perhatian Jingga

68 4 2
                                    

Hachim ... Uhuk ... Uhuk ...

Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. 

Huek ...
Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. 

"Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. 

Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. 

Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. 

Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan segera membuka laci. Menyalakan tiga lilin sekaligus yang sengaja ku letakan di atas nakas tepat di sebelahku.

"Ini kang, aku buatin teh hangat sekaligus bawain obat biar enakan" ujarnya. 

"Letakan saja di nakas, kamu tidur saja. Aku mau tidur di sofa biar gak ganggu" putusku. Ya, gini-gini juga aku laki-laki yang punya rasa kasihan dan tanggung jawab. 

"Enggak kang, akang tidur di sini aja biar aku temenin." tolaknya. 

Aku sedikit berpikir, untuk mempertimbangkan perkataannya tapi ... Sial, ini cenat-cenut di kepala tak kunjung hilang dan membuatku terpaksa untuk tetap tidur seranjang dengannya. 

"Kamu mau ngapain?" tanyaku saat kedua tangan Jingga kini telah bertengger di pundakku. 

"Jingga mau pijitin biar badannya enakan." jawabnya. 

Segera aku menepis dan menggeleng "gak usah, udah tidur lagi aja" perintahku.

Dia tak mengindahkan, malah dengan lancangnya ia mengganti selimutku dengan selimut baru dan kini tangannya sudah luwes memijat kepalaku. 

"Minum obat ya kang, itu teh nya diminum jangan di anggurin atuh kan tadi akang yang minta" ujarnya. 

Mataku kini tertuju pada segelas teh panas yang masih menguarkan asapnya. Tiba-tiba pundakku bergidik ngeri saat membayangkan bagaimana Jingga membuatnya. Apakah keringatnya menetas pada segelas teh panas itu? Ah, tidak!

"Awas, akang mau tidur aja lagi. Ini paling masuk angin biasa, besok juga sembuh" seruku segera berbaring kembali. 

Ku dengar Jingga mendesah kecewa, ia pun beranjak dari ranjang entah mau kemana aku tak tau. 
Baru juga mungkin sepuluh menit mata ini terpejam, perutku kembali merasa melilit tak karuan hingga aku meringkuk kesakitan. 

"Arghhh, tolong ini sakit banget" keluhku lemah dengan memegangi perut ini. 

Huek ... Huek ...

Aku kembali memuntahkan semua makanan yang sudah ku makan sore tadi hingga terdengar suara pintu terbuka dengan agak keras. 

"Astagfirullah, akang" ujar Jingga dengan samar-samar ku lihat masih mengenakan mukena. Ah, apakah dia tengah melaksanakan shalat malam? Entahlah. 

"Minum dulu kang," kembali ia berbicara dengan membantuku untu meminum segelas teh yang tadi ia buatkan. 

Sudah tidak hangat, tapi ... Sebentar aku mencium aroma teh dengan kuat.

Oke, aman. Tidak ada aroma bau yang menyengat seperti aroma tubuhnya. 

"MasyaAllah kang, tubuh akang panas sekali. Tunggu ya, aku ambilin kompresan" ujarnya. 

Aku terdiam, malas menanggapi. Kembali berbaring merasakan sakit yang tak karuan ini. 

"Sial, ini kenapa sih gak biasanya. Sakit banget, sumpah" aku meracau dengan kesal saat sakit di kepala tak kunjung menghilang. 

"Arggh, sakit gustiiii!" teriakku sembari menjambak rambut ini.

"Astagfirullah akang jangan seperti itu," ujarnya yang sudah kembali membawa air hangat dan handuk kecil. 

"Sakit banget ini, kaya mau mati" pekikku menahan sakit yang teramat. 

"Eh buset, kalau ngehukum jangan gini amatlah. Sakit banget sumpah!"

"Shit! Gob-"

Jingga segera melepaskan kedua tanganku dari kepala ini. "Istighfar kang, jangan aral gini. Sing eling" nasihatnya. 

"Apa nyuruh-nyuruh akang eling, hah? Jangan so paling sholehah deh!" Kesalku. Disaat begini, aku tidak memerlukan nasehatnya, serius. Aku hanya perlu obat pereda nyeri itu saja!

"Bukan gitu atuh kang, Jingga juga masih belajar. Tapi kalau akang menyikapi rasa sakit akan dengan suudzon sama Allah, rasa sakitnya akan bertambah loh." 

"Gue gak peduli Jing, sakit ini!" ucapku bodo amat. 

Tangannya kini sudah berada di atas keningku dengan handuk kecil yang sudah di basahi air hangat di tempelkannya. 

"Mana yang sakit, biar jingga pijitin" tawarnya. Aku menunjuk kepalaku sebagai jawaban. 

Jingga mengerti, ia dengan lembut memijat kepala ini sedikit meringankan rasa sakit rupanya. 

"Bismillahirahmanirohim
Bismillahirahmanirohim
Bismillahirahmanirohim.
A'uudzu billaahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadziru
Allahumma Rabban nasi, adzhibil ba’sa isyfi anta asy-syafi la syifa’a illa syifauka syifaan la yughadiru saqman."

Terdengar untaian doa keluar dari mulut Jingga dengan begitu lirih, meminta kesembuhan untukku yang bahkan sampai saat ini terasa agak jauh dengan tuhan. 

"Kamu ngapain berdoa untuk saya?" tanyaku, rasanya tidak pantas seorang pendosa ini dimintakan doa yang baik dari istri yang tanpa sadar sering aku dzolimi.

"Doa di sepertiga malam itu ibarat busur panah yang melesat cepat dan tepat sasaran. Aku mendoakan agar akang tidak lagi merasakan kesakitan" jawabnya, Pijitan itu kini perlahan memelan. "Akang jangan aral lagi kaya tadi ya. Jingga takut allah murka sama akang, akang harusnya sadar dan bersyukur kalau orang sakit itu di cabut tiga perkara oleh allah yaitu keceriaan di wajahnya, nafsu makannya dan dosa yang dimilikinya sementara setelah sembuh,  Allah akan kembalikan dua perkar yaitu keceriaan di wajahnya, dan nafsu makannya yang kembali semetara dosanya Allah hapuskan. Itu tandanya Allah sayang sama akang, akanh masih termasuk umatnya kanjeng nabi muhammad berarti."

Sial. Disaat sakit begini mengapa aku mesti mendapatkan siraman rohani segala! 

Tapi apa yang di ucapkan Jingga ada benarnya juga. Sering aku mendengar pepatah itu, bahkan banyak artikel yang ku baca membahas hal tersebut. Ah, ya allah sudah sejauh apa aku tidak mentaati perintahmu? Tidak mensyukuri nikmat mu? maaf. 

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang