•HAPPY READING•
***
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela studio Repal, membangunkannya dari tidur yang lelap.
Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia merasa tidur dengan damai. Perasaan lega perlahan-lahan menggantikan rasa berat yang selama ini menghantuinya.
Di seberang ruangan, lukisan ayahnya berdiri kokoh di atas kanvas, seolah-olah menatapnya dengan tatapan penuh kasih.
Ia tersenyum kecil, merasakan kehadiran ayahnya, meski hanya dalam bentuk kenangan.
Repal bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Di luar, angin musim semi bertiup lembut, membawa udara segar ke dalam ruangan.
Hari itu terasa berbeda, seakan alam turut merayakan kebangkitan emosional Repal. Ia menyadari bahwa meskipun kesedihan masih ada, rasa itu kini lebih terkontrol, seperti sesuatu yang telah ia pelajari untuk diterima.
Ponselnya berbunyi, memecah keheningan pagi. Di layar terlihat nama Hilda.
"Repal, aku punya kabar baik," kata Hilda dengan nada antusias.
"Ada galeri di luar kota yang tertarik dengan karyamu. Mereka mendengar tentang pameran "Pelukan Terakhir" dan ingin kamu mengadakan pameran keliling. Bagaimana menurutmu?"
Repal terdiam sejenak. Tawaran itu terdengar sangat menggoda, tapi ia masih merasa ragu untuk meninggalkan studionya dan melangkah lebih jauh.
Di satu sisi, ini adalah kesempatan besar untuk berkembang, namun di sisi lain, studio ini penuh dengan kenangan tentang ayahnya.
“Aku... tidak tahu, Hilda, Aku tidak yakin apakah aku siap untuk melakukan hal itu,” jawab Repal dengan nada penuh keraguan.
Hilda terdiam di ujung telepon, lalu suaranya terdengar lebih lembut, “Repal, kamu tidak harus mengambil keputusan sekarang. Tapi, ini bisa jadi kesempatan untukmu memulai lembaran baru, sambil tetap menghormati kenangan ayahmu. Tidak ada salahnya mempertimbangkannya.”
Setelah percakapan itu, Repal duduk di kursi dekat jendela, merenungkan kata-kata Hilda. Pameran keliling bisa jadi adalah langkah yang ia butuhkan untuk benar-benar maju, tetapi perasaan terikat pada studio ini membuatnya merasa berat untuk pergi.
Studio ini adalah tempat di mana ia merasa paling dekat dengan ayahnya, tempat ia menuangkan segala kenangannya.
Beberapa hari kemudian, Repal mengunjungi rumah lama ayahnya—tempat di mana ia dibesarkan.
Di sudut ruang tamu, masih ada kursi tua yang selalu digunakan ayahnya untuk duduk dan membaca.
Seiring berjalan di dalam rumah, ia menghirup udara yang penuh dengan aroma kayu yang hangat dan mengingatkan akan masa kecilnya. Setiap sudut rumah ini penuh dengan kenangan yang menyentuh hatinya.
Repal duduk di kursi ayahnya dan menatap foto keluarga mereka yang tergantung di dinding. Foto itu diambil saat Repal masih kecil.
Ayahnya, meskipun tersenyum dalam foto itu, memiliki tatapan yang penuh kelelahan. Ia ingat betapa beratnya bagi ayahnya untuk merawat Repal, namun ia tidak pernah mengeluh. Sebaliknya, ia selalu memastikan bahwa Repal merasa dicintai dan didukung.
Di momen itu, Repal menyadari sesuatu. Ayahnya selalu mengajarkannya untuk tidak takut melangkah maju, meskipun hidup penuh ketidakpastian.
Ayahnya tidak pernah membiarkan rasa takut menghentikan dirinya dari memberikan yang terbaik untuk putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Terakhir [on-going]
RandomDalam "Pelukan Terakhir," kita mengikuti perjalanan emosional seorang anak yang berjuang menghadapi kenyataan pahit ketika ayahnya didiagnosis dengan penyakit ginjal. Meskipun hubungan mereka pernah terjalin erat, konflik dan kesalahpahaman di masa...