(07)-kepastian dalam keraguan

5 7 0
                                    

HAPPY READING•

  ***


Repal duduk di studionya, merenung sambil memandangi kanvas kosong di depannya.

Sejak pameran besar pertamanya, tawaran demi tawaran datang menghampirinya, namun perasaannya tetap kacau.

Karya terakhir yang ia buat telah membawa pengakuan, namun seiring dengan itu datang pula perasaan ketidakpastian yang begitu mendalam.

Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah semua ini benar-benar sesuai dengan apa yang ia inginkan?.

Dalam kebingungan itu, pikiran Repal kembali melayang kepada Ayahnya.

“Yah, jika kau ada di sini, aku pasti tahu harus melakukan apa,” bisiknya pelan.

Kehilangan Ayah tidak hanya membuatnya merasa kesepian, tetapi juga kehilangan arah.

Malam itu, ia memutuskan untuk mengunjungi makam Ayahnya. Sudah lama ia tidak ke sana, dan rasanya ia perlu berbicara dengan kakaknya, meskipun hanya melalui angin yang berdesir.

Dengan perlahan, ia berjalan ke arah pemakaman yang terletak di pinggiran kota. Langit malam terlihat cerah, dengan bintang-bintang yang seolah memandu langkahnya.

Saat tiba di makam, Repal merasakan kedamaian yang aneh. Angin malam berhembus lembut, dan dalam keheningan itu, ia mulai berbicara dengan hati yang terbuka.

“Yah, aku merasa bingung. Semua orang bilang aku berhasil, tapi aku tidak tahu apakah ini yang aku inginkan. Apakah aku masih mengikuti kata hatiku, atau aku hanya mengejar harapan orang lain?”

Ia duduk di samping batu nisan Ayahnya, memandangi nama Ayahnya yang terukir di sana.

Air mata mulai mengalir, namun kali ini, air mata itu bukan hanya tentang kesedihan karena kehilangan, tapi juga tentang kebingungan yang selama ini ia pendam.

Seperti pelukan terakhir yang ia rasakan dari Ayahnya, kali ini ia merasakan kedamaian sejenak, seolah Ayah mengerti tanpa perlu berkata-kata.

“Aku ingat kau pernah bilang, seni itu soal kejujuran. Tapi kenapa sekarang aku merasa jauh dari itu? Apakah aku sudah terlalu terpaku pada harapan orang lain?” Repal menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang berkecamuk.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mengagetkannya. Dari kejauhan, sosok Hilda berjalan mendekatinya, membawa bunga di tangan. Repal tersenyum kecil. Tentu saja, Hilda tahu ke mana dia pergi. Hilda selalu tahu.

“Aku tahu kau pasti di sini,” kata Hilda sambil duduk di sampingnya. Ia meletakkan bunga di depan nisan Ayah dan memandang ke arah Repal.

“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Repal.

“Kau selalu ke sini saat merasa bingung,” jawab Hilda dengan nada yang lembut namun tegas.

“Dan aku tahu saat ini banyak yang ada di pikiranmu.”

Repal mengangguk, menyadari betapa Hilda begitu mengenalnya.

“Aku hanya merasa... aku tersesat, Hilda. Semua ini terlalu cepat, dan aku merasa kehilangan diriku sendiri.”

Hilda menatap Repal dengan penuh pengertian.

“Aku mengerti. Kadang-kadang, kita terjebak dalam apa yang orang lain pikirkan tentang kita, dan kita lupa pada diri sendiri. Tapi Repal, kau tidak perlu terburu-buru. Kau punya hak untuk mundur sejenak, mengambil napas, dan menemukan kembali apa yang benar-benar penting.”

Pelukan Terakhir [on-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang