BAB 14

1K 29 0
                                    

Dua hari lamanya Mitha kesulitan berjalan, apa-apa dirinya harus di bantu Halim

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari lamanya Mitha kesulitan berjalan, apa-apa dirinya harus di bantu Halim. Selama dua hari itu juga Halim tidak pergi ke kantor, berkas yang harus dia tanda tangani terpaksa dibawakan oleh Zikra ke rumahnya. Pekerjaannya tetap aman selama dia tidak lepas tangan, Halim masih memantau kondisi perusahaan selama libur. Zikra juga terus mengabarinya jika ada dokumen penting yang harus Halim lihat saat itu juga.

Kehadiran Halim di kantor tidak terlalu penting, yang terpenting dia masih memantau, dari jarak jauh pun bisa. Halim datang ke kantor setiap hari lebih karena sebagai bentuk tanggung jawabnya, dia pemimpin yang harus memberikan contoh kepada karyawan lain. Dengan kedatangannya ke kantor, Halim bisa melihat kinerja karyawannya, dan sesekali menyapa mereka.

“Masalah impor bahan baku udah aman, kan?” tanya Halim. Laki-laki itu baru selesai menandatangani berkas yang di berikan oleh Zikra. Halim menyerahkan berkas itu kembali kepada Zikra.

Zikra mengangguk. “Aman. Udah di proses sama supplier yang di sana”

Halim mengangguk, matanya tertuju ke layar komputer di depannya. “Oke” Halim mengalihkan pandangannya ke arah Zikra, menyadari jika sekretarisnya itu belum beranjak dari posisi berdirinya. “Ada yang harus gue tanda tangan lagi?” tanyanya, menatap Zikra heran.

Zikra menggeleng. “Gak ada” Zikra masih saja menatap Halim, ada yang berbeda dari Halim, wajahnya terlihat jauh lebih cerah, dan berseri-seri. “Hubungan lo sama Mitha udah aman?”

“Gue gak mau bahas urusan pribadi di jam kerja”

Zikra mencibir, Halim pasti mencari alasan untuk menghindari pertanyaannya. Padahal, biasanya mereka selalu membicarakan masalah pribadi di sela-sela pekerjaan. “Kemarin gue lihat sih aman, ya. Udah tidur bareng juga, kan?”

“Kepo banget lo, bangsat!” Halim tidak kesal dengan Zikra yang ingin tahu bagaimana rumah tangganya. Dia juga sering bercerita kepada Zikra tentang bagaimana pernikahannya dengan Mitha.

Zikra terkekeh. “Lagian lo, pakai nutup-nutupin segala. Giliran lagi ada masalah, cerita ke gue. Eh, pas udah dapat yang enak, gue di lupain”

“Gue gak mungkin cerita gimana percintaan gue sama bini gue”

Spoiler dikit bisa kali” canda Zikra.

“Bangsat!” umpat Halim. Meskipun mengumpat, Halim tetap tertawa. “Kalau penasaran cari bini makanya”

“Ngelakuin itu gak harus sama bini, ada banyak cewek yang nyediain jasa begituan mah”

“Emang susah kalau berurusan sama buaya darat, kerjaannya ngincar lubang doang”

“Gak gitu juga, anjing!” Zikra tidak terima di tuduh sebagai buaya, ya, walaupun kurang lebih seperti itu. Zikra memang menyukai lubang, tapi tidak semua lubang juga yang dia coba. “Gimana bini lo? Masih suci?”

Halim terdiam beberapa saat, kemudian mengangguk. “Gue yang pertama” Halim kembali tersenyum mengingat dirinya yang pertama bagi Mitha. Proses dirinya menerobos Mitha untuk pertama kali masih melekat dengan jelas di benaknya.

Zikra menatap Halim serius. “Tapi, dia bukan yang pertama buat lo”

Senyuman Halim sedikit memudar, menyisakan senyum kecut. Halim menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Zikra. “Gak perlu di bahas juga, kan?” tanyanya, mengangkat kepalanya untuk menatap Zikra. “Itu bagian dari masa lalu gue. Gue juga terima kalau misalnya Mitha udah pernah sama yang lain sebelum gue, tapi emang Mitha belum pernah sama sekali”

Zikra mengangguk. “Masa lalu emang gak usah di bahas, Lim. Tapi, ada kalanya masa lalu berdampak di masa depan, apalagi lo belum selesai sama masa lalu lo”

“Gue udah selesai sama masa lalu gue, Zik”

Zikra menatap Halim, terlihat tatapan mata laki-laki itu menunjukkan secercah kesedihan. Halim belum benar-benar selesai dengan masa lalunya. Halim hanya berusaha menutupi kenyataan itu agar bisa melanjutkan hidupnya. “Gue harap benar-benar selesai, ya. Mitha juga udah terima dengan pernikahan kalian, gue harap baik-baik aja ke depannya, buat lo, dan Mitha”

Halim merenung, dia dan Mitha akan baik-baik saja. Masa lalunya tidak akan memengaruhi masa depannya dengan Mitha. Bagi Halim, masa lalu bukan hal yang harus dia khawatirkan. Kisahnya di masa lalu telah usai, dan ditinggalkan di ruang waktu yang lampau. Halim tidak akan membawa kisah di masa lalunya ke pernikahannya.

“Oh, iya, gue dapat info dari anak-anak, katanya bakal ada reuni dalam waktu dekat” Zikra menatap Halim. “Reuni tahun ini, lo datang atau kayak biasa?”

Halim menarik matanya menatap Zikra. “Gue gak datang”

Zikra mengangguk. Seperti biasa, Halim tidak akan datang. Laki-laki itu tidak pernah datang menghadiri reuni yang selalu diadakan oleh teman semasa kuliah mereka. Setiap tahun, mereka mengadakan reuni, dan selama hampir 5 tahun Halim tidak pernah hadir.

Kata-kata selesai di masa lalu yang Halim katakan belum sepenuhnya benar, masih ada sisa kenangan di masa lalu yang menjerat Halim. Laki-laki itu melanjutkan hidup, seperti yang Zikra katakan tadi. Jika Halim benar-benar sudah melupakan semuanya, maka Halim tidak akan menolak untuk pergi ke acara reuni. Halim tidak mau datang di acara reuni karena di sana akan ada masa lalunya, Halim akan bertemu dengan sang masa lalu di sana.

Halim berkutat dengan dokumen yang ada di mejanya. Zikra juga sudah keluar dari ruangannya saat semuanya selesai mereka bicarakan. Pandangan Halim memang tertuju ke arah tulisan-tulisan dari tinta hitam itu, tapi pikirannya berkelana memikirkan hal lain. Rasa sakit, kecewa, dan kerinduan terbalut dengan apik di dadanya.

Suara deheman menyadarkan Halim dari lamunannya, menarik paksa jiwa Halim untuk kembali ke raganya, dan mengenyahkan segala pemikiran yang memenuhi benaknya. Halim mengangkat kepalanya, menatap ke arah pintu di mana ada seorang laki-laki paruh baya dengan setelan rapi berdiri di sana. Dia pemegang saham tertinggi di perusahaan ini, Andra, Papa Halim.

“Papa harap kedatangan Papa gak ganggu kerjaan kamu” ucap Andra, melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada di ruangan Halim, mendudukkan bokongnya di single sofa.

“Aku gak terlalu sibuk, Pa” Halim bangkit dari kursinya, melangkah mendekati Andra. Laki-laki itu datang ke kantor pasti karena ada maksud dan tujuan tertentu, bukan tanpa alasan.

Andra sangat jarang berkunjung ke perusahaan, bisa di hitung jari. Di usianya yang bukan muda lagi, Andra memilih menikmati masa tuanya bersama sang istri di rumah. Andra menyerahkan perusahaan kepada Halim, membiarkan anaknya mengelola perusahaan keluarga yang nantinya juga akan menjadi milik Halim.

Halim menatap Andra. “Ada keperluan apa, Pa?” tanyanya langsung.

Andra mengangkat bahu. “Gak ada, Papa habis ketemu sama Hima, dia ribut kemarin sama Mama, dan gak pulang semalam. Jadi, Papa mau ngecek dia masuk kerja atau enggak”

Hima, adik perempuan Halim yang berusia 24 tahun, seusia dengan Mitha. Hima bekerja di perusahaan ini juga, hanya sebagai karyawan biasa, dan posisi itu di berikan kepada Hima agar perempuan itu bisa belajar, sebelum menempati posisi yang lebih tinggi lagi.

“Bikin masalah apa lagi dia?” tanya Halim. Dia hafal betul jika Hima memang suka membuat masalah, sering membuat keributan di rumah, dan melarikan diri setelahnya.

“Kayak biasa, kamu kayak yang gak tahu Hima aja. Dia punya pendapat yang bertentangan sama Mama, cuman gara-gara Mama bilang pacarnya kurang sopan, dan Hima langsung marah ke Mama. Habis ribut langsung kabur, gak pulang semalaman. Tadi Papa temuin dia, dan mukanya masih BT banget”

“Masih pacar yang kemarin atau yang baru, Pa?” Halim sudah lama tidak mengikuti perkembangan dari kisah percintaan Hima. Terakhir kali dia tahu siapa pacar Hima sebelum dia merencanakan pernikahan dengan Mitha.

“Pacar baru, lebih parah dari yang sebelumnya. Berandalan kayaknya, tatoan juga anaknya. Kamu tahu kan kalau Mama pilih-pilih banget sama calon menantunya” Andra memijat pelipisnya sejenak, sedikit pusing memikirkan masalah istri dan anaknya itu.

“Kalau Papa, mah, bebas aja mau sama siapa, asal baik aja orangnya. Tapi, pacar Hima yang sekarang Papa gak setuju, deh. Papa sependapat sama Mama kamu, dia gak sopan, pas datang ke rumah dia duduk dengan naikin kaki ke atas meja, mana meluk-meluk Hima di depan Mama kamu. Gimana gak melotot itu mata Mama kamu” tambah Andra.

Halim terkekeh, dia tidak bisa menyembunyikannya. Mata sang Mama yang melotot langsung saja melintas di benaknya seakan sudah hafal bagaimana ekspresi Hesti ketika melotot. Hesti, Mama Halim sangat tidak suka melihat anaknya yang bermesraan di depan matanya. Kalau sudah menikah seperti Halim, beda lagi, Hesti akan mempersilakan Halim melakukan apa saja dengan istrinya di depan sang Mama.

“Nanti, deh, aku coba samperin Hima. Biar aku yang ngomong sama dia. Paling marahnya Hima bentar aja kayak biasa, Pa. Nanti sore juga balik ke rumah, dia mana betah di luar rumah lama-lama. Hima gak bisa hidup tanpa ngelihat Mama”

Untungnya, walaupun Hima suka membangkang, adiknya itu tidak bisa berjauhan lama-lama dengan Hesti. Hima akan kabur sehari, kemudian balik lagi ke rumah, dan hubungan keduanya akan kembali seperti biasa. Tidak pernah ada penyelesaian setiap ada masalah, di situlah letak kesalahannya, semua masalah yang terjadi tidak pernah selesai, dan berlarut, kemudian kembali terungkit di masa mendatang.

******

“Sibuk apa, sih, Mit?” tanya Mala, mendekatkan tubuhnya ke arah Mitha yang duduk di sebelahnya. “Lo cari apaan?” tanyanya, mengerutkan dahi heran saat melihat Mitha mengetikkan nama Halim di kolom pencarian Instagram.

Mitha menatap Mala datar. “Lo gak lihat ini gue cari akun Halim” dengusnya. Sudah jelas Mitha mengetikkan nama Halim, sudah pasti tujuannya menemukan akun Instagram milik suaminya itu.

“Ya, gue tahu lo mau cari akun Halim, tapi buat apa, anjing?! Udah kayak cewek yang lagi pantau crush-nya aja”

Mitha tidak menghiraukan Mala, jarinya masih saja sibuk membuka satu per satu akun Instagram yang kemungkinan milik Halim. “Yang mana, sih, anjing” gerutunya. Banyak akun bernama Halim yang Mitha buka, tapi tidak ada akun yang benar-benar milik laki-laki itu.

“Tinggal tanya sama laki lo aja, sih. Hidup napa di persusah gitu. Lo punya nomor laki lo, tinggal tanya aja. Sayang, nama IG kamu apa?” Mala mencontohkan cara mempermudah hidup Mitha. Tinggal langsung bertanya kepada orang yang bersangkutan saja, dan masalahnya selesai.

Mitha berdecak. “Malulah gue”

“Nanya akun IG malu, tapi telanjang di depan dia gak malu” celetuk Mala. Dia sudah tahu jika Mitha melakukannya bersama Halim, dan selama dua hari Mala tidak datang ke rumah ini karena Mitha mengabarkan ada Halim yang menemaninya. Tentu saja Mala penasaran kenapa Halim menemani Mitha, dan terkuak sudah jika sahabatnya itu baru melewati malam pertama.

“Lo gak membantu sama sekali” gerutu Mitha. Jarinya tidak berhenti menggulir layar ponselnya ke bawah, mencari akun lain yang bernama Halim. “Kenapa banyak banget, sih, yang nama Halim. Pasaran banget namanya”

Mala menghela napas pelan, membiarkan Mitha sibuk dengan kegiatannya mencari nama akun Instagram sang suami. Mala mengarahkan pandangannya ke arah layar televisi yang menyala, menampilkan serial drama yang dia tonton secara acak. Merasa bosan dengan menonton, Mala beralih membuka ponselnya, membuka pesan yang masuk dari beberapa teman, dan membalasnya.

Cukup lama Mala terpaku dengan layar ponselnya sampai dia menaruh ponsel miliknya di sofa sebelahnya. Mala melirik ke arah Mitha, ingin tahu apakah Mitha masih sibuk mencari akun milik Halim atau tidak. Dahi Mala berkerut kala menemukan Mitha yang terdiam dengan pandangan menatap layar ponselnya nanar.

“Kenapa, Mit? Kesambet lo?” tanya Mala.

Mitha menoleh ke arah Mala, menggelengkan kepalanya pelan. “Gue ketemu akun IG Halim” ungkapnya dengan suara lemah, tidak bersemangat.

“Terus, itu muka kenapa di tekuk? Harusnya senang, dong, kan lo berhasil jadi stalker, dan ketemu akun laki lo”

Mitha mengangguk, masih dengan wajah kecewa. “Gue ketemu foto Halim sama cewek lain”

Mala mengambil ponsel Mitha, melihat apa yang sedari tadi di lihat oleh Mitha. Mata Mala melebar saat melihat ada foto Halim bersama seorang perempuan. Di foto itu, Halim memeluk pinggang perempuan itu dengan mesra, bukan hanya memeluk, tubuh keduanya begitu menempel layaknya sepasang kekasih yang saling mencintai. Foto itu di unggah lima tahun yang lalu.

Mala menggeser layar ponsel ke atas, rata-rata foto yang Halim unggah hanya seputar kegiatannya bersama teman-temannya, dan beberapa foto kebersamaan dengan perempuan yang tadi Mala lihat.

Mala mengangkat kepalanya, menatap Mitha yang duduk terdiam dengan pandangan nanar. Mitha pasti kecewa melihat suaminya yang berfoto mesra dengan perempuan lain. “Mantan pacarnya aja kali ini, Mit. Kan, lo udah nanya ke dia, dan dia bilang kalau gak punya pacar. Lagian ini foto udah 5 tahun yang lalu, Mit. Masa lalunya aja kali”

Mitha menganggukkan kepalanya, tapi perasaan sedih itu tidak bisa dia sembunyikan. Mata Mitha memanas, sesak mendera dadanya. Apa dia cemburu? Tentu saja, Mitha sudah menyerahkan semua yang dia miliki kepada Halim, dan membuka hatinya untuk laki-laki itu. “Foto pernikahan gue sama dia gak pernah nyantol di akun IG dia”

Mala mengecek kembali akun Instagram milik Halim, menggeser layarnya ke bawah. Halim mengunggah foto, terakhir 4 tahun yang lalu, hanya foto pemandangan, seperti tempatnya pergi berlibur. Tidak ada foto lain yang Halim unggah, tidak ada foto pernikahannya dengan Mitha. Mala kembali menatap Mitha. “Mungkin, dia lupa post, Mit”

Mitha mengangguk, tangannya menepis air mata yang menetes di pipinya. “Iya, lagian gue berharap apa. Orang dia nikah sama gue karna dijodohin. Buat apa dia post foto pernikahan” Mitha menatap Mala, menampilkan senyuman yang terlihat menyedihkan. Mitha memaksakan bibirnya untuk membentuk senyuman di tengah perasaannya yang di penuhi kekecewaan.

“Iya, kan, Mal? Wajar aja, kan, dia gak post foto pernikahan gue sama dia”

Seberapa keras pun Mitha mencoba tersenyum, sesak itu terus saja menyerangnya. Air matanya kembali tumpah, Mitha tidak bisa berbohong jika dirinya sangat kecewa. Halim masih membiarkan fotonya bersama sang mantan terpajang di akunnya, sementara Halim tidak pernah menyelipkan foto pernikahannya dengan Mitha di antara sekian banyak foto mantannya itu.

Mitha tahu, hubungannya dengan Halim baru membaik akhir-akhir ini, tapi ada satu hal yang semakin membuat Mitha kecewa. Kenapa foto itu masih dibiarkan di sana, bahkan sudah lima tahun lamanya?

Mala mengusap pelan bahu Mitha. “Mit, ini belum tentu juga mantannya, mana tahu dia cuman temannya aja”

“Teman mana yang fotonya mesra kayak gitu, Mal?”

Mala terdiam, sepertinya dia salah bicara. Melihat foto Halim itu, semua orang akan tahu jika perempuan yang ada di foto itu adalah pacar Halim. Di foto itu, Halim tersenyum lebar, terlihat sangat bahagia, dan matanya memancarkan kilau cinta.

“Gue juga gak post foto dia di IG gue, jadi dia pasti juga gitu” Mitha mengangguk-anggukkan kepalanya, masih mencoba meyakinkan dirinya jika itu hal yang wajar. Mereka menikah bukan karena cinta dari awal, jadi tidak ada niat untuk memamerkan pernikahan itu ke orang lain.

*****


*****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LimMit! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang