BAB 12

1.1K 36 0
                                    

Semalam, Halim masih ingin bergerak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalam, Halim masih ingin bergerak. Laki-laki itu masih sangat ingin menikmati penyatuan mereka dalam waktu yang lama. Semalam, Halim masih ingin membenamkan dirinya di dalam tubuh Mitha, tapi Halim ingat lagi dengan Mitha yang masih sangat kesakitan. Halim terpaksa mengakhiri percintaan mereka setelah ledakan pertama. Halim melepaskan penyatuan mereka, dan itu membuat Mitha meringis kesakitan.

Halim menatap ke arah samping, Mitha tertidur di dalam pelukannya. Mereka tidur di ranjang yang sama dengan kondisi tubuh telanjang, hanya di tutupi selimut. Halim merasakan kulit telanjangnya bersentuhan dengan kulit lembut milik Mitha. Halim tersenyum hangat menatap wajah damai Mitha dalam lelapnya. Istrinya itu cantik, sangat cantik, dia mengakuinya.

Halim mendekatkan wajahnya ke arah Mitha, bibirnya mendarat di kening perempuan itu. Terasa panas, kening Mitha begitu panas saat menyapa bibir Halim. Sedari tadi Halim merasakan suhu tubuh Mitha yang lebih panas dari suhu tubuhnya, tapi Halim tidak menyangka jika keningnya jauh lebih panas. Apa yang mereka lakukan semalam membuat Mitha demam?

Mitha membuka matanya perlahan, dan ringisan yang pertama kali dia keluarkan ketika terbangun. Bagian bawah sana, di selangkangannya masih menyisakan sakit sisa semalam, rasanya masih ngilu.

“Masih sakit?” tanya Halim.

Mitha mengangguk, sedikit menengadahkan kepalanya agar bisa melihat wajah Halim, kepala laki-laki itu berada di atasnya. “Perih, Lim”

“Badan kamu juga panas, Mit” Halim menaruh telapak tangannya di atas kening Mitha. “Mau ke Rumah Sakit gak? Takutnya kenapa-kenapa”

Mitha menggeleng. “Enggak. Nanti aku bilang apa pas di bawa ke rumah sakit?”

Halim tidak memikirkannya, Mitha tidak mungkin mengatakan jika dirinya sakit karena melakukan hubungan intim untuk pertama kalinya. “Dari pada sakit, Mit. Nanti biar aku yang jelasin ke dokternya”

Mitha menggeleng lagi. “Gak mau, Lim. Aku mau di peluk aja sama kamu” Mitha sudah manja kepada Halim, perempuan itu sudah menganggap Halim sebagai orang terdekatnya. Mitha menatap ke arah Halim. “Kamu mau berangkat kerja, ya?”

“Aku bisa kerja dari rumah aja, aku temenin kamu” jawab Halim sambil tersenyum. Halim masih bisa meninggalkan pekerjaannya, dan dia bisa menundanya demi Mitha. Perempuan itu kesakitan juga karenanya.

“Kamu kenapa gak bilang ke aku kalau masih perawan, Mit? Kalau kamu bilang semalam, mungkin kita bisa ngelakuinnya di kamar, bukan di sofa dengan posisi kayak semalam”

“Kamu gak pernah nanya”

Halim kehabisan kata-kata. Benar, dia yang tidak pernah bertanya kepada Mitha. Halim berasumsi sendiri, dia menyimpulkan sendiri kondisi Mitha. Halim merasa laki-laki paling bodoh karena semalam menanyakan posisi mana yang Mitha sukai. Perempuan itu belum mencoba posisi apa pun, dan dia tidak tahu posisi mana yang lebih dia suka.

“Aku kira kamu udah pernah sama Zaki atau mantan pacar kamu sebelum-sebelumnya”

Mitha menggeleng. “Aku belum pernah”

Mitha bukan anak yang lepas dari pengawasan orang tua. Mitha selalu di jaga oleh kedua orang tuanya, mereka memastikan Mitha berpacaran sehat, tanpa melakukan hal-hal yang melewati batas. Bahkan, Mitha mulai ke kelab semenjak menikah dengan Halim, dia melakukan itu agar laki-laki itu menceraikannya.

“Makasih udah jaga diri kamu selama ini, Mit. Aku senang karena aku yang jadi laki-laki pertama kamu. Makasih, sayang” Halim mengecup kening Mitha, mendiamkan bibirnya cukup lama di sana. Dia di banjiri perasaan senang, sekaligus bersyukur karena istrinya menjaga dirinya sampai pada akhirnya dia yang memerawani Mitha.

Mitha tersenyum. “Udah sayang aja. Emang kamu sayang sama aku atau sayang karena udah aku kasih jatah?”

Halim menatap Mitha dengan senyuman hangat. “Kamu istri aku, Mit. Jelas aku sayang sama kamu. Kalau aku gak sayang, aku gak akan sesabar itu sama kamu, aku gak mungkin jemput kamu tiap malam ke kelab di saat aku baru pulang kerja, dan masih capek banget”

Mitha tersenyum mengingat bagaimana dirinya begitu menyusahkan Halim. Mitha melakukan segala cara agar membuat laki-laki itu menyerah dengan pernikahan mereka. Mitha membuat Halim sakit kepala dengan ulahnya setiap harinya. “Aku merepotkan, ya, Lim”

Halim menatap Mitha, kemudian mengangguk. “Sedikit merepotkan, tapi gak apa-apa. Mungkin aku harus menguji kesabaran aku dulu”

Mitha terkekeh. Halim melewati ujian kesabaran itu, laki-laki itu sangat sabar menghadapinya. Mitha tidak tahu apa yang terjadi kepadanya jika bukan Halim orang yang dijodohkan oleh orang tuanya. Sedari awal yang paling Mitha takutkan adalah menikah dengan laki-laki yang kasar, dan bukan yang dia cintai.

Sekarang, pandangan Mitha berubah. Jika Halim laki-laki yang menjadi suaminya, maka Mitha bisa jatuh cinta kepada Halim dengan mudah. Laki-laki itu memperlakukannya dengan lembut, tidak ada cela yang membuat Mitha bisa membencinya, kecuali jarak umur mereka. Mitha masih tidak menyangka menikah dengan laki-laki yang lebih tua darinya.

“Aku kasih kabar Zikra dulu” Halim bangkit dari posisi rebahannya. Laki-laki itu menggapai ponselnya yang berada di atas nakas. Halim harus memberi kabar sekretarisnya jika dirinya tidak masuk bekerja hari ini.

Mitha menarik tubuhnya untuk duduk, membuat selangkangannya berdenyut perih. Mitha meringis, memejamkan matanya, tangannya bergerak memegang selangkangannya. Mitha menarik kembali tangannya saat terasa perih ketika tangannya menyentuh di bawah sana.

Halim yang menyadari Mitha meringis, menaruh ponselnya di atas nakas kembali dengan kondisi sedang menghubungi Zikra. “Kenapa, Mit?”

Mitha menggeleng. “Agak perih pas aku gerak”

“Banyakin istirahat dulu, ya, di bawah masih luka” Halim membantu Mitha untuk kembali ke posisi rebahannya.

Halim merapikan selimut yang menutupi tubuh Mitha, kemudian Halim membalikkan badannya untuk mengambil ponsel yang dia taruh di atas nakas. Sambungan telepon sudah terhubung dengan Zikra sedari tadi. Halim mendekatkan ponselnya ke telinga. “Halo, Zik”

Iya, halo, Pak Bos. Mau libur lagi, ya? Udah dengar gue obrolan lo sama bini lo. Abis malam pertama lo setelah sekian purnama?”

Halim melirik Mitha, dan dia tahu jika ucapan Zikra di balik telepon bisa di dengar oleh Mitha. “Ada Mitha di samping gue. Gak usah bacot”

Zikra tertawa terbahak-bahak. “Gimana? Enak, Lim? Cerita dong ke gue”

Halim menoleh ke arah Mitha lagi, perempuan itu tersenyum malu. “Aku angkat telepon bentar dulu, ya, sayang” izinnya, yang di balas dengan anggukkan oleh Mitha.

Jiakhh, udah pakai sayang aja nih, Pak bos” ledek Zikra di balik telepon.

Halim melangkahkan kakinya menjauhi ranjang, dan membiarkan tubuh telanjangnya di lihat oleh Mitha. Halim sedikit menjauhi Mitha, tapi masih dalam ruangan kamar. Pipi Mitha bersemu merah saat melihat kondisi Halim yang telanjang bulat di depan sana. Laki-laki itu tidak merasa malu lagi padanya.

Halim berdiri dengan posisi membelakangi Mitha. “Gue lagi serius ini, Zik. Hari ini gue gak ke kantor, kalau ada berkas yang harus gue cek, kirim email aja. Mitha gak bisa gue tinggal”

“Masih mau nempel, ya?”

“Terserah lo, deh. Pokoknya kirim email gue kalau ada yang penting, pas udah kirim, kabarin via chat dulu biar nanti gue cek. Soalnya gue gak akan pantau laptop terus”

Iya, siap, kerjaan aman mah. Kalau ada yang penting nanti gue kabarin. Enak gak?”

“Bacot lo!” umpat Halim yang malah disahuti dengan tawa menggelegar oleh Zikra.

Halim memutuskan sambungan telepon. Laki-laki itu menatap ke arah Mitha yang tertidur di atas kasur di kamar Halim. Semalam Halim membawa Mitha ke kamarnya. Halim melangkahkan kakinya untuk kembali ke ranjang, membawa tubuhnya untuk berbaring di sebelah Mitha. Ponselnya sudah dia taruh kembali di atas nakas.

“Ini pertama kali aku tidur di kamar kamu”

Halim mengangguk. Ini memang pertama kali Mitha masuk ke kamarnya, perempuan itu tidak pernah masuk ke kamar Halim, tidak seperti Halim yang selalu saja menemui Mitha di kamarnya. “Ke depannya kita tidur di kamar yang sama, Mit” Halim memeluk Mitha erat, membiarkan tubuh telanjang mereka kembali bersentuhan di balik selimut.

“Mau tidur di kamar aku atau kamar kamu?” tanya Mitha.

Halim menatap Mitha, tampak sedikit berpikir. Mereka menjadi bingung menentukan akan menjadikan kamar yang mana sebagai kamar bersama karena memiliki kamar yang berbeda sebelumnya. “Di sini aja kalau kamu gak keberatan. Mulai hari ini, ini jadi kamar kita berdua”

Mitha mengangguk. “Yaudah, di sini aja”

Di mana pun itu, Mitha akan ikut saja dengan pilihan Halim. Mereka bisa memulai menata pernikahan yang selama ini sangat Mitha tentang. Mitha bisa menjalani kehidupannya layaknya istri sungguhan bagi seorang Halim.

******

LimMit! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang