Hadiah pernikahan

65 2 0
                                    

"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" 

Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya.

"Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. 

"Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. 

"Alat kontra-"

Shit. 

Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. 

"Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu, sama parfum juga biar ... Ah tau sendirilah" 

Mataku menyala, darahku berdesir. Seberengsek apa pergaulanku hingga si Ujang berpikiran rendah kaya begini? Aku menikahinya bukan hanya untuk menikmati tubuhnya, sungguh tidak sekalipun terbersit dalam benakku pemikiran seperti itu. 

Ini memang pernikahan terpaksa, tapi bukan untuk menikmati tubuhnya melainkan sebagai bentuk tanggung jawabku atas nadzar waktu itu. 

"Apa, mau pukul gue lagi lu?" tanyanya saat kedua tanganku kini sudah mencekal kerah bajunya dengan erat. 

Aku menggeleng, melepaskan tanganku dengan kasar. "Jangan bilang seperti itu kamu teh Jang, gitu-gitu juga dia sudah jadi istri saya."

"Cieeee istri," 

Aku mendengus kesal saat Ujang malah semakin gencar menggodaku. Kalau bukan di tempat kerja, sudah dipastikan wajah si Ujang babak belur tapi apalah daya demi reputasi disekolah ini, aku terpaksa menahan emosiku. 

"Saya sumpahin lu dapat istri jorok sejorok-joroknya" aku mengumpat kesal mengeluarkan sumpah serapahku sebelum berlalu pergi menuju kelas sepuluh untuk mengajar.

"Hahaha," Bukannya takut, si Ujang ini malah menertawakannya. Aneh bener!

"Sakarepmu lah, Jang" gumamku dalam hati sembari berjalan menyusuri koridor sekolah. 

Tujuh jam berada di sekolah rasanya seperti satu menit, tidak berasa ketika aku enggan untuk pulang ke rumah. Semangat yang tadinya membara kini sirna seketika, membayangkan wajah Jingga yang akan menyambutku diambang pintu rasanya berat sekali. 

Ya tuhan, tolong. Aku masih belum bisa menerima takdir ini, berat sekali rasanya. 

"Melamun bae Mad, pulang yuk. Istrimu udah nungguin tuh, itu sekalian kadonya jangan lupa dibawa biar langsung di praktekin" 

Aku terperanjat kaget saat si ujang tiba-tiba muncul dengan menepuk pelan pundak tegas ini. Wajahnya masih tidak berubah, tersenyum mengejek ke arahku. 

"Duluan aja, gue kayaknya mau tidur disini" putusku lesu. 

"Heh! Mau tidur sama setan sekolahan lu? Ayo ah pulang, semua masalah pasti ada solusi. Lagi pula kalau nadzar itu di pikir dulu, jangan asal maen ceplas-ceplos. Rugi kan," 

Aku mendesah pelan mendengar ucapan si Ujang. Rasanya ingin sekali tangan ini merobek mulutnya, tapi yasudahlah memang ada benarnya juga perkataan si Ujang. 

"Panas juga nih kuping lama-lama, ayo pulang!" putusku beranjak, diikuti Ujang yang berusaha berjalan menyamai langkahku keluar dari koridor sekolahan. 

Kami berdua akhirnya keluar dari sekolah, dan Ujang terus-menerus menggoda tentang "juragan Jingga" yang dia kira sebagai raja sensual di ranjang. Dia terus-menerus melemparkan komentar konyol sambil mengikutiku ke parkiran. Rasanya seperti diapit oleh badut sirkus yang terus membuat lelucon.

"Aduh, Mad, jangan kaku-kaku amat. Coba deh pikirin, si Juragan Jingga kayaknya bakal keren banget di malam pertama nanti," Ujang terus menggoda sambil melompat-lompat mengikuti langkahku.

"Keren apanya Mad, yang ada nanti tubuhku jadi tertular aroma tubuhnya," keluhku yang entah kenapa malah membalas leluconan si Ujang. 

Ujang menepuk bahu tegas ini beberapa kali, menyalurkan semangat dengan ekspresi wajah yang ... Ah menyebalkan sekali. 

"Makannya gue kasih alternatif parfum itu buat lo, buat jaga-jaga. Kalau masih penyakitnya belum sembuh, lu minta ramuan sama emak lu. Biasanya orang tua jaman dulu tuh segala penyakit ada obatnya pake ramuan gitu. Kan siapa tau, atau perlu kita ke dukun? Gue antar"

Aku menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa yang nyaris meledak. "Gak usah, Jang. Gue lebih pilih pulang dan bener-bener hadapi semua ini. Lagipula, apa yang gue butuh sekarang adalah dukungan, bukan candaan."

Ujang berhenti sejenak, wajahnya menunjukkan sedikit empati meskipun dia masih tampak sulit menahan senyum. "Oke deh, Mad. Tapi kalau lu butuh bantuan, jangan ragu-ragu. Gue siap antar lu ke dukun paling hebat"

Aku mengangguk, merasa sedikit lega meski suasana hati masih belum sepenuhnya pulih "lain kali aja, kalau terdesak banget boleh gue coba" kekehku.

"Oke lah, kalau begitu gue tunggu. Anggap saja itu juga sebagai hadiah pernikahan dari gue selain kado itu hahaha" ujarnya di akhiri tawa.

Apa katanya? Hadiah pernikahan? Yang benar saja Jang, masa hadiahnya cuma yang begitu doang. Orang mah kasih hadiah yang mahal kek sama sahabat, ini malah ... Ah sudahlah tidak pantas untuk di ceritakan. 

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang