"Tidur dengan aku ... malam ini."
Jennie masih membeku setelah beberapa saat mendengar permintaan itu. Dingin menyergap tulang punggungnya. Lama ia tidak bergerak, begitu pun saat tangan Jisoo mulai naik dari pahanya, menyentuh simpul tali di pinggangnya.
Jennie tahu keadaan itu sudah naik ke tingkat yang lebih berbahaya saat wajah Jisoo semakin dekat di samping wajahnya, napas hangat menerpa, dan membuatnya sadar, bahwa ia harus bergerak. Namun, ketika hendak menggeser tubuhnya, dua tangan kokoh yang sekarang berada di pinggangnya itu menahannya.
"Keberatan?" tanya Jisoo lagi, dengan suara yang tidak kalah berat, tidak kalah pelan, dan tidak kalah lembut dari sebelumnya, tapi entah mengapa mampu mengintimidasi Jennie sehingga kesulitan bicara.
Jennie masih diam di tempatnya saat hidung Jisoo menyentuh pundaknya, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di sana. "Mas ...." Suara yang bertujuan untuk melarang itu bahkan terdengar bergetar.
"Kenapa?" Beruntung Jisoo mengangkat wajahnya, sehingga Jennie mampu kembali menghela napas, karena sejak tadi tanpa sadar ia menahannya.
Tangan kanan Jennie menarik dua tepi katup kimono, mengeratkannya, melindungi apa yang dimilikinya dari dua tangan yang tadi berada di pinggangnya, yang kini sudah turun. Ia berbalik, sedikit mendongak saat menatap Jisoo yang begitu menjulang di hadapannya dengan jarak yang dekat. Dua tangan pria itu tidak lagi mengurungnya, tapi tatapannya mampu memberi tahu Jennie bahwa tidak ada celah baginya untuk melarikan diri.
Jennie mengembuskan napas pendek sembari berkata, "Aku nggak ngerti sama kamu."
Jisoo mengangkat satu alis. "Permintaan aku kurang jelas?"
"Nggak, bukan gitu. Kita udah memutuskan untuk——" Ucapan Jennie terhenti, napasnya juga ikut tertahan saat Jisoo tiba-tiba membungkuk, mendekatkan wajahnya ke arah Jennie. Jarak wajah pria itu, kini tidak lebih dari tiga jari di depan wajahnya.
"Kenapa?" Jisoo menyeringai kecil ketika menatap Jennie. Mata tajam yang saat ini terlihat lelah dan sayu itu bergerak naik turun; menatap keningnya, matanya, hidungnya, bibirnya. Dan ketika melihat Jennie memalingkan tatapannya, sebagai bentuk penolakan kecil, Jisoo bertanya,
"Aku masih suami kamu, bukan?" bisiknya, membuat wangi mint itu menguar lagu dari napasnya. "Iya ... atau nggak?"
Jennie memberikan gestur penolakan sejak tadi tentu saja, tapi sepertinya Jisoo ingin jawaban verbal daripada sekadar itu. Mudah saja berkata 'tidak' bagi Jennie, karena memang sejak tadi jawaban itu yang berputar-putar menguasai isi kepalanya. Logikanya menolak Jisoo.
Namun, ada sesuatu yang menahannya untuk berkata demikian. Sisi lain di dalam dirinya yang sejak tadi mungkin saja sudah jatuh ke dalam pelukan pria itu, yang sejak dulu selalu tidak segan menyerahkan diri. Hatinya. Ya, hatinya berkata 'iya'.
Ia tidak tahu, mana yang akan menang. Logika atau hatinya?
Saat Jennie masih menunduk, menatap lantai, dan tidak kunjung memberikan jawaban, wajah Jisoo kembali mendekat. Pria itu membungkuk dengan lebih rendah, bibirnya mendaratkan satu kecupan ringan di sudut kiri bibir Jennie, membuatnya memejamkan mata untuk menahan sesuatu yang bertalu di dalam dadanya, gelenyar aneh yang berputar-putar di dalam perutnya, juga gemetar di sekujur tubuhnya. Untuk tetap bisa berdiri dengan benar, ia harus mencengkram sisi meja dapur erat-erat di belakangnya.
"Iya ... atau nggak?" ulang Jisoo setelah menjauhkan wajahnya.
Jennie menarik napas, membuka matanya setelah merasa seluruh kemampuan verbalnya kembali. "Nggak," ujarnya, lirih. Tatapannya masih tertuju ke bawah, menatap ujung kakinya yang masih gemetar.