perhatian jingga 2

66 3 0
                                    

Sudah seminggu ini aku terbaring di kamar dengan rasa sakit yang sudah mulai mereda. Kata dokter, aku terserang penyakit tipes yang mengharuskan aku mendapatkan perawatan yang tepat namun aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Bukan apa, aku gak mau semua orang kesusahan karena sakit ku ini.

Sudah seminggu ini pula, aku mendapatkan perhatian lebih dari Jingga. Ia begitu telaten merawat ku, hingga ia rela begadang demi menjagaku. Masalah emak sama bapak? Mereka jelas mengomeli, katanya aku tak pandai menjaga kesehatan, tak pandai menjaga pola makan dan tidur teratur padahal penyakit siapa yang tau datangnya kapan.

Hari ini badanku sudah merasa mendingan, dan meminta Jingga untuk tidak perlu terlalu ketat menjagaku. Masalah aroma tubuhnya? Jelas aku masih terganggu, tapi tidak terlalu. Kini aromanya agak sedikit berkurang mungkin karena hidungku masih tersumbat kali ya, jadinya tidak terlalu menyengat di indra penciumanku.

"Akang makan dulu ya buburnya, mumpung masih anget. Mang nana tadi kasih bonus buat suwiran ayamnya dibanyakin loh, biar akang cepat sembuh" rayunya dengan membawa semangkuk bubur ditangannya.

Oh iya, selama seminggu ini aku dikasih makan bubur buatan mang nana, tukang bubur keliling yang sering mangkal di depan rumahku.

Aku mengangguk, segera aku mengambil mangkuk bubur itu dari tangannya.

"Gak mau aku suapin kang?" tawarnya. Biasanya enam hari terakhir memang dia yang selalu menyuapi ku makan, membantuku meminum obat yang sudah dokter kasih.

"Gak usah Jing, sekarang akang sudah kuat kok" ujarku dengan terpaksa memakan bubur ayam tanpa toping kacang kesukaanku.

"Akang yakin udah kuat?" tanyanya nampak terlihat raut wajah khawatir disana.

"Iya, akang yakin. Makasih ya udah mau suka rela merawat akang" ujarku berterimakasih padanya.

"Gak papa kang, ini sudah kewajiban Jingga sebagai istri. Akang harus sembuh pokonya, maaf ya selama ini Jingga belum bisa merawat akang dengan baik."

Ah aku semakin merasa bersalah, perempuan setulus Jingga kenapa malah aku membencinya hanya karena aroma tubuhnya, padahal itu kekurangan yang harus ku perbaiki, seperti apa yang bapak bilang dulu.

Selama seminggu itu pula, aku melihat Jingga yang tak pernah lepas dari shalat malam. Bahkan, pernah ku dapati ia menangis dalam sujud terakhirnya meminta dengan lirih untuk kesembuhanku, padahal aku hanya orang baru di hidupnya dan belum tentu akan ada untuknya, selamanya bukan? Ah, gadis itu.

"Itu sudah lebih dari cukup kok, terimakasih ya" ujarku lagi. Jingga mengangguk sebagai jawaban, memperhatikan gerak-gerik ku yang tengah menikmati sarapan ini.

"Emmm, akang?"

Aku mendongak saat Jingga dengan ragu memanggilku. "Ya, kenapa?"

"Akang sudah seminggu gak mandi, cuma di lap aja. Emm ... Mau aku mandiin?"

Uhuk ... Uhuk ...

Seketika aku tersedak saat mendengar penawaran Jingga yang ah aneh sekali, mengapa ia berani menawarkan hal itu? Bahkan aku sendiri yang mendengarnya agak malu.

"Akang kenapa? Minum dulu," ujarnya panik menyodorkan segelas air padaku.

Buru-buru aku menerimanya, dengan cepat meneguk segelas air itu dengan tandas, berusaha menghalau kegugupan.

"Alhamdulillah," lirihku.

Dengan polosnya Jingga kembali mengambil gelas yang kosong di tanganku, kemudian menyendokan bubur yang entah sejak kapan semangkuk bubur itu sudah berada di tangannya.

"Biar Jingga aja yang suapin ya," ujarnya mengulurkan sesendok bubur itu tepat di depan mulutku.

"Aaaaaa ..."suara itu keluar tanpa sengaja saat aku melihat sesendok bubur mendekat. Reaksi spontan itu membuat Jingga terkekeh.

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang