27. Act Like God

3.4K 509 23
                                    

Tara merenggangkan tubuh. Matanya menatap ke arah sekitarnya. Siang ini, ia tengah berada di lokasi syuting untuk sebuah serial OTT sebagai bintang tamu. Ceritanya, dia adalah Dara—karakter dalam film terbarunya—yang ternyata saudara dari tokoh utama. Berasal dari rumah produksi dan produser yang sama, tim promosi sengaja menyatukan 'universe' dari kedua cerita sebagai ajang promosi satu sama lain.

Di pangkuan Tara, ada naskah dialog yang harus ia hapalkan. Ia merapelkan naskah tersebut. Syuting serial berbeda dengan syuting film. Reading nyaris tidak pernah dilakukan. Kadang-kadang, ceritanya bisa berubah mengikuti rating. Termasuk kedatangan Tara yang sebenarnya merupakan bagian dari improvisasi.

Tara kembali memandang sekitar. Di sekelilingnya, tampak beberapa wajah-wajah baru. Ia juga melihat anak-anak yang lebih muda sebagai figuran. Melihat mereka seolah memberikan kesan nostalgia tersendiri.

Tara menghela napas. Dulu sekali, ketika ia masih kecil, ia juga sama seperti anak-anak itu. Menjadi aktris cilik yang mengisi figuran. Berada di lokasi syuting seperti ini sudah jadi arena bermainnya. Bahkan, jadi aktris terkenal sudah jadi cita-citanya.

Sayangnya, hidup sebercanda itu. Ayahnya yang sakit keras membuat keuangan mereka morat-marit. Sementara untuk jadi artis cilik itu tidak bisa ujug-ujug casting. Harus ikut sanggar. Lalu ketika ikut syuting pun, kalau cuma jadi pemeran figuran, sebenarnya, lebih banyak buntung dari untung. Masalahnya, iuran sanggar mahal sekali saat itu.

Tara harus merelakan mimpinya. Hidup dengan berjuang mendapatkan prestasi demi prestasi agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya. Bekerja sebagai karyawan kantoran pagi sampai malam hanya untuk melanjutkan hidup.

Hingga, tawaran Miss Nusantara datang. Tawaran yang menurutnya menggiurkan dan patut dicoba. Ia mengincar hadiah uangnya, juga kontrak kerja eksklusif di dunia hiburan. Sayangnya, ia hanya terpilih sebagai enam besar. Tidak ada kontrak kerja eksklusif, tidak ada uang, tidak ada apapun.

Rasanya, ia frustasi. Amat frustasi.

Tara sudah merelakan pekerjaan penuh waktunya. Namun, ia gagal. Dan ia dicurangi. Menyesakkan. Rasanya, sampai hari ini, ia ingin sekali menjambak panitia manapun yang bertanggung jawab saat itu.

Lagipula, di satu sisi, mungkin salahnya juga. Kenapa mau-maunya bertaruh begitu?

Untungnya, nasib baik memihaknya. Tuhan tidak tidur. Karena pada akhirnya, Tara bisa mendulang kesuksesan setelah menangis dan berdarah-darah. Dari sebuah pekerjaan kecil sebagai aktris tamu, ia kemudian mendapatkan peran karakter utama, dan biarpun terhalang pandemi, pada akhirnya, film yang ia bintangi laris manis hingga membawanya pada hari ini.

Ya. Tara yakin, Tuhan tidak tidur.

"Tara! Tara!" Suara seorang perempuan membuat Tara terlonjak. "Bengong aja?"

"Eh, Ratih." Tara menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, kok! Gue tadi lagi bengong doang, bingung mau makan apa!" jawabnya bercanda. Ia memerhatikan perempuan di depannya. Tubuhnya tinggi dengan kulit putih dan mata yang bulat. Di tangannya tampak naskah yang sama dengan Tara.

Ratih duduk di sebelah Tara. "Gila, gue kaget lo mampir main ke sini." Ia berkata sambil mengambil air minum di depannya.

"Hm?"

"I mean, you are a big name now." Ratih berkata lagi sebelum menegak air minumnya. "Kalau gue tahu Mas Ega bisa membawa gue sampai ke titik lo sekarang, mungkin, gue akan membuang semua harga diri gue demi peran itu kali!"

Tara tersenyum tipis. Lima tahun lalu, Tara yang sudah frustasi karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan tiba-tiba mendapat tawaran menggantikan Ratih—perempuan di depannya itu—untuk bermain di sebuah sitkom yang disutradarai oleh Ega, yang kemudian membawanya sampai seperti sekarang.

"Oh, ya, lo tahu kabar Randy, Tar?" tanya Ratih lagi.

Tara mengerenyit. Ia menggeleng kepala sesudahnya. Pasca perseteruan dengan Randy kemarin, Tara tidak lagi mengontak Randy. Ia bahkan memblokir semua media sosial Randy atas permintaan Kafi.

"Iya, soalnya, dia tiba-tiba... hilang."

"Apa?" Tara menganga.

Ratih mengangkat bahu. "Katanya mau take rest dan hiatus setelah syuting proyek besar. Jadi, dia ngebatalin semua proyek. Termasuk, proyek ini."

"Loh? Gimana?"

Ratih lagi-lagi menggelengkan kepala. "Nggak tahu, ya. Gue denger, tim produksi tiba-tiba dapat pembatalan sepihak. Awalnya, ceritanya kan, kamu sama Juno—Randy—muncul. Tapi, diganti, deh."

"Hah?" Tara kelu. Ia tahu, apapun yang terjadi, semua pasti bermuara pada Kafi.

Tara semakin tak habis pikir. Bukan, bukan karena alasan Randy, Tetapi, karena ia pernah 'mengalami' hal yang sama. Ia ingat ketika Marco tiba-tiba hilang dari peredaran dan dunia hiburan setelah insiden di pesta saat lelaki itu memegang pinggangnya dan tertangkap oleh Kafi. Job Marco tiba-tiba langsung seret. Ia tidak lagi mendapatkan peran dari film-film yang ditelurkan oleh rumah produksi kenamaan.

Walau Kafi berkelit, Tara yakin, ada andil Kafi di dalamnya. Dan kini, semua jadi terhubung satu sama lain.

Tara menghela napas. Kebohongan lain. Kafi dan kebohongannya.

Tara mengambil napas. Menepuk dadanya sendiri. Perasaan bersalah dan takut datang bersamaan. Buat Tara, kelakuan Randy memang keterlaluan. Tetapi, jika Randy harus dieliminasi dari dunia hiburan akibat semua ini, rasanya, terlalu berlebihan.

Kafi terlalu berlebihan.

"Oh, by the way, congrats ya!" Ratih kembali berucap.

"Buat?"

"Lo sama Mas Kafi." Ratih nyengir. "Biarpun gue udah tahu dari lama sih?"

Tara terdiam. Apa maksudnya? Ia mencoba mengingat-ingat. Apa dirinya pernah teledor dan tidak sengaja tertangkap basah berdua dengan Kafi di depan publik?

"Soalnya, pas dulu itu, Mas Kafi lihat-lihatan sama lo sampai segitunya." Ratih berkata lagi.

"Ih, apaan sih?"

Ratih tertawa melihat tingkah Tara yang malu-malu. Ia mengambil napas. "Terus, gue denger, Mas Kafi minta Mbak Ajeng biar lo bisa gantiin gue. Tapi, gosip, sih." Ratih berucap. "Tapi, kalau kayak gini, jadinya beneran deh."

"Hah? Apa?" Tara menaikan nada. Raut kaget menghias wajahnya.

Ratih memain-mainkan naskahnya dengan canggung saat melihat Tara yang terlihat terkejut. Sadar bahwa dirinya membuka kotak pandora yang mungkin tertutup selama.

"Tih, maksudnya apa?" Tara bertanya lagi. Ia benar-benar kebingungan.

Ratih menelan ludah. Ia meringis. "Seharusnya, yang jadi cadangan gue tuh, Mirna."

"Mirna..." Tara mengingat-ingat. "Oh, yang dapat juara kelima itu?"

Ratih mengangguk. "Iya, tapi, tiba-tiba Mirna di-skip. Diganti lo." Ratih memiring-miringkan kepala.

Tara terdiam. Isi kepalanya tidak bisa berfungsi. Semuanya tampak berhenti. Ia seperti tertarik ke sebuah pusaran yang begitu dalam. She was in the dark. Setahunya, Ajeng meneleponnya untuk menggantikan Ratih bukan Mirna. Berarti, apakah Mirna tidak pernah dapat penawaran itu? Atau bagaimana?

Canggung makin menguasai. Tara masih kaget. Ia bahkan tak bisa berkata-kata. Matanya melirik Ratih yang mecoba menetralkan suasana. "Apa mungkin karena lo ada basic akting juga kali, ya? Lo kan tahu Mas Ega sesusah apa. Gue aja mau nangis."

Tara masih tidak bisa berpikir positif. Semuanya tampak tumpang tindih. Benarkah karena itu? Atau karena Kafi? Atau apa?

"Eh, Tar, gue harus ke sana dulu. Duluan, ya!" Ratih berdiri dari kursinya. Dengan buru-buru, ia berjalan sambil melambaikan tangan ke arah Tara, meninggalkan perempuan itu kembali sendirian.

Ditinggal dalam keadaan begitu, Tara menahan napas. Ia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Seolah-olah fakta tadi menamparnya bolak-balik.

Pandangannya mengarah ke arah ponselnya, ke arah fotonya dan Kafi yang menjadi gambar di layarnya. Beribu pertanyaan tmencuat di benak Tara.

Tara memejamkan mata. Satu masalah belum selesai, sudah dua masalah lagi datang. Tara jadi bertanya-tanya soal banyak hal—Sebenarnya apa saja yang sudah Kafi lakukan? Dan sejauh apa?

FOREVER YOURS REGARDLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang