Perkara panggilan sayang

86 2 2
                                    

Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi.

Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu.

Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya.

"Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar.

Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya.

"Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang seekor kelinci berwarna putih dengan mata besar, lalu menoleh kearah Jingga dengan ku yakin dia kali ini tengah tersenyum lebar di balik maskernya.

Cih. Apa katanya? Lucu? Rayuan yang sangat basi.

Kulihat, Jingga kali ini menanggapi gombalan itu dengan datar. Syukurlah, jangan sampai dia termakan dengan rayuan si buaya kampret itu.

"Teteh lihat, ini si moci udah besar. Kaya cinta aku sama teteh,"

Aku melotot, jelas kesal sekali saat mendengar pernyataan Yudi. Apa katanya cinta? Kalau cinta, kenapa gak di nikahin dari dulu? Kenapa?

"Yud, apa yang kamu bilang?" Jingga bertanya dengan tatapan mengintimidasi.

Yudi tersenyum, ia melepaskan seekor kelinci di tangannya lalu mendekat ke arah Jingga. Tangannya kini mulai nakal, memegang tangan mungil yang terbungkus sarung tangan karet itu begitu lembut. Sialan, lancang sekali si Yudi.

"Maaf, gara-gara aku mengulur waktu. Kamu jadinya harus nikah sama si Ahmad, pria bodoh yang tidak bisa mandiri"

Telingaku semakin panas saat mendengar pernyataan tersebut. Mata semakin melotot tajam saat Jingga hanya terdiam membisu, apakah dia mencintainya? Apakah mereka selama ini saling mencintai?

"Harusnya kamu tau Yud, aku ..."

Sialan, sepertinya dugaanku benar. Tidak ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak mau rumah tanggaku hancur disaat pernikahan ini belum genap berusia satu bulan. Apa kata orang? Memang aku tidak menyukainya, tapi ini demi harga diri keluargaku, kehormatan bapak sama emak biar reputasi mereka tetap terjaga.

"SAYANG!" aku berteriak memanggilnya dengan sebutan, ah terpaksa memotong pembicaraan mereka.

Refleks kedua tangan yang di pegang lelaki sialan itu segera Jingga lepaskan, ia menoleh kearahku dari luar.

"A-a ... Akang belum pulang?" tanyanya gelagapan menghampiri.

Aku berdecih, dengan kedua tangan bersidekap dada. "Gak jadi pulang," ujarku mengambil tubuh ringkih itu agar semakin mendekat dengan tubuhku, meski harus mati-matian menahan nafas. Sial, maskerku yang semalam dimana?

"Kenapa?" tanyanya salah tingkah. Sementara Yudi diam membisu memperhatikan kami.

Aku tersenyum, membenarkan anak rambut yang menghalangi wajah manisnya.

"Masih kangen," sengaja aku memgutarakan hal yang sebenarnya tidak aku rasakan sama sekali untuk memanas-manasin lelaki ganjen di hadapanku.

Nampak, Jingga tersenyum salah tingkah.

"Maksud akang?" tanyanya.

"Aku masih pengen tidur sama kamu, peluk cium lagi. Servisan kamu bagus juga." Aku mengeraskan suaraku dengan sengaja, kedua bola mata ini melirik pada si Yudi yang nampak kepanasan.

Sementara Jingga, raut wajahnya berubah menjadi bingung. Tangannya dengan refleks menggaruk-garuk kepala yang ku yakin tak gatal itu.

"Ayo pulang, akang mau lanjutin di rumah" seruku menariknya untuk menaiki motor butut bapak ini.

"Kang, aku masih banyak pekerjaan. Si Jalu belum aku mandiin, hari ini jadwalnya aku buat bawa dia kelapangan untuk ikut lomba seni ketangkasan" protesnya ketika kami sudah menjauh dari jangkauan si Yudi.

"Nurut gak sama suami? Kamu itu perempuan, biarlah pegawaimu yang urus. Akang gak suka kamu disini kalau tanpa akang, nanti si Yudi bisa-bisa makin ganjen" kesalku.

Jingga ternyum senang, "akang cemburu?" tanyanya.

Ck. Kegeeran sekali. Boro-boro cemburu suka aja enggak. Cuma kesal aja sama si Yudi, bisa-bidanya ngerendahin harga diriku. Memangnya siapa dia? Cuma pegawai yang gak seberapa!

"Ayo naik, kita pulang. Habis ini kamu mandi, diam di rumah!" putusku begitu kesal.

Untungnya, tak ada protesan. Jingga menurut begitu saja.

"Kang?" tanyanya saat kami sebentar lagi memasuki pekarangan rumah minimalis milik orangtua ku.

"Apa?" Sahutku malas.

"Akang tadi manggil aku sayang, emang akang udah sayang ya sama Jingga?" tanyanya.

Satu alisku terangkat, kedua bola mataku sekilas memandang Jingga dari kaca spion.

"Maksud kamu apa, Jing?"

"Loh, kok Jing lagi? Panggil aku sayang lagi, juga boleh kali. Kan Jingga suami akang,"

Aku mendesah pelan. "Sory, tadi cuma pura-pura biar si Yudi gak ganjen sama kamu"

"Akang cemburunya lucu ya,"

"Apa sih, gak lucu. Siapa yang cemburu? Enggak ya!" tepisku.

Terdengar suara cekikikan keluar dari mulutnya. "Gak papa atuh kang, jangan gengsi. Jingga seneng malah kalau akang cemburu"

Cielah, dasar murahan. Tadi aja sama si Yudi mau di pegang-pegang. Sekarang sama saya malah pengen di cemburuin? Dasar cewek serakah!

"Enggak! Saya gak cemburu,"

"Iya gengsian amat deh,"

"Ish, saya gak cemburu Jingga! Udah ayo turun, habis ini kamu mandi pake sabun akang terus pake parfum akang. Kamu bau!" Kesalku saat kami sudah sampai di pekarangan rumah.

"Iya, tapi panggil sayang lagi dong. Kayaknya manis banget deh mulut akang kalau panggil aku sayang," pintanya menggoda.

Aku mendelik, turun lebih dulu. "Sayang pala lu pea. Dahlah sana mandi, bau busuk lu!"

"Astagfirullah, akang! Yang sopan sama istri. Jingga gak bau ya, cuma agak sedikit wangi kotoran kelinci" pekiknya tak terima. Emang ya orang yang badannya punya aroma unik itu gak akan pernah sadar meski di katain apa adanya juga.

"MANDI! GAK USAH PROTES!" kesalku segera mendorongnya ke kamar mandi bawah.

"Tapi bajuku-"

"Biar akang yang bawain, mandinya yang lama. Awas aja kalau asal!" potongku dengan nada penuh ancaman.

"Iya sayang, iya. Sayang banget deh sama mas suami"

Ck. Sejak kapan si Jingga kegatelan kaya gini, perkara di panggil sayang sekali aja kayaknya udah kegeeran banget. Hatinya murahan sekali ya, cuma perkara panggilan sayang juga. Aneh!

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang