penjajahan!

435 27 2
                                    

Udara sepertiga malam semakin terasa begitu dingin, menusuk ke tulang belulang ketika aku baru saja membuka mata, dan sudah tak ku dapati Jingga di sampingku.

Setengah menguap, aku berusaha untuk beranjak dari pembaringan. Duduk terlebih dulu di sisi ranjang sekitar lima menit, sebelum akhirnya aku mencari keberadaan istriku itu.

Mataku tertuju pada sajadah yang tergelar dan mukena yang sudah terlipat rapih seperti habis di gunakannya. Bibirku mengulum senyum, gadis itu seperti emak yang tak pernah melewatkan shalat tahajud bahkan sehari saja. MasyaAllah, istiqomah sekali tidak sepertiku yang bahkan untuk menjalankan shalat wajib saja aku tak pernah.

"Jingga!" Setengah berteriak aku memanggilnya, mencari ke setiap sudut ruangan. Namun nihil, tidak ku temukan sosoknya.

"Kemana dia?" gumamku dengan berjalan keluar rumah, menuruni tangga untuk mencarinya di bawah. Siapa tau dia sedang berada di kamar mandi.

Nihil, masih tidak ku temukan sosoknya. Ah padahal ini masih jam tiga pagi, kemana perginya dia?

Dengan merapatkan jaket, aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju bangunan kandang sapi yang luas itu, bau tanah basah sisa hujan semalam menguar menusuk indra penciumanku. Angin yang berhembus tajam menyentuh kulit ini. Begitu dingin.

"Ngapain kamu malah ngelihatin si Yudi kaya gitu? Cepat bantuin dia, biar cepat selesai ini kerjaannya, lagian tiap hari juga kamu kan yang bantu perah susu di kandang ini. Kenapa malah bengong!"

Samar aku mendengar suara omelan dari pria paruh baya ketika  kaki ini baru saja hendak melangkah memasuki bangunan kandang sapi ini.

"Tapi mang, sekali ini saja ya Jingga izin buat gak bantuin dia. Tubuh jingga agak gak enak badan mang, lagian si Yudi juga ada yang bantuin kan si ucup sama di mehmed"

Aku berjalan pelan dengan sembunyi-sembunyi mendekat kearah suara, sengaja untuk menguping perdebatan kecil paman dan keponakannya itu.

"Halah, alasan. Kalau kamu gak mau lakuin pekerjaan kamu. Jangan harap kamu kebagian jatah bulan ini, si mail juga gak bakalan paman kasih uang jajan dan uang sekolahnya" ancamnya.

"Jangan gitu dong mang, lagian semua ini milik jingga dan mail. Kami yang berhak atas penghasilan ini," terdengar lirih jingga mengucapkan hal itu, ku lihat air mukanya berubah muram.

"Halah, sebentar lagi ini semua milik mamang. Perjanjiannya harta ini bakalan jadi milik kalian kalau kalian sudah menikah dan memiliki anak. Itu yang tertulis di surat wasiat, asal kamu tau."

"Tapi mang, jingga sudah menikah" belanya.

"Pernikahan kamu gak bakalan bertahan lama Jingga, siapa yang mau bertahan sama kamu? Paling sebentar lagi si ahmad bakalan ceraikan kamu,"

Dih.
Aku menggeram kesal, si mamang so tau banget sih.

Ku lihat, jingga menggeleng air matanya bahkan sudah menganak sungai. "Saya jamin rumah tangga kami akan langgeng mang. Tolong jangan seperti ini, mamang boleh ambil rumah kami. Mamang boleh menikmati semua kemewahan di rumah kami, tapi-"

Aku terbelalak ketika Jingga berlutut di kaki pamannya, memohon meminta haknya namun sialnya aku tak bisa berbuat apa-apa saat pamannya menarik Jingga menuju barisan kandang sapi dan menyuruhnya untuk memerah susu. Di sebelahnya ada si Yudi dan dua orang lain yang tengah fokus memerah sapi.

"Jangan bersikap seolah kamu pemilik semua ini, kamu memang pewarisnya tapi mamang yang sedari dulu yang mengurus semua ini. Harusnya kamu bersyukur masih bisa menikmati hasilnya, selama ini mamang yang capek, harusnya kamu berbakti sama mamang!" Bentaknya.

Dengan tangisnya, Jingga menurut. Ia mulai melakukan pekerjaannya tanpa berani melawan. Lemah.

***
"Akang, sudah bangun?" Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba Jingga menghampiriku yang tengah menyeduh secangkir teh manis di dapur. Sejak kapan ia memasuki rumah panggung ini? Bukannya tadi ia masih sibuk memerah susu sapi bersama tiga karyawannya? Padahal baru setengah jam aku tinggalkan tadi tanpa mau menyapanya dan pamannya terlebih dulu, aku buru-buru kembali kerumah panggung tanpa sepengetahuan mereka tadi.

Nampak, saat ini Jingga tengah melihat ke sekeliling dapur yang cukup berantakan akibat ulahku tadi. Keningnya mengerinyit heran mengamati sepiring nasi goreng dan telur mata sapi yang sudah tertata rapi di meja makan.

"Ngapain kamu?" Aku bertanya sembari menepis tangannya yang hendak mengambil sesendok nasi goreng.

"Mau ma-" ucapannya terhenti saat aku mengendus bau badannya yang begitu tak sedap, hingga membuatku mual.

"Mandi dulu sana," titahku mendorongnya keluar dari rumah ini.

"Dingin atuh kang, ini juga masih pagi. Lagian adzan subuh juga belum berkumandang, masih ada setengah jam lagi" tolaknya.

Aku menggeleng, menyampirkan handuk di bahunya. "Mandi dulu yang bersih sembari nunggu adzan subuh, setelah itu baru bisa makan."

"Tapi-"

"Gak ada tapi-tapian, pokoknya kamu mandi sekarang!" Refleks aku memotong ucapannya dengan bentakan saking gak tahannya dengan bau badannya yang pagi ini sangat tercium bau amis dari susu segar yang baru ia perah.

Jingga menunduk, dengan lunglai ia menuruni tangga menuju kamar mandi dibawah.

Terdengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi, menyentuh relung hatiku. Seharusnya aku tidak memperlakukannya seperti itu, seharusnya aku membiarkannya untuk menyantap makanan yang sengaja ku buatkan untuknya tapi sayangnya aroma bau badan yang tak sedap mendorong emosiku. Rasa peduliku tadi berubah menjadi rasa tidak suka seketika.

"Saya sudah buatkan kamu teh manis biar gak masuk angin, diminum ya" ujarku sembari meletakan cangkir mug berisi teh manis yang ku buatkan di meja makan saat ku lihat kedatangnnya yang baru selesai mandi.

"Minum! Biar gak pucat kaya mayat hidup" geramku saat ia duduk dengan ragu dihadapanku.

Jingga mengangguk, ia mengambil secangkir mug teh manis itu lalu meminumnya perlahan saat kepulan asap masih menguar disana.

"Terimakasih," ucapnya setelah meminum teh manis tersebut beberapa tegukan, kemudian ia meletakan cangkir mug tersebut dihadapannya.

"Makanlah," aku mendorong sepiring nasi goreng yang hendak ia makan tadi padanya.

Ia menatap kosong nasi goreng tersebut, "ini seriusan buat jingga kan kang?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk, membiarkan dia untuk memakan nasi goreng tersebut dengan lahap.

"Pelan-pelan makannya, takutnya tersedak" peringatku.

Jingga terdiam, ia menoleh dengan senyuman manisnya. "Habis jingga lapar kang, capek juga" keluhnya.

"Iyalah capek, orang kerjanya gak teratur. Terlalu di porsir, orang mah jam segini tuh masih enak-enakan tidur. Ini malah udah bergelut dikandang dengan bau amis dari susu segar, belum lagi bau kotoran sapi juga ikut nempel disana. Kok bisa ya karyawannya betah, ini mah sih bukan kerja ya tapi kaya penjajahan. Romusa ini namanya, kerja paksa!" Ucapku yang seketika membuatnya tediam, menatapku dengan lekat.

Aku menaikan sebelah alisku, "kenapa, gak terima dibilang begitu? Faktanya emang seperi itu, lama-lama hidup disini kaya zaman penjajahan!"

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang