"Mau makan siang, Jen?"
Pria itu... hadir di depannya.
Jennie tertegun, membuat Irene yang berjalan tepat di belakangnya, menabrak punggungnya pelan.
Hyunjin, pria itu tersenyum, mengangguk sopan pada semua teman Jennie. "Saya teman kuliahnya Jennie, salam kenal ya," ujarnya.
Keempat teman Jennie saling lirik, Joy bahkan menghadiahi Jennie dengan sikutan kecil di lengan. "Yuk, Jen," ajaknya, seolah-olah melarang Jennie untuk berlama-lama bersama Hyunjin.
"Waktu itu kan aku janjinya mau traktir kopi. Tapi karena ini udah siang, aku ganti jadi traktir makan siang aja gimana?" ajak Hyunjin.
Jennie melirik Joy, juga Irene yang berada di belakangnya. "Kalian duluan aja."
"Lho, Jen?" Mino kelihatan tidak terima dengan keputusan Jennie.
Namun, dari belakang Rose segera mendorongnya. "Udah. Nanti Jennie nyusul. Iya kan, Jen?"
Jennie mengangguk pelan, hanya untuk menenangkan wajah sewot Mino. Setelah itu, keempat temannya pergi, walaupun sesekali mereka tampak melirik ke belakang, memastikan Jennie tidak salah mengambil keputusan. Wajah mereka seolah-olah berharap Jennie berubah pikiran dan mengikuti langkahnya.
Mungkin, mereka berpikir bahwa itu merupakan sebuah pengkhianatan kecil pada seorang Jisoo. Dan, jika itu memang benar, izinkan Jennie melakukannya untuk satu kali ini. Ia ... hanya ingin memastikan tentang parfum, tentang kopinya tadi pagi. Berbohong pada Jisoo juga membuatnya merasa bersalah.
"Jadi, gimana?" tanya Hyunjin lagi sembari memberikan cengiran khasnya, matanya selalu terlihat cerah setiap kali memberikan ekspresi itu. "Mau makan siang di mana kita?"
Siang itu, restoran Jepang menjadi pilihan makan siangnya. Tempat itu tidak begitu jauh dari kantor, sehingga tidak perlu membuat Jennie menumpang mobil Hyunjin dan berputar-putar dengan alasan untuk mencari makan siang.
Di sana Jennie memilih makan siang dengan katsu, yang katsunya ia habiskan lebih dulu karena sibuk memperhatikan Hyunjin yang melahap ramen sembari terus berbicara.
Seperti Hyunjin yang dulu, yang tidak pernah terlihat canggung dan selalu menganggap sikap yang dilakukannya adalah hal biasa. Dulu, saat kuliah, hampir setiap pekan pria itu menyelipkan hadiah di tas Jennie, atau bahkan menitipkannya pada teman dekatnya. Namun, jika bertemu di kantin, pria itu tetap bisa santai makan di depan Jennie sambil terus bercerita—tentang apa pun.
Setelah menjadi pengagumnya selama bertahun-tahun, Jennie sama sekali tidak pernah melihat sikap canggung yang ditunjukkan pria itu.
Seperti saat ini.
Jennie menyumpitkan nasinya, menyuapkan ke mulut, tapi matanya masih tertuju pada Hyunjin. Pria itu kini tengah tertawa, menceritakan pengalaman pertamanya workshop di Hong Kong dan salah naik kendaraan umum.
"Malu-maluin banget kan, Jen?" tanyanya sembari menyuapkan setengah potong telur ke mulut, mengunyahnya. "Oh, ya. Gimana kabar Jisoo? Aku pernah ketemu dia tuh waktu workshop di Singapore, terus dia traktir kopi, dan aku lupa nanya kontaknya."
"Baik," jawab Jennie, sementara Hyunjin hanya mengangguk-angguk.
"Sori ya, waktu nikahan kalian aku nggak datang. Yah, namanya kerja begini, nggak bisa ambil cuti seenaknya, waktu itu aku lagi di luar kota," ujarnya seraya menyeruput kuah dengan sendok. "Oh, ya. Kalian udah punya anak, dong?"
"Udah. Perempuan. Usianya enam tahun sekarang." Jennie mengambil jus jeruknya, bersandar pada sandaran kursi dan melipat lengan di dada. Ia mengabaikan makanannya yang masih tersisa banyak, masih memperhatikan Hyunjin yang sejak tadi masih menekuri ramennya.