memanfaatkan?

86 2 0
                                    

Tepat pukul sepuluh pagi, saat mentari agak naik keperaduan, aku mondar-mandir pergi ke halaman belakang tempat dimana sepeda tua ku sering diparkir di sana. Sudah beberapa kali aku mencari keberadaannya, namun nihil netra ini tidak mendapati keberadaannya, entah dimana.

"Cih, bisa-bisa telat ini" aku menggerutu dengan melihat jam tangan yang menempel di tangan kiri ku. Sudah jam sepuluh lewat lima menit.

"Kenapa kamu, Mad?" Aku terpekik kaget saat tiba-tiba bapak muncul dengan menepuk pundakku.

"Bapak bukan setan mad, biasa aja keles. Lagian masih pagi juga, mana ada setan," sambungnya dengan kekehan.

Aku mendengus, mengelus dada berusaha menyabarkan diri dengan sifat random bapak. Entah tau dari mana, namun setiap harinya pasti aku mendengar perkataan gaul darinya, bak anak milenial. Seperti saat ini, dia tau dari mana kata keles? Padalah kata itu sering kali ku dengar dari anak-anak didikku.

"Lihat sepeda ahmad gak pak?" tanyaku tanpa basa basi.

Kening bapak mengkerut, ia berjalan mendekati pohon jambu kristal yang belum juga berbuah sampai saat ini, entah kenapa. "Perasaan bapak simpan sepedamu disini, Mad" ujarnya dengan tangan terangkat, menggaruk kepala pelontosnya.

"Kapan pak?" Aku bertanya dengan heran, sejak kapan bapak mau memakai sepeda tua ku? Biasanya kemana-mana juga pake motor bututnya.

"Kemarin lusa, bapak pindahin kesini biar gak kepanasan" ujarnya santai dengan tangan menunjuk pohon jambu tersebut.

"Seriusan pak, ini ahmad mau berangkat ke sekolah. Kasihan anak-anak nungguin nanti, sebentar lagi jam ke tiga dimulai pak" aku mengeluh dengan berusaha mencari keberadaan sepeda tua itu, begitu pun bapak ia membantu mencarinya bahkan sampai ke semak-semak. Padahal mana mungkin ya sepeda bisa ke semak-semak?

"Gak ketemu, tanyain emak mu lah" saran bapak saat hampir sepuluh menit kami mencari.

Aku menggeleng, "enggak ah pak, emak lagi mode keong racun. Di takutkan racunnya nyemprot lagi," tolakku.

Bapak terkikik, ia menepuk pundakku beberapa kali. "Emakmu sayang sama kamu, makannya begitu. Sudah pake aja motor pemberian istrimu itu,"

"Tapi pak ..." Aku menolak ragu, sejak dapat petuah dari emak, aku sudah memutuskan tidak akan menerima apa pun pemberian dari Jingga. Gengsi.

"Apa pake tapi tapian segala? Itu motor jelas udah ada, lu jadi suami harusnya bersyukur dikasih istri kaya raya, baik hati dan gak pelit juga. Ya setidaknya hargailah pemberiannya, manfaatkan sebaik mungkin"

"Apanya yang dimanfaatkan pak? Ahmad gak mau ya pake motor itu," rengekku.

"Istrimu lah. Yaudah sih, jalan kaki aja sana. Gengsian amat jadi anak, anaknya siapa sih elah"

Aku mendengus kasar, ini bapak kaya gak sayang banget sama putra sematawayangnya. Heran deh, padahal aku baru aja sembuh.

"Pinjam motor bapak aja ya pak," aku memohon dengan wajah memelas kearahnya.

Bapak mengedikkan kedua bahunya, sedetik kemudian kepalanya menggeleng. "Ogah ah, bensinnya masih penuh. Enak dikamu itu mah,"

Astagfirullah bapak. Kenapa pelit sekali, sama anak sendiri ini kok itungan sih. Cihhh ...

"Ahmad ganti pas nanti gajian deh pak," rayuku.

Bapak tetap kukuh menggeleng,"suka lupa kamu mah kalau udah ngomong gitu teh. Gak ah, lagian kamu udah punya motor sendiri, sudah sana berangkat. Mau di pecat kamu? udah mah gak masuk seminggu ini malah ditambah acara kesiangan. Udah sana!" perintah bapak mendorongku agar segera berangkat.

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang