Jennie menopang keningnya dengan satu tangan. Ia tengah berada di sebuah ruang meeting kecil, baru saja melihat Sehun, bagian dari divisi QC, menjelaskan kesalahan yang dilakukan Kai di hadapan Yoona selaku supervisor.
Sebenarnya, ia masih ingin diam, mengistirahatkan kelopak matanya yang masih membengkak akibat tangisnya di hari-hari kemarin, di rumah, di kamarnya, sendirian. Namun, pekerjaan tidak membiarkannya melakukan hal itu.
"Makasih ya, Jen," ujar Kai setelah Sehun dan Yoona keluar ruangan, kini di ruangan itu hanya ada Jennie dan Kai. "Makasih karena nggak memojokkan saya di depan Yoona tadi," lanjutnya.
Jennie mengangguk. "Kamu kan bagian dari tim saya, memang seharusnya seperti itu, kan? Tapi, ke depannya, saya harap kamu bisa lebih hati-hati lagi."
Kai mengangguk. "Iya, saya usahakan."
"Harus." Jennie menghela napas lega setelah mendengar keputusan Yoona yang masih memberi kesempatan pada Kai untuk masih bekerja di timnya. Karena, jika Kai sampai harus mengalami penukaran posisi dengan karyawan lain, Lim pasti akan sangat kecewa pada kinerjanya. Baru beberapa pekan menggantikan Yonhee, tapi Jennie sudah melakukan kesalahan sefatal itu.
"Makasih juga, karena nggak memojokkan saya di grup chat kantor."
Jennie mendongak, baru saja membereskan berkas-berkasnya ke dalam satu tumpukkan dan hendak bangkit. "Memang nggak seharusnya masalah kayak gini dibahas di grup."
"Lain kali, saya traktir vanilla latte ya, Jen?" ujar Kai, tersenyum, lalu bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan lebih dulu.
Jennie tidak sempat menanggapinya dengan pernyataan apa pun, karena pria itu lebih dulu pergi, bahkan sebelum ia mengernyitkan dahi, heran. Mereka pernah bertemu di coffee shop dekat lobi sebelum masuk kantor, beberapa kali, tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kai memperhatikan pesanannya—yang memang selalu sama setiap kalinya.
Jennie tipe wanita yang akan menetapkan satu pilihan dalam hidupnya jika ia menyukainya. Menyukai satu hal itu menyenangkan, dulu ia pikir begitu. Seperti halnya menyukai satu pria di dunia ini seumur hidupnya, Jisoo dan segala keabu-abuannya.
Jennie sudah kembali ke balik kubikelnya, sesaat setelah duduk, Mino mengetuk-ngetuk desk.
"Jen, tadi HP lo geter-geter terus. Kayaknya ada telepon dan itu penting banget, tapi gue nggak berani angkat," ujar pria itu.
"Oh, ya?" Jennie mendorong kursi, mendekat ke arah desk, lalu melihat beberapa panggilan tak terjawab dari nomor telepon rumah. Sembari kembali menghubungi nomor rumahnya, Jennie berpikir, jika ini masalah Ella, pasti yang akan menghubunginya adalah nomor ponsel Ella yang biasa dipegang Juli.
"Halo?" Suara Bi Yun terdengar terburu-buru saat menyapanya.
"Bi, nggak apa-apa, kan? Tadi ponsel saya—"
"Bu?" potong Bi Yun.
"Iya, iya. Kenapa, Bi?"
"Ibunya Juli di kampung baru saja dikabarkan meninggal dunia, tadi adiknya Juli menelepon, Bu." Suara Bi Yun terdengar panik. "Saya belum telepon Juli, karena masih di sekolah nemenin Ella."
Jennie mendorong mundur kursinya, bersandar sepenuhnya. "Terus... gimana, Bi?" Belum apa-apa, ia sudah merasa putus asa.
"Saya... saya dan suami, juga Juli, boleh izin pulang ke kampung dulu, Bu?"
Jennie tidak mungkin tidak mengizinkan hal itu, kan? Ia baru saja mengalami rasanya kehilangan orangtua, segelap apa hidupnya. Namun, ia belum punya ide untuk mengambil alih semua tugas rumah, juga Ella. "Boleh, Bi," putusnya, lalu matanya terpejam karena mulai berpikir untuk mencari jalan keluar.