Bab 9 : Fans?

4.2K 692 92
                                    

Tara tidak bisa berkonsentrasi sampai acara selesai. Ia gelisah setengah mati. Kakinya berguncang dengan gugup.

Wajah Kafi membayanginya. Rasanya, menakutkan untuk Tara kemudian berdiri saat acara pelelangan selesai, berganti dengan acara mengobrol santai sebelum bubar.

"Lo bisa-bisanya ngambil foto gue tanpa consent, Ran." Tara berucap dengan nada marah saat lelaki itu berdiri dari kursinya. Tangannya terlipat di depan dada, pandangannya begitu tajam dan geram.

Randy masih tertawa kecil. "Loh, lo kan tahu gue bawa kamera."

"Tapi nggak dengan foto itu yang dipajang dan dilelang!" Tara menunjuk ke arah panggung yang sebenarnya sudah kosong.

Randy terdengar mendesah keras. Ia tersenyum miring. "Gue motret banyak hal dan dari semua, panitianya paling suka yang ini, gue harus apa?" Ia mengangkat bahu. "Lagian, lo memang cantik, kok."

Seharusnya, Tara tersipu malu. Kalau Tara adalah perempuan normal, jantung Tara pasti akan berdegup kencang. Masalahnya, Tara sama sekali tidak berminat pada lelaki di hadapannya itu.

Randy masih tersenyum miring sebelum membuka mulutnya, "Dan kayaknya, Pak Kafindra itu nge-fans banget sama lo, deh."

Kalimat yang keluar dari mulut Randy membuat Tara mengerjap, bahkan, Jelita yang ikut mendengarkan nyaris tersedak mendengarnya. Nge-fans? Oh, Randy harus tahu bagaimana Kafi bukan sekadar penggemar Tara. Dia memuja Tara seperti seorang dewi. Lelaki gila itu bahkan bisa berlutut di depan Tara. If only he knew. If only.

"Lima puluh juta buat foto lo. Dia itu kaya raya, tapi terlampau gila, sih." Randy masih melanjutkan cerocosan.

Tara menggeleng. Kalau saja Randy tahu, Kafi bisa menggelontorkan milyaran jika itu artinya foto itu tidak akan berada di mana-mana dan hanya ada di rumahnya, di depan biji matanya.

Again, if only.

"Tetep aja, Ran, lo nggak bisa begitu." Tara masih murka.

"Oh, come on, Tara. Ini kan buat amal."

"Charity my ass!" umpat Tara sebal.

Mata Tara melirik ke arah Kafi. Lelaki itu terlihat masih mengobrol bersama orang lain. Sementara, Kaivan berada di sisi lain, berbicara dengan orang yang lain lagi.

Tara tidak tahu siapa. Tara juga tidak ingin tahu. Tara tidak punya waktu untuk itu. Dia butuh pergi. Setelah ini, ia harus kabur secepatnya. Ia tidak tahu mau ke mana. Pulang ke apartemen? Ia pasti akan bertemu Kafi. Tetapi, mau menginap di mana? Rasanya, kepalanya benar-benar pusing.

"Habis ini, mau jalan bareng nggak, Tar?" Suara Randy terdengar tiba-tiba. "Habis gue nyapa Pak Kafindra Pangestu dulu yang tadi beli hasil karya gue."

Dang! Seolah, langit runtuh ke atas kepala Tara. Ia menatap ke arah Randy dengan sorot kaget. Randy benar-benar cari mati. Ia benar-benar menggali lubang kuburnya sendiri.

Perempuan itu menggeleng. "Gue mau balik," katanya cepat. Ia melirik ke arah Jelita. "Gue capek." Lagi, ia berkata dengan ketus.

Raut Randy terlihat tak senang. Ia memutar bola matanya. Menatap ke arah Jelita yang pura-pura bodoh.

"Seenggaknya lo temenin gue nyamperin Pak Kafindra, Tar. Just to say thanks." Randy berkata lagi.

Just to... what? Tara membelalakan mata. Kalau saja Randy tahu bahwa yang Kafi ingin lakukan pastilah melumatnya bulat-bulat. Dia ini gila, ya?

"Lo aja sendiri, kan hasil karya lo." Tara berkata asal.

"Tapi, kan dia nge-fans sama lo." Randy bersikeras. "Apa sih ruginya lo kasih fan service ke Pak Kafi?"

FOREVER YOURS REGARDLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang