9

578 114 16
                                    

Dalam kondisi tubuh yang mengenaskan, Jennie tetap memaksakan diri menjemput Ella ke sekolah. Ia pikir, saat semua isi perutnya sudah keluar, masalahnya selesai. Namun, tidak. Keadaannya malah bertambah parah.

Perutnya sekarang terasa penuh, udara seperti tengah menguasai di dalam sana dan terus berputar-putar, ia terus merasa mual dan memuntahkan cairan-cairan terakhir di dalam perutnya sampai rasanya benar-benar hanya tinggal udara kosong. Nafsu makannya hilang, bahkan saat mencoba menyuapkan satu sendok nasi ke mulut, rasanya perutnya tidak menerima dan ia ingin mengeluarkannya lagi.

"Gastritis," ujar Ryujin setelah membereskan semua alat-alat kedokterannya ke dalam tas. "Makan nggak teratur, stress," lanjutnya. "Benar?"

Jennie tidak bisa berbohong, terakhir kali perutnya menerima makanan berat adalah siang kemarin, karena selanjutnya hanya kopi dan makanan instan yang menjadi pilihannya sampai malam hari, pekerjaan hari kemarin tidak mengizinkannya punya waktu banyak untuk sekadar memikirkan makanan apa yang sehat dan baik untuk tubuhnya.

Ryujin berdecak. Dokter muda yang tidak lain adalah sepupu Jisoo itu datang satu jam kemudian setelah Jennie menghubunginya. "Setelah ini, minum obatnya dengan teratur, makan makanan yang lembut dulu. Ingat ya, Jen. Jangan makan makanan instan." Pelototannya seperti tengah menghakimi anak kecil. "Nanti lambungnya semakin luka."

Jennie yang kini duduk lemas di sofa hanya mengangguk.

"Hubungi aku kalau ada keluhan lanjutan ya, kapan pun itu."

"Makasih ya, Jin," ujar Jennie. Ia tersenyum saat Ella merangsek di sisinya, memeluk lengannya dan bersandar di sana.

"Sama-sama." Ryujin menyingkirkan tas kerjanya ke samping, lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan Jennie. "Waktu dengar keluhan kamu di telepon tadi, aku padahal udah antusias banget mau merekomendasikan kamu untuk datang ke dokter kandungan." ia tertawa kecil. "Aku pikir, aku mau dapat keponakan baru."

Jennie ikut tertawa mendengar lelucon itu. Namun, bagaimana bisa? Ia bahkan lupa rasanya dipeluk di atas tempat tidur yang sama oleh Jisoo.

"Ella udah pantas punya adik, lho. Udah gede."  Ryujin menatap Ella. "Iya kan, Sayang?"

Ella mengangguk, terlihat antusias. "Gimana, Mom? Apa Mommy nggak mau kasih Ella adik?"

Seandainya adik itu bisa dibeli tanpa harus melalui adegan saling sentuh dan berhubungan badan dengan suaminya yang bahkan sudah tidak berminat melihat tubuhnya jauh sebelum ia memikirkan masalah anak kedua.

Ryujin hanya tertawa. Lalu pria itu bangkit dari tempat duduknya. "Aku pulang dulu kalau gitu. Ingat ya, Jen. Jangan stress, makan yang teratur, dan banyak minum air putih," pesannya sebelum benar-benar pergi.

Kini, di ruangan itu kembali hanya ada Jennie dan Ella. Mereka duduk di ruang tengah, menghadap sebuah layar televisi yang menyala, yang sejak tadi menayangkan acara yang entah tentang apa.

Ella hanya duduk seraya memeluk lengan Jennie, berkali-kali memastikan keadaan Jennie, mengambilkan minum, lalu berkata, "Aku nggak mau lihat Mommy sakit lagi."

Jennie menoleh, mencium puncak kepala gadis kecil itu. "Mommy udah sembuh kok, Mommy baik-baik aja."

"Aku nggak apa-apa kok, lihat Mommy kerja, sibuk di kantor, daripada aku lihat Mommy kecapekan di rumah, terus sakit." Ella mencium pipi Jennie, matanya berkaca-kaca. "Walaupun.... aku seneeeng banget, bisa seharian sama Mommy di rumah."




*******




Jisoo baru saja kembali ke ruang kerjanya setelah berada di dalam ruang meeting selama berjam-jam. la melepaskan napas kasar saat duduk di kursinya yang kini sedikit berputar karena gerakan tubuhnya. Sesaat, tatapan lelahnya tertuju pada setumpuk berkas yang berada di mejanya. Ia memegang keningnya yang terasa berat, mencoba meraih satu lembar berkas teratas.

Bertahan (JENSOO) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang