Pesan terakhir yang Jisoo kirimkan sebelum ia mematikan ponselnya karena sejak tadi mamanya terus menghubunginya tanpa henti adalah,
Jangan ganggu Jennie, Ma. Jangan sakiti Jennie seandainya Mama nggak mau Jisoo pergi.
Jisoo menyesap teh yang sudah mulai dingin, yang tadi disajikan Ibu di meja rotan halaman belakang untuknya yang tengah menemani Ayah bermain catur. Permainan caturnya baru saja usai, yang berkali-kali dimenangkan oleh Ayah.
Memang, sejak dulu Jisoo jarang sekali berhasil mengalahkan Ayah, dan walaupun tahu hal itu akan terjadi, ia tetap bersedia menemani pria setengah baya itu untuk bermain catur selama berjam-jam, di halaman belakang, duduk di kursi rotan, menikmati waktu sore sampai berubah larut.
Angin sore yang mulai dingin menyapa mereka, menimbulkan bunyi gemeresak ranting dan daun dari pohon jambu air di halaman belakang. Tidak boleh ada asap rokok di antara keduanya saat melakukan rutinitas itu, Ayah sudah dilarang merokok sejak kondisi kesehatannya menurun dan Jisoo tidak pernah melakukannya selain dalam keadaan benar-benar tertekan.
Hari ini, Jisoo datang sendirian ke Bogor, ke kediaman mertuanya untuk menjenguk keadaan mereka. Beberapa kali ia mengatakan, "Jennie lagi sibuk banget di kantornya." Ketika Ayah dan Ibu bertanya keberadaan anak perempuannya itu, yang seharian ini tidak bisa Jisoo hubungi.
Langit sore berubah gelap, dan Ibu sudah menyalakan lampu teras belakang, lalu aroma bumbu dan minyak panas dari arah dapur tercium kemudian. Ibu melarang Jisoo untuk pulang sebelum makan malam. Dan Jisoo tidak pernah menolak itu.
"Dokter bilang, Ayah tidak boleh lagi kelelahan. Ayah tidak boleh bepergian jauh," ujar Ayah, membuat Jisoo menoleh. "Padahal, Ayah rasa, Ayah tidak selemah itu."
"Ayah masih terlihat kuat kok." Jisoo mengangguk. "Tapi dokter pasti tahu yang terbaik untuk Ayah."
Ayah ikut mengangguk-angguk, berdeham kencang dan membuang napas berat, lalu membenahi letak syal merah marun yang melingkari lehernya, yang dikenakan sejak tadi. "Ayah juga disuruh pakai ini kalau mau diam di luar." Pria itu memegang syalnya. "Jennie yang belikan."
"Aku tahu ketika Jennie beli syal itu." Jisoo tidak mengantar Jennie untuk membelinya tentu saja, tapi ia melihat paper bag berisi syal itu di atas meja makan sepulang kerja beberapa minggu yang lalu.
"Sebagai seorang ayah, kita pasti akan selalu merasa ... anak perempuan kita adalah anak perempuan terbaik di seluruh dunia." Ayah tersenyum, menatap Jisoo.
Jisoo balas tersenyum. "Tentu." Ia memiliki Ella yang selalu menjadi kebanggaannya. Walaupun sampai saat ini, ia belum bisa membuat Ella beruntung menjadi seorang anak dari ayah bernama Kim Jisoo.
"Tapi, Ayah tidak akan pernah menutup mata. Seandainya ada kesalahan yang Jennie lakukan, Ayah tidak akan membenarkan hal itu tentu saja." Ayah menatap kosong ke arah langit, ada hal yang tengah mengalir deras di dalam kepalanya. "Jadi kamu tidak usah khawatir, Ayah tentu saja tidak akan membelanya, seandainya dia mengecewakan kamu."
"Jennie nggak pernah melakukan kesalahan apa pun."
"Ya ...." Ayah mengangguk. "Seandainya," gumamnya dengan suara berat, lalu berdeham sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Seandainya suatu saat dia melakukan kesalahan, Ayah tidak akan menyalahkan kamu, seandainya kamu... harus melepaskannya." Saat mengatakannya, mata Ayah berkaca-kaca. Jisoo mengerti saat ini, apa yang tengah Ayah pikirkan sejak tadi.
"Tapi, satu permintaan Ayah. Seandainya suatu saat nanti Ayah pergi, dan melepaskan Jennie menjadi satu-satunya pilihan kamu, tolong... tetap lihat dia dari kejauhan."