan jarak dengan wanita yang menghadirkannya kedunia, wanita pertama yang dicintainya di dunia. Namun, untuk kali ini, jika taruhannya adalah Jennie, ia berani melawan seluruh isi di dunia, termasuk Mama? Karena, baginya, mencintai Jennie bukan sebuah kesalahan, walaupun itu hal yang paling dibenci olehnya. Dan, Mama jelas tidak punya hak untuk membuat Jisoo menjauh dari Jennie, sejengkal pun.
Sekarang, Jisoo telah mengambil keputusan, yang ia tahu betul tidak akan memudahkan langkahnya ke depan. Bersama Mama, ia hanya melangkah, mengikuti jalan setapak yang diciptakan untuknya. Dan ketika ia mengambil keputusan lain, ia tahu akan memasuki banyak belukar, berjalan dengan tertatih. Namun, jika ia berharap semua akan baik-baik saja asal Jennie tetap berada dalam jangkauannya, tidak ada salahnya, kan?
Hanya itu satu-satunya keyakinan yang ia punya sekarang.
Mobilnya memasuki carport pada pukul lima sore, di mana mobil Jennie terparkir lebih dulu di sana. Wanita itu tidak kembali ke kantor setelah dari acara sekolah Ella tadi sepertinya.
Jisoo turun setelah membawa satu pint es krim yang berada di dalam sebuah paper bag, melangkah masuk setelah melewati Bi Yun yang tengah menyiram tanaman di halaman depan, sempat menyapanya, tentu dengan tatapan heran awalnya.
Jisoo yang pulang pada pukul lima sore adalah sebuah kelangkaan memang. Nyaris tidak pernah terjadi.
Langkahnya memasuki rumah, yang membuatnya langsung bisa mendengar suara tawa Ella di halaman belakang. Jisoo tidak bermaksud membuat kejutan untuk Jennie dan Ella yang tengah saling mengejar di sana. Namun, kehadirannya mampu membuat dua orang itu tertegun di tempatnya beberapa saat.
"Dada!" Akhirnya Ella beranjak dari tempatnya, menjauh dari Jennie dan berlari menghampiri Jisoo. "Dada udah pulang?" Wajah itu berseri-seri, cengiran bahagia itu menyambutnya, dan gusarnya sirna seketika.
Selain Jennie, Ella juga segalanya. Dan ia tahu, memilih Jennie, artinya membuat senyum di wajah kecil itu tetap ada.
Jisoo mengangguk, mendekatkan wajahnya untuk mencium pelipis gadis kecil yang kini berada dalam gendongannya. "Dada bawa es krim," ujarnya seraya menunjukkan paper bag yang dibawanya.
Mata Ella melotot, mulutnya menganga. "Wah!" Ekspresinya terlihat menggemaskan. Namun, sebelum Jisoo kembali menciumnya, gadis itu lebih dulu menghadiahinya dengan satu ciuman singkat di pipi setelah dua lengan kecilnya meraih tengkuk Jisoo. "Boleh aku makan sekarang?"
Jisoo mengangguk, lalu menurunkan Ella dari tangannya, membuat gadis kecil itu berlari seraya meraih es krim dari tangan Jisoo sembari berteriak, "Kak July, tolongin aku buka es krim, dong!"
Tatapan Jisoo mengikuti langkah gadis kecil itu, yang kini menghilang di balik dinding rumah.
Sekarang, di halaman belakang itu hanya ada dirinya dan Ella. Wanita itu tengah berdiri di dekat rumah kaca, tengah tersenyum padanya, dengan sweater rajut berwarna pastel dan rok cokelat sebetis, menyisipkan rambut ke belakang telinga karena angin tipis sore menerpanya.
"Hai," sapanya.
Jisoo tersenyum, balas menyapa, "Hai." Demi semua hal di dunia, Jisoo tidak menemukan apa pun yang berubah dari wanita itu, sejak pertama kali melihatnya, sejak ia menyadari bahwa ia jatuh cinta, sejak hidupnya berotasi padanya. Tidak ada yang berubah, selain..... semakin cantik, semakin mengagumkan, semakin membuatnya tergila-gila.
Jennie masih tampak bingung saat Jisoo berjalan menghampirinya. "Pulang cepat?" tanyanya.
Jisoo mengangguk. "Ya." Setelah sampai di hadapan Jennie, Jisoo meraih tangannya, menatapnya dalam genggaman. Jika dulu, ia memutuskan tidak melakukan apa-apa untuk tidak menyakiti Jennie, maka mulai saat ini, ia memutuskan akan melakukan apa pun untuk membuatnya bahagia. Itu janjinya.