Jennie masih berdiri di tempatnya, dengan lembaran uang yang menghambur di sekelilingnya. Ia tahu, semua pasang mata kini tertuju padanya, semua gerakan orang-orang yang berada di sekitar lobi terhenti, hanya untuk menyempatkan diri memperhatikan apa yang terjadi, melihat betapa menyedihkannya ia sekarang.
Ini tidak semata-mata hanya masalah uang, Mama jelas ingin membuatnya kalah telak. Mama hanya ingin membuktikan bahwa ia bisa melakukan apa pun untuk membuat Jennie pergi dari Jisoo, membuat Jennie berhenti bertahan.
Suara teriakan Mama untuk kedua kali, hampir saja membuat tubuh Jennie luruh ke lantai. Namun, sisa tenaganya, ia gunakan untuk melangkah pelan. Melewati beberapa kerumunan orang yang tengah mengamatinya, meninggalkan suara Mama di belakangnya, yang kembali meneriakan namanya, dan meminta hal yang sama.
Tinggalkan Jisoo. Tinggalkan Jisoo, katanya. Terdengar semudah itu permintaannya.
Jennie melangkah dengan tubuh gemetar. Menjadi perhatian semua orang atas kejadian memalukan adalah bukan hal mudah. Demi Tuhan, kenapa mencintai Jisoo harus seberat ini?
Ia menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas kursi, bersembunyi di balik kubikel dengan tangan yang masih gemetar, tubuh yang hampir menggigil, dan napas yang terengah tidak keruan. Jennie menahan tangisnya sepanjang perjalanan menuju ke ruangannya. Dan ... berhasil, ia berhasil mengendalikan diri di antara tatapan-tatapan iba yang menghujaninya.
Namun, saat baru saja duduk, seperti ada yang membongkar perlahan pertahanannya. Tatapannya menangkap sebuah bingkai foto di atas desk. Foto terakhir yang ia ambil bersama Jisoo dan Ella, foto kebersamaan yang mereka ambil usai menonton pentas seni di sekolah Ella.
Saat itu, ia tersenyum ke arah kamera, benar-benar bahagia. Saat itu, ia tidak tahu hal besar apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Ia hanya ingin bersama, dengan Jisoo, dengan Ella. Sesederhana itu keinginannya, ia tidak pernah meminta lebih.
Jennie mengatur napas, meraih bingkai foto hanya untuk menelungkupkannya di atas desk. Potret di dalamnya.... terlalu sempurna. Sampai akhirnya ia tahu sekarang, bagaimana sulitnya mewujudkan kesempurnaan itu.
Jennie masih menunduk saat Mino, Joy, dan Irene berjalan mendekat. Ketiga rekannya itu baru saja kembali dari jam makan siang, melewatinya begitu saja. Sisa percakapan mereka masih terdengar saat kembali duduk di kubikel masing-masing, dan Jennie berusaha tidak menunjukkan emosi apa pun.
Tangannya segera meraih berkas di atas desk, berusaha membaca hasil meeting tadi pagi dengan Lim dan team leader lain. Namun, sesaat ia sadar, lembar kertas di tangannya bergetar kecil dalam genggaman. Jennie masih belum bisa mengendalikan dirinya dengan baik atas kejadian yang baru saja dialaminya.
"Jen?" Suara Mino membuat Jennie menoleh. Ia melihat pria itu berdiri di sampingnya, membawa cangkir putih beserta tatakan yang mungkin baru saja diambilnya dari pantry. "Buat lo," ujarnya seraya meletakkan benda berisi teh itu di depan Jennie.
Jennie menatap teh yang masih mengepulkan uap hangat di depannya, lalu kedua tangannya menangkup sisi-sisi cangkir. Ia tidak tahu apa alasan Mino memberinya secangkir teh, tapi juga tidak berniat untuk bertanya.
"Semua orang membicarakan lo di lobi," ujar Mino.
Jennie langsung menatapnya, memberi senyum yang ... getir sebelum kembali menunduk untuk menatap cangkir di depannya. Itu pasti. Dan ia tahu.
"Gue ..., maksudnya kami, nggak mau ikut-ikutan membahas ini, membicarakan lo, seperti yang lain," lanjut Mino. "Tapi, rasanya terlalu kejam untuk pura-pura nggak tahu... dan membiarkan lo menikmati rasa sakit lo sendirian."