23. The Invitation

3.6K 541 46
                                    

"Om Danny pulang ke Jakarta besok."

Ucapan Kafi seusai makan malam membuat Tara menengok. Perempuan yang tengah membereskan piring-piring kotor bekas makan itu kemudian mengerutkan dahi.

"Lalu?"

Tara tidak mengerti. Kalau Danny Chow pulang ke Jakarta, lalu apa masalahnya?

Kafi tersenyum. Ia mendekat ke arah Tara. "Udah berapa kali aku bilang ke kamu, besok Bibi bisa beresin." Ia berkata sambil menyisikan piring-piring itu ke arah lain. Tangannya menggenggam dua tangan Tara erat. "Jadi, besok malam, aku diajak makan malam di rumahnya. Dia ngadain pesta kecil buat ulang tahunnya di rumahnya."

Tara mengangguk-anggukan kepala. "Jadi, maksudnya, kamu nggak makan malam di rumah? Oke."

"Bukan..." Kafi menyungging seulas senyum geli. "Aku mau ajakin kamu makan malam di sana."

"Apa?" Tara menaikan nada.

"Mau ikut aku makan di sana?" tanya Kafi lagi. "Temenin aku, ya? Kamu kan pacar aku—soon to be Mrs Pangestu, right?" Lelaki itu memindahkan tangannya untuk memeluk renggang Tara.

Mrs Pangestu.

Sejak kejadian beberapa hari lalu, Kafi tak bosan membahas itu dengan Tara. Kalaupun tidak secara gamblang, maka Kafi akan memberikan kode-kodenya. Termasuk yang satu ini: soon to be Mrs Pangestu.

Sebuah kehormatan memang untuk bisa disebut seperti itu. Sesuatu yang harus Tara syukuri memang, apalagi kalau punya pacar se-bucin Kafi. Tetapi, segala yang Kafi lakukan terasa sedikit banyak mendesaknya ketika ia bingung akan tujuan hidupnya sendiri.

Banyak yang bilang, menikah tidak akan mengubah apapun. Kafi akan tetap mendukungnya sebagai aktris, semua akan baik-baik saja. Faktanya, menikah bisa mengubah banyak hal.

Yang pertama, pastinya, pekerjaannya akan berkurang. Pasalnya, Imej Tara tidak lagi bisa difabrikasi sedemikian rupa. Kalau dulu, spektrum perannya bisa sangat luas. ia bisa saja berakting sebagai anak SMA atau anak kuliah bahkan di saat usianya saat ini. Tetapi, setelah menikah? Imejnya bukan lagi anak-anak. Dalam semalam, memainkan peran sebagai anak SMA atau kuliah tak lagi cocok untuknya. Ia hanya akan dapat peran sebagai orang dewasa dan terbatas.

Lalu juga, akan sulit untuknya mempromosikan film-filmnya. Apalagi jika film tersebut adalah film romantis. Go public seperti ini saja sudah membuat semuanya terganggu. Apalagi menikah?

Jadi, walaupun Kafi mendukungnya, semesta selalu menentang. Dan Tara tak bisa melakukan apapun. Tara harus siap dengan kemungkinan terburuk yang bisa ia dapatkan.

"Jadi, sayang? Mau, kan?" Kafi bertanya lagi.

Tara menarik napas sambil menepis pelukan Kafi. "Sayang, aku bingung kalau ke pesta ini ngapain..." Ia berucap pelan. Sejujurnya, ia belum pernah datang ke pesta-pesta seperti itu sebagai pacar Kafi. Gugup merajai tubuhnya. Ia sedikit bingung tentang apa yang perlu ia lakukan.

"Yah, kamu temenin aku aja." Kafi berkata pelan. "Lagian, aku yakin kamu bisa membaur diri kamu dengan baik."

Tara memalingkan wajah saat Kafi terus menerus berusaha merayu dan membujuknya. Bukan masalah berbaurnya.

"Please..." pinta Kafi lagi. "Kamu kan belum pernah nyoba."

Helaan napas terdengar seraya Tara mendongak, menatap Kafi yang menatapnya dengan sorot penuh permohonan. Ia sekali lagi mengambil napas dan mengangguk pelan dengan mata terpejam.

Apapun yang terjadi. Terjadilah.

*

Kafi mengamit tangan Tara menuju ke sebuah venue serbaguna di bilangan Cipete sore menjelang malam ini. Sebuah rumah besar yang disulap jadi arena serba guna itu memberikan kesan homy dan cantik bersamaan.

FOREVER YOURS REGARDLESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang