impian Jingga

184 8 0
                                    

"Jing, kamu ngapain sih pake beliin saya motor segala?" aku bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan saat Jingga terus menerus mengorek prihal urusan pribadiku.

Enak saja, emang siapa dia. Berani-beraninya menanyakan hal sensitif tentangku, merayuku agar menceritakan segala hal padanya. Tidak, ini tidak benar!

Jingga mengerjap, mata bulatnya begitu menggemaskan saat tau aku memulai pembicaraan ketika kami sudah memutuskan untuk tidak pulang malam ini dan segera menaiki ranjang untuk merebahkan tubuh yang lelah ini.

"Eh iya, gimana kang motornya nyaman kan?"

Aku mencibir ucapan yang keluar dari mulut Jingga dengan kesal, apa-apaan Jingga ini bukannya menjawab malah berbalik menanyakan sesuatu hal yang tidak penting. "jangan mengalihkan pembicaraan Jingga, saya tidak suka!"

"Mhehehe, maaf kang" ucapnya dengan cengiran.

"Jadi?" tanyaku menuntut.

Jingga mulai memperbaiki posisinya dengan setengah berbaring disampingku, bersiap untuk menjawab apa yang sudah kutanyakan tadi. "Selama hampir tiga bulan pernikahan kita, aku belum memberikanmu kado pernikahan apa pun, jadi aku berinisiatif untuk membelikanmu motor, itu pun juga saran dari A ujang. Katanya selain jadi pns, impian akang ya memiliki motor"

"Lalu kamu dapat uangnya darimana? Bukannya selama ini pamanmu hanya ngasih kamu uang jajan saja? Mana mungkin bisa beli motor cash, Nmax lagi" sindirku.

"Itu uang tabunganku hasil jualan kelinci dulu tanpa sepengathuan mamang. Tadinya uang itu mau aku pake buat tiket bulan madu kita, tapi aku rasa beli motor jauh lebih bermanfaat dari pada pergi bulan madu tanpa melakukan hal apa pun" jelasnya seketika membuatku tersedak.

Apa katanya bulan madu? Jadi niat dia pas ngajakin bulan madu itu bukanlah omong kosong?

"Gimana kang, akang suka gak dengan motornya? Nyaman enggak?" tanyanya antusias.

Aku menggeleng, menatapnya dengan serius. "Enggak sama sekali," jawabku ketus.

"Yah," serunya dengan nada kecewa.

"Saya tidak nyaman memakai pemberian dari orang lain, apalagi ini barang mahal. Saya bukan ujang yang bisa dengan seenaknya memanfaatkan barang orang lain, tapi kalau mobil bolehlah" candaku dengan kekehan.

"Akang mau mobil? Jingga punya satu di rumah, tapi mobil pick up yang biasa dipakai buat angkut rumput, gak papa?"

Aku terdiam, speechless mendengar respon yang Jingga berikan. Ah, aku kan bercanda. Mengapa ia menanggapinya dengan serius. Ah, aku punya ide. Mengapa aku tidak jalankan saja misi si ujang, bukannya mudah kalau memanfaatkan gadis sepolos ini?

"Yoooo, enggak lah. Apaan mobil pick up, masa iya akang ke sekolah harus bawa mobil pick up? Apa kata guru lain? Memalukan sih," kataku masih dengan candaan.

"Terus akang maunya mobil apa?"

"Pajero," jawabku refleks

Jingga terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan ucapanku. "Pajero? Hem, itu mobil mahal banget, kang," katanya, nada suara campur aduk antara serius dan menghibur. "Tapi kalau akang mau, aku bisa cari tahu lebih lanjut."

Aku tertawa, sedikit terkejut dengan keseriusannya. "Beneran? Kamu pikir aku bisa dapat Pajero dari uang tabungan hasil jual kelinci kamu?"

"Kenapa tidak? Kalau kita sama-sama berusaha, mungkin bisa saja," jawabnya mantap.

Lagi, aku terdiam cukup lama, jingga ini kepalang polos kalau si Ujang yang menikahinya, mungkin hartanya sudah di kuasai dia sekarang.

"Akang?" Suara Jingga menyadarkan lamunanku.

Aku menoleh ke sisinya yang kini sudah berbaring sempurna dengan gulungan selimut tebalnya, hujan di luar masih sangat deras membuatnya cukup kedinginan.

"Ya, kenapa?" jawabku yang mulai mengikutinya berbaring, dengan satu selimut tebal lain yang ku temukan di lemarinya tadi. Kami tidur dengan selimut berbeda, bukankah itu hal aneh? Tapi, daripada aku ketularan bau kan bahaya ya.

"Akang gak mau tanya gitu, impian Jingga apa selama ini?"

Aku terdiam, menghadap kearahnya dengan satu alisku terangkat. Emang penting gitu aku mengetahui apa impian wanita kaya dihadapanku ini?

"Yasudah, kalau akang gak nanya. Jingga mau cerita aja, mumpung ada kesempatan bisa berdua sama akang" ujarnya yang masih ku hiraukan.

Jingga tersenyum, tangannya terulur hendak merangkul tubuh ini namun segera ku cegah. Aku belum terbiasa.

"Impian Jingga hanya satu kang, memiliki keluarga yang utuh dan bahagia bersama akang." ujarnya dengan senyum tulus tak berhenti menatap manik mata ini.

Aku terdiam, terperangkap dalam kata-kata Jingga yang tulus. "Keluarga bahagia?" ucapku, berusaha mencerna maksudnya. Bukan itu yang aku inginkan, tapi mendengar harapannya membuatku merasa bersalah.

"Iya keluarga bahagia bersama akang, akang mau kan wujudin impian Jingga?" lanjutnya, matanya bersinar penuh harapan.

Seketika kepalaku pusing, entah kenapa mendengar hal itu membuat kepala ini berdenyut nyeri. Daripada bingung untuk menjawab hal itu, sebaiknya aku pura-pura tertidur sajalah.

"Akang jangan tidur dulu, Jingga belum selesai cerita. Pertanyaan Jingga juga belum akang jawab," terdengar nada kesal di suaranya, tangannya bahkan kini mengguncang-guncang tubuhku dengan kasar. Buset, tenaganya gede bener.

"Akang ih," rengeknya. Baru kali ini ku dengar Jingga yang manja.

Bruk!

"Aduh," aku mengaduh keras saat tubuh ini tiba-tiba merasakan tendangan keras hingga terjatuh kelantai kayu ini, untung saja bobot tubuhku ideal, coba saja kalau di atas rata-rata mungkin lantai ini akan roboh seketika.

"Gak sopan banget sama suami, pake nendang segala. Tenagamu juga kaya bison, besar sekali!" Omelku bangkit, kembali menaiki ranjang dan merebahkan diri di sampingnya.

"Salah sendiri, orang lagi ngomong malah di tinggal tidur. Jingga pengen cerita, tau gak dari kecil jingga pengen sekali punya teman cerita. Banyak sekali hal-hal yang jingga lalui selama hidup ini tanpa kehadiran orang tua, jingga mati-matian berjuang hidup di tengah-tengah keluarga mamang yang jahat sekali. Jingga pendam sendiri luka itu, sejak kepergian orangtuaku, jingga gak tau apa artinya keluarga.

Jingga gak tau mimpi jingga itu apa sebenarnya hingga jingga menemukan mimpi itu saat kita menikah. Mimpi jingga gak banyak, hanya ingin punya keluarga bahagia sama akang. Apa Jingga gak pantas bermimpi seperti itu?" cerocosnya dengan terisak.

Air matanya kini sudah menganak sungai, hidungnya kembang kempis menahan gejolak emosi.

"Jingga bisa melakukan hal apa pun untuk akang, asalkan rumah tangga kita tetap utuh dan bahagia" lanjutnya.

"Ngelantur kamu, ayo tidur. Ini sudah larut, kamu kecapean pasti ini. Besok kita harus bangun pagi-pagi, akang ada kelas pagi soalnya. Tidur ya," ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Terserah," ujarnya dengan menaikan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuhnya, ia bahkan berbalik memunggungiku dengan masih ku dengar suara isak tangisnya.

Aku mengacak rambut prustasi, mimpi jingga itu sederhana tapi apa bisa aku mewujudkannya? Sementara pernikahan yang kami jalani saja nampak tidak sehat sebenarnya, bukan karena dia tapi karena kelakuanku yang belum bisa menerima pernikahan ini.

Katakan saja aku pria bodoh, bahkan saat Jingga menangis pilu begini aku bukannya menenangkan malah bergelut dengan penyesalan yang ada. Mengapa aku bisa menikahinya? Mengapa tuhan pilihkan wanita seperti ini untukku? Mengapa juga aku bisa menjadi lelaki paling jahat sedunia saat ini yang selalu mengabaikannya, ketus, cuek padanya. Mengapa?

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang