•HAPPY READING•
***
Seiring berjalannya waktu, hidup Aksa semakin sibuk dengan pameran dan proyek-proyek seninya. Namun, meskipun kariernya berkembang, ada sesuatu yang mulai ia sadari: di tengah pencapaiannya, ia merasa hampa. Karya-karyanya memang dipuji banyak orang, tetapi Aksa merasa bahwa dirinya masih mencari makna yang lebih dalam.
Suatu sore, setelah pulang dari studio, Aksa mendapati kedua orang tuanya duduk di teras, memandangi langit senja yang mulai berubah warna.
Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, seolah tidak perlu lagi ada kata-kata untuk saling memahami.
Aksa duduk di sebelah ibunya dan melihat ke arah langit. “Mama, Papa... apa yang membuat kalian bisa selalu merasa puas dengan hidup kalian?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu muncul dari kegelisahan yang selama ini ia pendam, tentang bagaimana ia bisa menemukan kebahagiaan sejati di tengah kehidupan yang terus berubah.
Repal menatap Aksa dengan senyum lembut. “Kepuasan itu bukan tentang pencapaian, Nak. Itu tentang apa yang kamu pilih untuk kamu hargai dalam hidup. Bagi Papa, kebahagiaan terbesar bukan di pameran besar atau lukisan yang laku mahal, tapi di momen-momen kecil seperti ini, bersama keluarga.”
Putri mengangguk setuju. “Betul, Aksa. Dunia seni bisa jadi dunia yang keras dan penuh tekanan, tapi di luar itu, ada sesuatu yang lebih besar: cinta, keluarga, dan koneksi yang kamu miliki dengan orang-orang di sekitarmu. Itu yang membuat hidup kita berarti.”
Aksa merenungkan kata-kata orang tuanya. Selama ini ia terlalu sibuk mengejar kesuksesan, mencoba membuktikan bahwa ia bisa mengikuti jejak mereka.
Namun, di tengah semua itu, ia lupa bahwa kebahagiaan sejati ada di hal-hal sederhana yang selama ini ia abaikan.
Malam itu, Aksa merenung di kamarnya. Ia memandang lukisan “Pelukan dalam Keabadian” yang sekarang terpajang di dinding kamarnya.
Lukisan itu tampak seolah mengingatkannya bahwa cinta dan hubungan manusia jauh lebih berharga daripada apapun yang bisa dicapai di dunia ini.
°°°
Beberapa bulan kemudian, Aksa memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak dari dunia pameran dan mengejar sesuatu yang lebih personal. Ia ingin mencari makna di luar seni komersial, dan menemukan kembali semangat berkarya yang sejati.
Suatu hari, Aksa memutuskan untuk pergi ke desa kecil di mana orang tuanya pertama kali bertemu dan memulai karier mereka.
Ia merasa bahwa di tempat itulah ia bisa menemukan kembali apa yang hilang dari hidupnya. Ia ingin mengunjungi tempat-tempat yang menjadi saksi bisu dari kisah cinta Repal dan Putri, dan menemukan inspirasi baru dari sana.
Setibanya di desa itu, Aksa merasa seolah-olah ia melangkah ke masa lalu. Jalan-jalan yang sederhana, rumah-rumah kayu yang dihiasi tanaman merambat, dan senyuman hangat dari penduduk setempat membuat hatinya tenang. Ia merasa dekat dengan alam, dengan kehidupan yang lebih lambat dan penuh makna.
Di desa itu, Aksa mulai melukis lagi. Namun kali ini, ia melukis bukan untuk pameran besar atau penghargaan.
Ia melukis untuk dirinya sendiri, untuk menemukan kembali hubungan antara hatinya dan karya seninya.
Setiap goresan kuas di kanvas terasa lebih bermakna, lebih jujur, dan lebih hidup.
Hari demi hari, Aksa mulai menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan inspirasi baru, tetapi juga tentang menemukan dirinya yang sebenarnya. Ia mulai menghargai keindahan momen-momen kecil, seperti senyum seorang anak desa yang berlari di bawah hujan, atau aroma tanah basah setelah hujan pertama di pagi hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Terakhir [on-going]
AléatoireDalam "Pelukan Terakhir," kita mengikuti perjalanan emosional seorang anak yang berjuang menghadapi kenyataan pahit ketika ayahnya didiagnosis dengan penyakit ginjal. Meskipun hubungan mereka pernah terjalin erat, konflik dan kesalahpahaman di masa...