(12)-Cinta yang Tersisa di Setiap Goresan

4 7 0
                                    

HAPPY READING•

***

Sepekan setelah menerima penghargaan besar itu, Repal menyadari bahwa hidupnya telah berubah dalam banyak hal. 

Ia bukan lagi seorang seniman yang berjuang dalam kesunyian, tetapi seorang yang kini diakui dunia.

Namun, dengan segala kesuksesan yang menghampirinya, Repal masih merasakan keinginan mendalam untuk menyelesaikan satu hal yang penting—karya terakhir untuk ayahnya.

Pagi itu, Repal memutuskan untuk pergi ke tempat yang selama ini hanya ada dalam kenangannya, rumah masa kecilnya. 

Rumah itu terletak di pinggiran desa yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan rindang dan taman kecil yang ayahnya dulu rawat dengan penuh cinta. 

Meski rumah itu telah lama kosong, kenangan akan masa kecilnya selalu hadir di sana.

Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, Repal tiba di depan rumah tua yang pernah menjadi tempat paling aman baginya. 

Langit mendung sore itu seolah ikut menyelimuti perasaannya yang campur aduk. Ia berdiri sejenak, memandang bangunan yang kini sedikit usang, tapi tetap membawa kehangatan dalam hatinya.

Saat melangkah masuk, aroma kayu tua dan debu menyambutnya. Setiap sudut rumah itu seperti menceritakan kisah tersendiri. 

Ia berjalan pelan menuju ruang keluarga, tempat ayahnya sering menghabiskan waktu untuk berbicara dan bercanda dengannya. 

Di sudut ruangan, ada sebuah kursi tua yang dulu sering diduduki ayahnya saat membaca koran atau sekadar menikmati teh sore.

Repal duduk di kursi itu, menatap keluar jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Ia bisa membayangkan ayahnya duduk di sampingnya, dengan senyum hangat yang selalu membuatnya merasa aman. 

Perlahan, air mata mengalir di pipinya, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ini adalah air mata syukur atas semua kenangan indah yang telah ia miliki bersama ayahnya.

Sore itu, Repal memutuskan untuk memulai lukisan terakhir untuk ayahnya di rumah itu. Ia membawa kanvas besar dan perlengkapannya dari mobil, lalu meletakkannya di tengah ruang keluarga, tempat kenangan-kenangan itu hidup. 

Dengan hati yang penuh emosi, ia mulai melukis, membiarkan setiap ingatan tentang ayahnya mengalir melalui goresan kuas di kanvas.

Lukisan itu bukan lagi tentang rasa sakit atau kehilangan, melainkan tentang cinta yang abadi.

Setiap warna yang ia pilih mencerminkan kehangatan dan kebaikan hati ayahnya. Warna biru lembut menggambarkan ketenangan yang selalu diberikan ayahnya, sementara sentuhan warna oranye dan kuning mewakili kebahagiaan yang mereka bagi. 

Lukisan itu bukan sekadar potret, tapi sebuah perasaan—cinta yang tak pernah hilang, meski ayahnya telah pergi.

Saat malam tiba, Repal hampir menyelesaikan lukisan itu. Ia berhenti sejenak, mengamati hasil karyanya dengan hati yang penuh kedamaian. 

Di kanvas itu, ia bisa melihat kehadiran ayahnya dengan sangat jelas. Bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam setiap warna dan goresan yang ia buat.

Beberapa hari kemudian, Repal memutuskan untuk mengadakan pameran khusus. Pameran ini bukan untuk dunia, melainkan hanya untuk orang-orang terdekat yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. 

Di tengah galeri kecil itu, Repal memajang lukisan terakhir yang ia buat untuk ayahnya.

Teman-temannya, termasuk Hilda, hadir untuk melihat karya terbarunya. Saat mereka melihat lukisan itu, keheningan menyelimuti ruangan. 

Pelukan Terakhir [on-going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang