Gosip Tetangga

72 3 0
                                    

Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. 

Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang.

"Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. 

"Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu kan putri emak sekarng. Masakan yang paling enak yang pernah emak buat juga bakalan emak turunin resepnya ke kamu. Biar nanti si Ahmad gak makan di luar" jawab Emak penuh semangat, mengabaikan kenyataan bahwa wajahku kini memucat mendengar semua itu.

"Gak usah mak!" refleks aku menjawab dengan setengah berteriak. 

Bayangkan saja, makanan kesukaanku bercampur dengan aroma keringat Jingga nantinya. Ini jelas bencana kuliner.

Melihat reaksiku, Emak dan Jingga saling bertukar tatapan penuh kebingungan. "Kenapa kang, akang gak suka Jingga masakin?" tanyanya dengan raut wajah penuh kesedihan yang sangat dramatis. Alah, akting itu pasti.

"Apa ari kamu Ahmad? Orang mah enak dimasakin sama istri, ini malah gak mau. Iya, masakan emak emang paling enak, tapi nanti masakan istri kamu bakalan yang paling enak. Emak pastiin itu," kata Emak sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil mendoan yang hendak ku makan. Aku merasa seperti pahlawan yang kalah perang, tak bisa melawan keputusan emak.. 

"Ini buat neng Jingga, kamu makan yang lain" tegurnya dengan nada penuh perintah tanpa merasa bersalah. 

Alamaa, ini ibu siapa sih sebenarnya? Padahal itu mendoang kesukaan ku banget. Mak, tolonglah kesihan anakmu ini.

"Udah kamu mah makan bala-bala aja, emak mu lagi senang punya anggota keluarga baru. Jangan di ganggu," Bapak yang sedari tadi makan dengan tenang menegur dengan kekehan sembari memberikan satu buah bala-bala kepiringku. 

"Pak," mataku berbinar, cukup terharu dengan perlakuannya. Setidaknya ada bapak yang masih menyayangi pria apes ini. 

Aku membawa bala-bala ke teras, berusaha untuk bersantai sambil menikmati sinar matahari pagi yang cerah. Namun, sepertinya tak ada yang bisa menenangkan hari ini.

Setelah sarapan pagi yang kacau, aku memutuskan untuk berkeliling kampung sendiri, berharap udara segar dapat menghilangkan stresku. Langkahku membawa aku melewati jalan-jalan kecil yang tenang, namun tiba-tiba aku mendengar suara ramai dari sebuah warung kopi di sudut jalan.

Aku melirik dan melihat beberapa tetangga berkumpul, mereka tampaknya sedang berdiskusi dengan cukup meriah. Aku mendekat sedikit untuk mendengar lebih jelas.

"Eh, semalam kalian datang gak ke pernikahan dadakan si Ahmad sama Juragan Jingga?" kata seorang tetangga dengan suara nyaring. 

"Emang semalam si Ahmad beneran nikahin Juragan Jingga?" tanya tetangga lain.

Aku berhenti sejenak, terkejut dengan percakapan tersebut. Rasa penasaran mendorongku untuk mendekat sedikit lagi.

"Yah katanya sih begitu, nikahannya dadakan banget ya. Mungkin si Juragan Jingga udah bunting duluan." jawab salah satu tetangga dengan nada sinis.

"Masa sih? Bukannya si Juragan itu perawan tua, tidak ada lelaki yang mau dengannya gara-gara aroma tubuhnya yang sama seperti sapi kesayangannya?"

"Ah, mungkin si Ahmad kena peletnya kali, atau dia nikahin cuma mau hartanya doang, secara kan si Ahmad itu cuma seorang guru honorer. Gajinya kecil, prustasi kali dia gak lulus-lulus CPNS makannya cari alternatif lain buat jadi kaya" 

Aku tertegun, mendengar beberapa perbicangan orang-orang di warung kopi. Aku merasa seperti ditampar dengan berita konyol, wajah memerah menahan emosi. Ini semua tidak benar! 

Alih-alih meluapkan amarah, aku berjalan mendekati mereka. Aku merasa tiba-tiba perlu untuk mengubah suasana menjadi sedikit panas. Dengan berlagak serius, aku memutuskan untuk ikut dalam perbincangan.

"Eh, maaf, kalau boleh tahu, siapa yang bilang begitu? Karena kemarin aku juga diundang ke pesta pernikahan dadakan itu dan ternyata si Ahmad itu keponakannya wali kota ini, cocok lah kalau bersanding sama orang terkaya se desa ini" kataku dengan nada penuh percaya diri. Memang aku pernah punya paman seorang wali kota, tapi itu dulu sekarang sudah jadi mantan. 

Semua mata tertuju padaku dengan tatapan bingung. Aku melanjutkan, "Iya, mereka mungkin terlihat seperti orang biasa, tapi sebenarnya mereka adalah bagian dari program reality show ternama. Jadi semua yang kalian dengar tentang pernikahan dadakan itu adalah bagian dari skrip mereka!" Kesalku dengan mengatakan perumpamaan toh, biar mereka pada mikir.

Nah kan benar saja, kepala orang-orang di warung kopi bergerak bergantian, mencoba memahami apa yang baru saja kudengar. Aku dapat melihat beberapa wajah memerah dan mulut yang terbuka lebar, menandakan bahwa mereka terkejut dengan "pengakuan" baruku.

Satu dari mereka bertanya, "Skrip? Jadi maksudnya..."

Aku langsung memotong kesal, "Iya, semuanya itu hanya bagian dari skenario besar. Dan kebetulan, aku yang jadi bintang tamunya!"

"Hahaha, Mad jangan kebanyakan ngehayal jatuhnya nanti sakit loh"

Aku mendengus, menatap salah satu ibu-ibu yang kini tertawa meremehkan. "Ibu yang jangan kebanyakan bergosip!" 

"Dih kami gak bergosip ya, itu faktanya" selanya tak mau kalah. 

"Fakta dan datanya tidak pernah akurat!" Ketusku menahan kesal.

"Lah, si Ahmad ngebelain si Jingga segitunya. Fakta dan datanya akurat Mad, dia bau itu faktanya!" Ujar salah satu dari mereka yang berperawakan gendut. Sejujurnya aku tidak membelanya, tapi aku mempertahankan harga diriku. 

"Suruh mandi kembang tujuh rupa tiap hari Mad, biar tubuhnya gak terlalu sedap di hirup" 

Aku merasakan darahku mendidih mendengar lelucon mereka tentang Jingga. Menyadari bahwa debat ini tidak akan berakhir dengan baik, aku mencoba menyudahi percakapan dengan nada tegas, "Kalau kalian mau tahu fakta sebenarnya, kenapa tidak langsung tanya ke aku daripada terus menerus bergosip?"

Mereka terdiam, beberapa masih tampak penasaran, sementara yang lain mulai kehilangan minat. Aku memutuskan untuk pergi, meninggalkan warung kopi dengan keadaan dongkol. Sialan, kenapa sepagi ini harus disuguhi dengan gosip konyol mereka. 

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang