BAB 16

897 32 1
                                    

Halo, guyss

Selagi menunggu update cerita ini
Kalian bisa baca cerita aku yang lain yaaa

Mohon ramaikan
Baca dulu aja, mana tahu suka

Mohon ramaikanBaca dulu aja, mana tahu suka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keheningan menyelimuti keduanya. Mereka duduk di atas kasur dengan pandangan lurus ke depan. Halim mengajak Mitha untuk ke kamar, ingin berbicara dengan perempuan itu. Sementara Hima, dia masih di ruang tamu, menikmati buah, dan tontonannya. Hima berkata masih belum mengantuk, masih ingin menonton film di televisi.

Halim yang tadinya ingin berbicara, mulutnya malah terkunci, tidak ada kata yang bisa dia ucapkan. Halim terus saja merasa bersalah terhadap apa yang dia lakukan kepada Mitha. Dia selalu menyiapkan potongan buah stroberi di atas piring untuk Mitha, tanpa tahu jika perempuan itu alergi stroberi. Halim seakan sengaja menyodorkan racun mematikan kepada Mitha.

“Aku mau tidur sama Hima aja di kamar sebelah, Lim”

Mitha membuka suara pada akhirnya, merasa tidak nyaman dengan keheningan di antara mereka. Lebih tidak nyaman lagi karena Mitha tahu perihal mantan kekasih Halim yang tanpa sengaja dia temukan. Mitha menurunkan kakinya dari atas ranjang. Saat Mitha akan berdiri, tangannya di tahan oleh Halim.

Mitha menoleh ke belakang, menatap Halim. “Dia suka stroberi, kan, Lim?” tanyanya. Mata Mitha memanas, sesak yang sedari tadi sudah memenuhi dadanya. Mitha berusaha keras menahan dirinya untuk tidak terbawa suasana. Mitha masih mengingat kehadiran Hima di rumah mereka.

Dia, dia yang Mitha maksud adalah perempuan yang ada di akun Instagram Halim. Mitha melihat semua foto yang Halim unggah, foto bersama perempuan terkasihnya. Cukup lama waktu yang Mitha habiskan untuk melihat-lihat akun Instagram Halim yang di penuhi kenangan bersama perempuan itu. Mitha menemukan foto di mana perempuan itu berada di kebun stroberi, memegangi dua buah stroberi dengan wajah berseri-seri.

Di foto itu, hanya ada wajah sang perempuan dengan sebuah tangan yang memegangi pipinya, Mitha tahu itu tangan Halim. Saking penasarannya, Mitha berusaha terus mengulik informasi dari akun Instagram Halim. Mitha mengecek semua following laki-laki itu, mencari akun yang kemungkinan milik sang perempuan.

Usahanya itu tidak sia-sia, Mitha menemukan akun perempuan itu, Tanisa, nama yang indah bukan? Perempuan yang begitu menyukai stroberi, hampir banyak makanan berbahan stroberi yang di unggah oleh Tanisa.

Halim juga sering menyajikan buah stroberi untuknya, bahkan tadi, membuat Mitha jadi teringat dengan Tanisa. Semuanya menjadi masuk akal, Halim menyiapkan stroberi tanpa bertanya terlebih dahulu apakah Mitha menyukai buah itu atau tidak. Halim menyiapkan semua itu karena ingat dengan Tanisa, perempuannya yang menyukai stroberi.

“Dia siapa, Mit?” tanya Halim bingung.

Mitha melepaskan tangan Halim yang memegangi tangannya. “Dia, cewek yang kamu cintai” Mitha menengadahkan kepalanya, menahan air mata yang akan tumpah. Mitha tidak boleh menangis, bukan waktunya untuk merasa terluka. Bukankah ini adil? Mitha sebelumnya juga mengagungkan Zaki di depan Halim. Dia mengaku sangat mencintai Zaki.

Tubuh Halim menegang. “Kamu kenal Tanisa?”

“Jadi, benar dia” Mitha tertawa miris. Usaha Mitha menahan air mata berujung sia-sia, tanpa tahu malu air matanya mengalir membasahi pipi. Mitha menepis air matanya dengan gerakan kasar. Perempuan itu menarik bibirnya untuk membentuk senyuman. “Dia beruntung di cintai dengan dalam sama kamu, Lim. Sampai apa yang dia suka selalu kamu ingat”

“Dia mantan aku, Mit. Aku sama dia udah putus dari 5 tahun yang lalu”

Mitha mengangguk. “Aku tahu dia mantan kamu, tapi nama dia masih bertakhta di hati kamu, Lim. Aku percaya sama kata-kata kamu yang bilang kalau kamu sayang sama aku” Mitha menarik napas sejenak, kemudian mengembuskannya dengan kasar. Sesak itu masih saja terasa.

Mitha tertawa, menertawakan dirinya yang begitu naif. Mitha yang baru saja di kecewakan oleh Zaki, dengan mudah percaya kata-kata Halim. Laki-laki itu menyayanginya, mungkin tidak sepenuhnya bohong, karena makna sayang itu sangat luas. Mereka bisa sayang kepada orang terdekat, orang tua, saudara, bahkan teman. Mitha yang salah mengartikan semuanya.

“Kenapa aku baru tahu sekarang, sih, Lim?” Mitha masih menyayangkan kenapa dirinya baru tahu setelah dia dan Halim menghabiskan waktu bersama di ranjang. Kenapa baru sekarang? Setelah Mitha dan Halim menyentuh bagian terdalam dari diri mereka masing-masing. Mitha terlambat mengulik informasi tentang suaminya.

“Dengarin aku dulu, Mit” Halim menggapai tangan Mitha lagi. “Kamu pasti udah salah paham. Tanisa, cuman mantan aku. Aku udah gak berhubungan sama dia lagi, Mit. Gak ada nama Tanisa lagi di hati aku. Aku gak pernah bohong pas bilang kalau aku sayang sama kamu, Mit”

Mitha mengangguk. “Kenangannya masih ada di sini, kan, Lim?” Mitha menyentuh dada Halim. “Aku yakin, tintanya belum memudar, kenangan manis kamu sama dia masih terus berputar di hati kamu. Mungkin, kamu bilang nama dia udah gak ada, tapi kenyataannya, kamu ingat semua tentang dia”

“Kalau maksud kamu yang stroberi, aku benar-benar nyiapin semuanya buat kamu. Aku gak pernah potongin buah stroberi karena ingat dia, Mit”

Mitha menarik tangannya dari dada Halim. “Karena itu mungkin kebiasaan kamu”

Halim terdiam. Tanpa sadar, Halim mengulangi kebiasaannya saat bersama Tanisa. Laki-laki itu sering menyiapkan buah untuk Tanisa ketika mereka masih berpacaran dulu. Kebiasaan itu yang Halim bawa sampai ke pernikahannya dengan Mitha. Kebiasaan yang belum Halim ubah, bahkan ketika orang yang berada di sisinya bukan lagi orang yang sama.

“Sebenarnya, aku gak mau bahas mantan kamu, Lim. Aku gak mau permasalahin masa lalu kamu, tapi aku sadar, selama ini kamu perlakuin aku layaknya Tanisa, cewek yang mengisi ruang di hati kamu”

“Enggak!” Halim menggeleng dengan tegas. “Aku gak pernah nganggap kamu sebagai Tanisa. Apa yang aku lakuin ke kamu, murni karena aku melihat kamu sebagai diri kamu sendiri, Mit. Sebagai Mitha, istri aku, perempuan yang aku nikahi”

Halim mendekati Mitha, tangannya terulur mengusap air mata yang membasahi pipi perempuan itu. “Aku gak pernah cerita tentang Tanisa karena aku gak mau masa lalu aku menjadi bahan perbandingan bagi kamu, Mit. Aku tahu tiap perempuan akan selalu membandingkan dirinya dengan masa lalu dari pasangannya. Aku gak cerita, bukan karena aku mau nutupin tentang Tanisa dari kamu. Aku benar-benar udah selesai sama Tanisa, jauh sebelum aku mutusin buat terima perjodohan kita”

Mitha menatap Halim dengan mata berairnya. Kenapa Mitha hanya melihat ketulusan di mata Halim? Laki-laki itu selalu saja menatapnya dengan tatapan paling tulus. Tatapan itu membuat Mitha goyah, ingin marah, tapi tertahan karena Mitha melihat Halim yang tulus dengannya.

“Dan tentang stroberi, aku benar-benar gak tahu kalau kamu alergi sama stroberi. Kalau aku tahu, aku gak akan nyiapin stroberi buat kamu, Mit” Tutur kata Halim begitu lembut. Kata-kata itu dia keluarkan dari lubuk hati terdalamnya. Mata Halim berkaca-kaca. Melihat Mitha menangis, membuat hatinya berdenyut perih.

Mereka belum tahu satu sama lain, baik Mitha, maupun Halim. Keduanya sama-sama belum mengetahui bagian dari diri mereka masing-masing. Mereka memulai semuanya karena dorongan dari kedua orang tua masing-masing. Mereka belum menyempatkan waktu untuk saling mengenal satu sama lain.

“Aku minta maaf, Mit. Aku dan Tanisa udah selesai, gak ada lagi sisa ruang di hati aku buat Tanisa. Di sini” Halim membawa tangan Mitha menuju dadanya, menempelkan tangan perempuan itu di sana. “Ada nama kamu, Mit. Kamu yang buat jantung aku berdetak kayak gini, Mit. Bukan lagi Tanisa, tapi kamu”

Mitha merasakan bagaimana jantung Halim berdetak kencang di sana. “Perasaan kamu ke aku seperti apa, Lim? Kamu gak pernah kasih tahu aku dengan pasti, perasaan apa yang kamu punya buat aku. Aku gak mau salah paham lagi, Lim. Aku gak mau mengambil asumsi sendiri tentang apa yang kamu rasain sama aku”

“Aku rela melakukan apa pun buat kamu, Mit. Apa pun yang kamu minta, akan aku usahakan. Aku gak mau lihat kamu terluka, tangisan kamu adalah senjata paling mematikan bagi aku, Mit. Aku ingin menjadi orang yang membuat kamu bahagia, dan kamu udah menjadi sumber kebahagiaan aku. Apa perasaan seperti itu bisa di sebut cinta?”

Mitha terdiam dengan mata menatap Halim lekat. Halim menginginkan kebahagiaan di antara mereka. Apa itu cinta? Mitha juga tidak tahu cinta sesungguhnya itu seperti apa. Mitha hanya tahu jika dia nyaman berada di sisi orang itu, maka dia mencintainya. Jika mereka bahagia di saat bersama, bukankah itu cinta?

*******

 Jika mereka bahagia di saat bersama, bukankah itu cinta?
*******

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
LimMit! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang