Malam penuh kejutan

119 3 0
                                    

Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya.

"Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku.

Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya?

"Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan.

Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang.

"Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sepeda ontel yang sudah terparkir.
Aku menelan saliva susah payah saat melihat merk sepeda yang ah ... Harganya bahkan lebih mahal dari motor butut milik bapak yang ku bawa ini.

"Seriusan Jing, emang bakalan keburu tolongin teman kamu itu melahirkan kalau pakai sepeda kaya gini?" tanyaku tak yakin saat aku masih belum melihat atap rumah milik si jejen di kompleks peternakan ini.

Jingga tersenyum, mengambil salah satu sepeda yang terparkir. "Bakalan kang, ayo biar Jingga aja yang bonceng," tawarnya.

"Enggak, biar kita masing-masing aja naik sepedanya nanti kamu duluan biar akang yang ikutin dibelakang" tolak ku. Gengsi banget harus di bonceng sama perempuan satu ini, apalagi melihat tubuhnya yang kecil membuat aku tidak percaya dengan kemampuannya.

"Oke, akang ikutin ya biar Jingga duluan. Ayo" ajaknya.

Kami pun berpisah, Jingga melaju dengan sepeda ontelnya yang tampaknya sangat terawat. Aku mengikuti di belakang, mencoba beradaptasi dengan sepeda yang terasa lebih halus dan mahal dibandingkan motor bututku. Jalanan menuju ke bagian dalam peternakan cukup nyaman, meski aku harus mengakui bahwa sepeda itu jauh lebih cepat dan efisien dibandingkan motor tua milik bapak.

Selama perjalanan, aku memerhatikan sekeliling. Area peternakan ini benar-benar luas dan terawat dengan baik. Ada beberapa padang rumput yang hijau, serta kandang-kandang dengan hewan-hewan yang terlihat sehat. Aku mulai merasa sedikit terkesan dengan pengelolaan peternakan ini. Apakah benar Jingga yang merawatnya seorang diri? Ah, aku tidak percaya. Sungguh!

"Jing, ini rumahnya si Jejen dimana? Masih jauh?" tanyaku setengah berteriak ketika mata ini tak mendapati bangunan berbentuk rumah sedari tadi, hanya beberapa gazebo saja yang kami lewati.

"Sebentar lagi kang," jawabnya sekilas menoleh ke arahku.
Aku mengangguk ketika mata ini mendapati satu bangunan rumah panggung yang unik, mungkin sekarang si Jejen sedang kesakitan di sana.

"Ayo kang, belok sini' ujarnya saat aku hendak lurus ke arah rumah panggung itu.

Kami berbelok ke jalan kecil yang mengarah ke sebuah bangunan sederhana di pinggir ladang. Jalan setapak ini dikelilingi oleh tanaman hijau dan beberapa kandang kecil. Sambil mengayuh sepeda, aku memperhatikan sekeliling yang semakin sepi dan tenang.

Jingga memimpin dengan cepat, dan akhirnya kami sampai di depan sebuah kandang besar, eh tunggu dulu mengapa malah ke kandang besar? Bukannya mau bantu si jejen melahirkan? Rumahnya yang tadikan?

"Jing, kenapa kita berhenti di sini?" tanyaku penasaran.

"Ya kan mau bantu lahirannya si Jejen" ujarnya santai memarkirkan sepedanya yang aku ikuti.

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang